Mohon tunggu...
Muh. Ilyansyah
Muh. Ilyansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang Sarjana Hukum dan melanjutkan pendidikan dalam bidang Ilmu Pertahanan konsentrasi Strategi Pertahanan Laut

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Strategi Negara Indonesia dalam Menghadapi Ancaman Konflik di Laut China Selatan untuk Menjaga Kedaulatan

29 April 2024   01:14 Diperbarui: 29 April 2024   01:14 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://projects.voanews.com/south-china-sea/

  • Pendahuluan

Perkembangan strategis lingkungan saat ini semakin cepat. Salah satu subjek yang menarik perhatian dunia saat ini adalah perselisihan mengenai klaim Laut China Selatan (LCS). LCS adalah sebuah perairan yang memiliki banyak potensi besar karena mengandung minyak bumi dan gas alam, serta memiliki peran penting sebagai jalur perdagangan, pelayaran, dan distribusi minyak di seluruh dunia. China, Taiwan, Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Malaysia adalah salah satu dari banyak negara yang terlibat dalam konflik ini. Banyak negara di atas memperebutkan Laut China Selatan karena potensi sumber daya alamnya yang luar biasa.

Semua negara di Asia Tenggara bergantung pada Laut Cina Selatan secara ekonomi dan geopolitik. Sebaliknya, China mencoba mendominasi wilayah tersebut sambil mengimbangi pengaruh AS di sana. China memperluas wilayahnya dan menyerang kapal-kapal asing di wilayah konflik Laut China Selatan. Ada dua masalah utama yang dihadapi China di wilayah ini: kedaulatan teritorial dan kedaulatan maritim. Kedaulatan teritorial berkaitan dengan kepemilikan wilayah daratan yang ada di sana, sementara kedaulatan maritim berkaitan dengan penetapan batas yang diizinkan oleh Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS III) 1982. Menurut UNCLOS, kedaulatan teritorial laut adalah 12 mil dari tepi pantai dan 200 mil dari Zona Ekonomik Eksklusif (ZEE). Ini penting karena negara yang memiliki kedaulatan atas pulau juga memiliki hak untuk memiliki sumber daya alam, seperti minyak bumi dan gas.Dalam wilayah teritorial Laut China Selatan, beberapa konflik terjadi, termasuk Bank Macclesfield, Scarborough Shoal, pulau Pratas, Spratly, dan Paracel.

Laut Cina Selatan, atau LCS, adalah rute tersibuk di dunia. Terdiri dari Jalur Komunikasi Laut (SLOC) dan Jalur Perdagangan Laut (SLOT) yang menghubungkan Samudra Pasifik dan Hindia. Sebagian besar aktivitas perdagangan internasional yang tercatat melewati wilayah ini. Karena merupakan salah satu jalur pelayaran internasional paling sibuk di dunia, Laut China Selatan merupakan jalur pelayaran penting yang sering disebut sebagai maritime superhighway. Jalur ini melalui Selat Malaka, Sunda, dan Lombok untuk lebih dari setengah lalu lintas supertanker di seluruh dunia.

Sementara itu, sejak 2013, China terus mengklaim perairan di sekitar Kepulauan Natuna, menimbulkan konflik "tegang" antara Indonesia dan China. China menggunakan "pemaksaan" untuk memperkuat klaimnya di pulau-pulau yang diperebutkan. Ini mengurangi sensitivitas terhadap penolakan dan kebutuhan akan demonstrasi kekuatan. Selain itu, menunjukkan bahwa perselisihan tersebut menunjukkan kebiasaan orang Tionghoa yang dikenal sebagai "memanfaatkan peluang". Saat lawan terganggu atau ketika tidak ada respons kuat yang diharapkan, China tampaknya sangat mahir memanfaatkan momen yang tepat untuk bergerak. Sebagai contoh, latar belakang politik yang mendukung pemulihan hubungan AS-China membuat bentrokan angkatan laut tahun 1974 praktis tidak mungkin terjadi.

Empat alasan yang menjadikan wilayah Laut Cina Selatan penting bagi Indonesia, yaitu:

  • Perairan merupakan soko guru bagi aktvitas ekspor impor Indonesia.
  • Konflik dan instabiltas di wilayah tersebut akan berdampak pada perdagangan juga ekonomi kawasan.
  • Kawasan tersebut juga merupakan jalur masuk ke wilayah Indonesia dari Utara.
  • Kawasan utara merupakan alur yang disepakati Indonesia sebagai Alur Laut Kepulauan Indonesia. Hak berdaulat Indonesia ada pada Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen. Secara umum Zona Ekonomi Eksklusif adalah bagian perairan laut yang terletak diluar dan berbatasan dengan laut territorial selebar dua ratus mill diukur dari garis pangkal, dimana lebar laut territorial diukur.

 Sumber daya alam Zona Ekonomi Eksklusif diberikan kepada negara pantai Indonesia, yang dapat memanfaatkan potensi sumber daya alamnya, termasuk ikan. Salah satu alasan utama mengapa negara-negara yang terlibat dalam konflik Laut Cina Selatan saling berkepentingan dalam memperebutkan wilayah tersebut adalah kekayaan alam yang sangat besar, seperti gas bumi dan minyak, bersama dengan kekayaan laut lainnya. Selain menjadi jalur perdagangan lintas laut yang menghubungkan Eropa, Amerika, dan Asia, wilayah yang dimaksud merupakan lintasan bagi aktivitas pelayaran internasional. Beberapa negara sangat tertarik untuk menguasai dan mendapatkan kontrol atas Laut Cina Selatan, yang dianggap sangat strategis dan memiliki banyak manfaat ekonomi bagi negara tersebut.

Laut Cina Selatan mengandung kekayaan sumber daya alam dan berfungsi sebagai jalur perdagangan internasional. Geografis, Laut Cina Selatan terletak dari Barat Dayak ke Timur Laut. Batas selatannya adalah Selat Karimata, yang menghubungkan pulau Sumatera Selatan dan Kalimantan, dan batas utaranya adalah Selat Taiwan, yang menghubungkan ujung utara Taiwan ke pesisir Fujian di daratan Cina. Konflik Laut Cina Selatan pasti akan berdampak pada perdagangan internasional, termasuk negara-negara anggota Association of South East Asian Nation (ASEAN), termasuk Indonesia, yang fokus utamanya adalah menjaga keamanan negaranya, termasuk menjaga pulau Natuna.

Konflikt ini dimulai dengan pernyataan Pemerintah RRC yang mengklaim hampir seluruh wilayah perairan Laut China Selatan. Ini didasarkan pada teori nine dash line, yang digambarkan sebagai sembilan titik imajiner yang menunjukkan klaim China atas hampir seluruh wilayah perairan Laut China Selatan. 

Teori ini mengatakan bahwa pulau-pulau di kawasan Laut China Selatan adalah bagian dari wilayah China. Negara-negara sekitar LCS seperti Filipina, Vietnam, Taiwan, Brunei Darussalam, dan Malaysia marah karena mereka mengklaim bahwa sebagian wilayah LCS termasuk Zona Ekonomi Eksklusif mereka. Klaim tumpang tindih wilayah di LCS tersebut telah menimbulkan konflik di antara pihak yang bersengketa dan bahkan telah menyebabkan konflik militer yang menewaskan. Salah satunya adalah konflik antara Angkatan Laut China dan Vietnam di Johnson Reef di Kepulauan Spratly pada Maret 1988, yang menewaskan lebih dari 70 pelaut Vietnam. Konflik militer pertama antara China dan Vietnam terjadi pada tahun 1974 di Kepulauan Paracel, yang menewaskan tentara China dan Vietnam.

Konflik militer kedua antara China dan Vietnam sangat penting karena selain menunjukkan dominasi China di Spratly, itu juga menyebabkan dua hal yang saling berkaitan yang dapat mempengaruhi stabilitas wilayah tersebut di masa depan. Negara-negara yang terlibat dalam konflik Laut China Selatan, termasuk China, Taiwan, Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, dan Malaysia, memiliki tiga (tiga) alasan utama untuk berpartisipasi dalam konflik tersebut. Alasan-alasan ini termasuk kepentingan saling berkepentingan untuk wilayah laut dan daratan yang terletak di antara dua gugusan Kepulauan Paracel dan Spratly.

Pertama, wilayah laut dan gugusan kepulauan Laut China Selatan memiliki sumber kekayaan alam yang sangat besar, termasuk kandungan minyak dan gas bumi, serta kekayaan laut lainnya. Kedua, wilayah perairan LCS berfungsi sebagai jalur perdagangan internasional, terutama jalur perdagangan lintas laut yang menghubungkan Eropa, Amerika, dan Asia. Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat di Asia memungkinkan wilayah perairan LCS untuk melayani pelayaran internasional.

Ketika Perdana Menteri China Zhou Enlai mengumumkan bahwa China memiliki kepulauan Paracel dan Spratly pada bulan Agustus 1951, klaim LCS dimulai. Klaim ini didasarkan pada dokumen yang dikeluarkan oleh rejim Goumindang, yang dipimpin oleh Chiang Kai-shek, ketika mereka menguasai China. Dokumen tersebut menyatakan bahwa Bank Sungai Macclesfield, Kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly, dan Kepulauan Pratas adalah bagian dari Republik Rakyat China. Klaim ini lebih menekankan pada prinsip hak sejarah. Sebelum Chiang Kai-shek mengambil alih kekuasaan dan mengklaim kekuatan militer di Laut China Selatan, China telah berpendapat bahwa wilayah dan pulau-pulau yang dimiliki dinasti Manchu juga dimiliki China. Dokumen sejarah dan peta menunjukkan bahwa Cina memiliki wilayah tersebut.

Laut China Selatan (LCS) diperebutkan karena fungsinya sebagai gateway untuk perdagangan internasional. Jalur ini sangat strategis karena 85% impor energi China dan pasokan minyak untuk Jepang dan Korea melaluinya. Sementara itu, 55% hasil produk India melalui China, Jepang, Korea, dan AS. Selain itu, laut ini menghasilkan ikan konsumsi terbesar di dunia baik untuk konsumsi domestik maupun ekspor, dan memiliki ekosistem laut yang luas dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Terdapat beberapa kepulauan di Laut China Selatan, termasuk Kepulauan Spratly, Kepulauan Paracel, Kepulauan Pratas, dan Kepulauan Maclesfield. Dua dari kepulauan ini, Kepulauan Spratly dan Paracel, paling sering dikaitkan dengan klaim teritorial. Kepulauan Spratly memiliki sumber daya minyak sebesar tujuh miliar barel dan gas alam sebesar 900 triliun kubik, serta lokasi strategis untuk perdagangan internasional dan militer. Laut China Selatan juga memiliki cadangan minyak total 4,5 kilometer kubik (28 miliar barel), dengan sekitar 1,2 kilometer kubik (7,7 miliar barel) potensi gas alam.

Saat ini, China sedang mengerahkan banyak upaya untuk membangun wilayah di sekitar Laut China Selatan. Aktivitas pembangunan termasuk menambah kapal penangkap ikan, membangun pangkalan militer, membangun bangunan permanen di Laut China Selatan, dan menempatkan kapal perangnya untuk berpatroli. Kapal Analita dan awaknya ditahan selama sepekan di Filipina pada tahun 1995 karena China tengah melakukan survei di dekat Gugusan Karang Mischief, yang tampaknya dibangun oleh China. China menembaki kapal nelayan Vietnam pada tahun 2005 karena dianggap melanggar batas teritorial China. Kemudian, pada tahun 2013, China menembaki lagi kapal nelayan Vietnam di sekitar Kepulauan Paracel.

China selalu mengelak bertanggung jawab atas setiap peristiwa tersebut dengan berbagai alasan. Selain itu, pada tahun 2009, lima kapal China bermanuver dan membayangi kapal AS USNS Impeccable yang melakukan patroli rutin di peraritan internasional. Dianggap sebagai ancaman bagi kebebasan navigasi di LCS, China terus reklamasi gugusan karang untuk membangun infrastruktur. Sepanjang 2015, T China mengubah gugusan karang menjadi pulau. Selain itu, China menunjukkan kekerasan dalam pertemuan dan perundingan multilateral mengenai LCS.

China mempertahankan Declaration of Conduct (DOC), yang bersifat ambigu dan tidak mengikat, dan menolak intervensi negara luar kawasan. China menolak usulan Indonesia untuk melibatkan AS dan Jepang dalam lokakarya ke-4 Managing Potential Conflicts in the South China Sea (MPCSCS) di Surabaya tahun 1993. China terus menunda draf Kode Perilaku (COC) yang telah dibuat oleh Indonesia. Pada tahun 2012, Kamboja, yang saat itu menjadi ketua ASEAN, telah dipaksa oleh China untuk memasukkan masalah LCS ke dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN. Aktivitas-aktivitas inilah yang mengancam stabilitas keamanan kawasan Laut China Selatan, di sekitar Laut China Selatan ada negara Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan termasuk Indonesia yang merasa terganggu akibat hal tersebut.

Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan wilayah perairan yang luas, memiliki kepentingan strategis dalam menjaga kedaulatan dan keamanan maritim di Laut China Selatan. Oleh karena itu, Indonesia harus terus mengamati perkembangan konflik di wilayah tersebut dan melakukan tindakan yang diperlukan untuk melindungi kedaulatan negara. Konflik di Laut China Selatan, yang melibatkan klaim teritorial oleh beberapa negara terhadap wilayah laut dan pulau-pulau yang ada di sana, Berikut beberapa konsekuensi:

  • Pelanggaran Kedaulatan Wilayah:
  • Klaim Sembilan Garis Putus-Putus (Nine-Dash Line) China yang tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Kepulauan Natuna Utara. Hal ini berpotensi memicu pelanggaran kedaulatan wilayah Indonesia, seperti penangkapan ikan ilegal, penambangan pasir laut, dan penjelajahan maritim tanpa izin.
  • Aktivitas militer China yang meningkat, seperti latihan tempur dan pembangunan pulau buatan, menimbulkan kekhawatiran akan intimidasi dan potensi penggunaan kekuatan untuk memaksakan klaim mereka.
  • Gangguan Keamanan Maritim:
  • Meningkatnya aktivitas maritim ilegal, seperti perompakan, penyelundupan, dan perdagangan narkoba di Laut China Selatan, dapat membahayakan keamanan maritim Indonesia.
  • Potensi terjadinya bentrokan antara kapal penegak hukum Indonesia dengan kapal-kapal China yang melakukan aktivitas ilegal di wilayah perairan Indonesia.
  • Dampak Ekonomi:
  • Gangguan terhadap kegiatan perikanan dan eksplorasi sumber daya alam di ZEE Indonesia dapat merugikan ekonomi maritim Indonesia.
  • Ketidakpastian hukum maritim akibat sengketa Laut China Selatan dapat menyurutkan investasi di sektor maritim Indonesia.
  • Dampak Politik:
  • Meningkatnya ketegangan politik di kawasan Asia Tenggara dapat membahayakan stabilitas regional.
  • Terciptanya blok-blok politik di kawasan, dengan Indonesia dihadapkan pada pilihan sulit untuk memihak salah satu pihak.
  • Dampak Lingkungan:
  • Aktivitas militer dan penambangan laut ilegal di Laut China Selatan dapat merusak ekosistem laut dan membahayakan keanekaragaman hayati.
  • Pencemaran laut akibat tumpahan minyak dan limbah dari kapal-kapal dapat merusak lingkungan laut di sekitar Indonesia.

Konflikt di Laut China Selatan sebenarnya lebih berdampak pada dunia internasional dan negara-negara di Asia Tenggara. Ini menimbulkan ketegangan antar negara, tetapi setiap negara memiliki cara mereka sendiri untuk menangani konflik tersebut agar hubungan antar negara dapat berjalan dengan alasan ekonomi, politik, dan sosial. Salah satu efek militer adalah peningkatan pengawasan dan alutsista militer setiap negara di darat dan udara untuk mengontrol aktivitas pertahanan negara, terutama di laut China selatan, tempat konflik terjadi.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, peningkatan anggaran yang dialokasikan untuk militer berdampak pada hubungan antara militer dan masyarakat sipil sehingga keduanya dapat bekerja sama untuk menangani konflik di wilayah tertentu, di mana peran yang dimainkan oleh sipil dan militer berbeda. Selain itu, dalam konteks internasional, memengaruhi negara-negara yang lebih kuat, seperti Amerika Serikat, yang berurusan dengan masalah Laut China Selatan melalui badan internasional, atau negara-negara lain yang terkena dampak konflik Laut China Selatan.

Ancaman konflik di Laut China Selatan juga dapat memengaruhi hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara yang berselisih di wilayah tersebut. Karena kebijakan luar negeri Indonesia berpusat pada perdamaian, keadilan, dan kepentingan nasional, konflik di Laut China Selatan dapat membuat Indonesia terlibat secara aktif dalam diplomasi untuk memastikan stabilitas di wilayah tersebut.

Konflik di Laut China Selatan juga dapat berdampak pada ekonomi Indonesia, terutama dalam hal perdagangan dan investasi. Ketidakpastian ekonomi dan penghambat kerja sama ekonomi antara Indonesia dan negara-negara di wilayah tersebut dapat disebabkan oleh ketegangan yang terjadi di wilayah tersebut. Dengan nilai ekonomi sebesar US$5 triliun dan nilai lima kali lipat dari GDP Indonesia, wilayah perairan Laut China Selatan tentu akan berdampak pada jalur perdagangan ekspor dan impor Indonesia. Pembatasan di wilayah ini pasti akan menyebabkan kerugian bagi Indonesia, bukan hanya ekonomi nasional hal itu pasti akan berdampak pada jalur perdagangan ekspor dan impor, dan negara Indonesia pasti akan mengalami kerugian, bukan hanya di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang lain yang dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi ekspor dan impor.

Selain itu, ketika China memperoleh wilayah laut China Selatan, ada kekhawatiran bahwa wilayah Natuna juga akan diambil oleh China. Karena, sama seperti wilayah perairan Laut China Selatan, negara China juga memperebutkan wilayah perairan Natuna. Sudah jelas bahwa pemerintah Indonesia tidak menginginkannya karena wilayah Natuna merupakan salah satu aset perairan nasional. Ini disebabkan oleh fakta bahwa wilayah Natuna memiliki banyak kekayaan sumber daya alam yang berharga, dan ketika wilayah tersebut diambil alih, akan berdampak pada kehidupan masyarakat sipil yang tinggal di sekitarnya, yang sebagian besar bergantung pada sumber daya yang tersedia di wilayah tersebut.

Konflik di Laut China Selatan dapat membahayakan kedaulatan Indonesia, terutama dalam hal klaim Indonesia atas wilayah perairan yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan. Konflik ini dapat menimbulkan ketegangan antara negara-negara yang mengklaim wilayah tersebut, termasuk Indonesia, dan mengancam stabilitas regional. Selain itu, konflik di Laut China Selatan dapat berdampak pada keamanan maritim Indonesia, terutama dalam hal penangkapan ikan ilegal, perdagangan ilegal, dan kejahatan lintas batas lainnya yang dapat mengancam kedaulatan Indonesia.

  • Strategi Indonesia dalam Menghadapi Ancaman Konflik di Laut China Selatan

Dalam kasus sengketa LCS, Liselotte Odgaard (2003) menyatakan bahwa Indonesia berfungsi sebagai "midwife country" dalam ASEAN karena sikapnya untuk mempertahankan hubungan baik dengan China dan AS sambil tetap waspada dan menekankan perdamaian dan stabilitas. Indonesia tetap berpartisipasi aktif dalam proses penyelesaian konflik meskipun tidak memiliki kepentingan langsung di area sengketa. Sejak tahun 1990, misalnya, negara ini telah mengadakan pertemuan koordinasi tahunan MPCSCS, yang memungkinkan negara-negara yang berkonflik berbicara satu sama lain dan memikirkan peluang kerja sama di area sengketa. Klaim China tentang peta sembilan garis putus-putus China yang dianggap mengancam wilayah Kepulauan Natuna adalah alasan mengapa Indonesia terlibat dalam kasus LCS. Tentara Indonesia bergabung dengan Cooperation Afloat Readiness and Training (CARAT), latihan militer gabungan terbesar di tahun 1996 yang menghubungkan tentara AS, Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, dan Thailand, karena kekhawatiran tersebut.

Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa Indonesia akan berusaha mendorong China untuk bersedia untuk membahas konflik dalam forum multilateral saat menjabat sebagai chairman ASEAN dari 2011 hingga 2012. Selain itu, Marty Natalegawa, Menteri Luar Negeri Indonesia, secara aktif berusaha untuk mengangkat masalah ini di pertemuan regional dan internasional.

Meskipun Indonesia tidak lagi menjabat sebagai chairman ASEAN, Indonesia terus berkontribusi dengan mengambil inisiatif untuk memaparkan draf nol kode tata berperilaku di sela pertemuan Majelis Umum PBB pada bulan September 2012. Setelah diterima dengan suara bulat, dokumen ini akan digunakan sebagai dasar diskusi tentang kode tata berperilaku dengan China Setelah itu, Indonesia berkunjung ke lima ibu kota negara anggota ASEAN, yaitu Manila, Hanoi, Bangkok, dan Singapura.

  • Diplomasi

Strategi diplomasi Indonesia dalam menghadapi ancaman konflik di Laut Cina Selatan untuk menjaga kedaulatannya adalah dengan memanfaatkan angkatan laut sebagai instrumen diplomasi, bukan sebagai pejuang perang. Pilihan strategis tersebut dipengaruhi oleh berbagai kendala yang mempengaruhi pengambilan kebijakan luar negeri. Pilihan respons Indonesia terhadap sengketa Laut Cina Selatan terkendala oleh kondisi domestik dan internasional, sehingga menjadikan diplomasi lebