Mohon tunggu...
Muh. Ilyansyah
Muh. Ilyansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang Sarjana Hukum dan melanjutkan pendidikan dalam bidang Ilmu Pertahanan konsentrasi Strategi Pertahanan Laut

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Strategi Negara Indonesia dalam Menghadapi Ancaman Konflik di Laut China Selatan untuk Menjaga Kedaulatan

29 April 2024   01:14 Diperbarui: 29 April 2024   01:14 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konflik militer kedua antara China dan Vietnam sangat penting karena selain menunjukkan dominasi China di Spratly, itu juga menyebabkan dua hal yang saling berkaitan yang dapat mempengaruhi stabilitas wilayah tersebut di masa depan. Negara-negara yang terlibat dalam konflik Laut China Selatan, termasuk China, Taiwan, Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, dan Malaysia, memiliki tiga (tiga) alasan utama untuk berpartisipasi dalam konflik tersebut. Alasan-alasan ini termasuk kepentingan saling berkepentingan untuk wilayah laut dan daratan yang terletak di antara dua gugusan Kepulauan Paracel dan Spratly.

Pertama, wilayah laut dan gugusan kepulauan Laut China Selatan memiliki sumber kekayaan alam yang sangat besar, termasuk kandungan minyak dan gas bumi, serta kekayaan laut lainnya. Kedua, wilayah perairan LCS berfungsi sebagai jalur perdagangan internasional, terutama jalur perdagangan lintas laut yang menghubungkan Eropa, Amerika, dan Asia. Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat di Asia memungkinkan wilayah perairan LCS untuk melayani pelayaran internasional.

Ketika Perdana Menteri China Zhou Enlai mengumumkan bahwa China memiliki kepulauan Paracel dan Spratly pada bulan Agustus 1951, klaim LCS dimulai. Klaim ini didasarkan pada dokumen yang dikeluarkan oleh rejim Goumindang, yang dipimpin oleh Chiang Kai-shek, ketika mereka menguasai China. Dokumen tersebut menyatakan bahwa Bank Sungai Macclesfield, Kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly, dan Kepulauan Pratas adalah bagian dari Republik Rakyat China. Klaim ini lebih menekankan pada prinsip hak sejarah. Sebelum Chiang Kai-shek mengambil alih kekuasaan dan mengklaim kekuatan militer di Laut China Selatan, China telah berpendapat bahwa wilayah dan pulau-pulau yang dimiliki dinasti Manchu juga dimiliki China. Dokumen sejarah dan peta menunjukkan bahwa Cina memiliki wilayah tersebut.

Laut China Selatan (LCS) diperebutkan karena fungsinya sebagai gateway untuk perdagangan internasional. Jalur ini sangat strategis karena 85% impor energi China dan pasokan minyak untuk Jepang dan Korea melaluinya. Sementara itu, 55% hasil produk India melalui China, Jepang, Korea, dan AS. Selain itu, laut ini menghasilkan ikan konsumsi terbesar di dunia baik untuk konsumsi domestik maupun ekspor, dan memiliki ekosistem laut yang luas dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Terdapat beberapa kepulauan di Laut China Selatan, termasuk Kepulauan Spratly, Kepulauan Paracel, Kepulauan Pratas, dan Kepulauan Maclesfield. Dua dari kepulauan ini, Kepulauan Spratly dan Paracel, paling sering dikaitkan dengan klaim teritorial. Kepulauan Spratly memiliki sumber daya minyak sebesar tujuh miliar barel dan gas alam sebesar 900 triliun kubik, serta lokasi strategis untuk perdagangan internasional dan militer. Laut China Selatan juga memiliki cadangan minyak total 4,5 kilometer kubik (28 miliar barel), dengan sekitar 1,2 kilometer kubik (7,7 miliar barel) potensi gas alam.

Saat ini, China sedang mengerahkan banyak upaya untuk membangun wilayah di sekitar Laut China Selatan. Aktivitas pembangunan termasuk menambah kapal penangkap ikan, membangun pangkalan militer, membangun bangunan permanen di Laut China Selatan, dan menempatkan kapal perangnya untuk berpatroli. Kapal Analita dan awaknya ditahan selama sepekan di Filipina pada tahun 1995 karena China tengah melakukan survei di dekat Gugusan Karang Mischief, yang tampaknya dibangun oleh China. China menembaki kapal nelayan Vietnam pada tahun 2005 karena dianggap melanggar batas teritorial China. Kemudian, pada tahun 2013, China menembaki lagi kapal nelayan Vietnam di sekitar Kepulauan Paracel.

China selalu mengelak bertanggung jawab atas setiap peristiwa tersebut dengan berbagai alasan. Selain itu, pada tahun 2009, lima kapal China bermanuver dan membayangi kapal AS USNS Impeccable yang melakukan patroli rutin di peraritan internasional. Dianggap sebagai ancaman bagi kebebasan navigasi di LCS, China terus reklamasi gugusan karang untuk membangun infrastruktur. Sepanjang 2015, T China mengubah gugusan karang menjadi pulau. Selain itu, China menunjukkan kekerasan dalam pertemuan dan perundingan multilateral mengenai LCS.

China mempertahankan Declaration of Conduct (DOC), yang bersifat ambigu dan tidak mengikat, dan menolak intervensi negara luar kawasan. China menolak usulan Indonesia untuk melibatkan AS dan Jepang dalam lokakarya ke-4 Managing Potential Conflicts in the South China Sea (MPCSCS) di Surabaya tahun 1993. China terus menunda draf Kode Perilaku (COC) yang telah dibuat oleh Indonesia. Pada tahun 2012, Kamboja, yang saat itu menjadi ketua ASEAN, telah dipaksa oleh China untuk memasukkan masalah LCS ke dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN. Aktivitas-aktivitas inilah yang mengancam stabilitas keamanan kawasan Laut China Selatan, di sekitar Laut China Selatan ada negara Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan termasuk Indonesia yang merasa terganggu akibat hal tersebut.

Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan wilayah perairan yang luas, memiliki kepentingan strategis dalam menjaga kedaulatan dan keamanan maritim di Laut China Selatan. Oleh karena itu, Indonesia harus terus mengamati perkembangan konflik di wilayah tersebut dan melakukan tindakan yang diperlukan untuk melindungi kedaulatan negara. Konflik di Laut China Selatan, yang melibatkan klaim teritorial oleh beberapa negara terhadap wilayah laut dan pulau-pulau yang ada di sana, Berikut beberapa konsekuensi:

  • Pelanggaran Kedaulatan Wilayah:
  • Klaim Sembilan Garis Putus-Putus (Nine-Dash Line) China yang tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Kepulauan Natuna Utara. Hal ini berpotensi memicu pelanggaran kedaulatan wilayah Indonesia, seperti penangkapan ikan ilegal, penambangan pasir laut, dan penjelajahan maritim tanpa izin.
  • Aktivitas militer China yang meningkat, seperti latihan tempur dan pembangunan pulau buatan, menimbulkan kekhawatiran akan intimidasi dan potensi penggunaan kekuatan untuk memaksakan klaim mereka.
  • Gangguan Keamanan Maritim:
  • Meningkatnya aktivitas maritim ilegal, seperti perompakan, penyelundupan, dan perdagangan narkoba di Laut China Selatan, dapat membahayakan keamanan maritim Indonesia.
  • Potensi terjadinya bentrokan antara kapal penegak hukum Indonesia dengan kapal-kapal China yang melakukan aktivitas ilegal di wilayah perairan Indonesia.
  • Dampak Ekonomi:
  • Gangguan terhadap kegiatan perikanan dan eksplorasi sumber daya alam di ZEE Indonesia dapat merugikan ekonomi maritim Indonesia.
  • Ketidakpastian hukum maritim akibat sengketa Laut China Selatan dapat menyurutkan investasi di sektor maritim Indonesia.
  • Dampak Politik:
  • Meningkatnya ketegangan politik di kawasan Asia Tenggara dapat membahayakan stabilitas regional.
  • Terciptanya blok-blok politik di kawasan, dengan Indonesia dihadapkan pada pilihan sulit untuk memihak salah satu pihak.
  • Dampak Lingkungan:
  • Aktivitas militer dan penambangan laut ilegal di Laut China Selatan dapat merusak ekosistem laut dan membahayakan keanekaragaman hayati.
  • Pencemaran laut akibat tumpahan minyak dan limbah dari kapal-kapal dapat merusak lingkungan laut di sekitar Indonesia.

Konflikt di Laut China Selatan sebenarnya lebih berdampak pada dunia internasional dan negara-negara di Asia Tenggara. Ini menimbulkan ketegangan antar negara, tetapi setiap negara memiliki cara mereka sendiri untuk menangani konflik tersebut agar hubungan antar negara dapat berjalan dengan alasan ekonomi, politik, dan sosial. Salah satu efek militer adalah peningkatan pengawasan dan alutsista militer setiap negara di darat dan udara untuk mengontrol aktivitas pertahanan negara, terutama di laut China selatan, tempat konflik terjadi.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, peningkatan anggaran yang dialokasikan untuk militer berdampak pada hubungan antara militer dan masyarakat sipil sehingga keduanya dapat bekerja sama untuk menangani konflik di wilayah tertentu, di mana peran yang dimainkan oleh sipil dan militer berbeda. Selain itu, dalam konteks internasional, memengaruhi negara-negara yang lebih kuat, seperti Amerika Serikat, yang berurusan dengan masalah Laut China Selatan melalui badan internasional, atau negara-negara lain yang terkena dampak konflik Laut China Selatan.

Ancaman konflik di Laut China Selatan juga dapat memengaruhi hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara yang berselisih di wilayah tersebut. Karena kebijakan luar negeri Indonesia berpusat pada perdamaian, keadilan, dan kepentingan nasional, konflik di Laut China Selatan dapat membuat Indonesia terlibat secara aktif dalam diplomasi untuk memastikan stabilitas di wilayah tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun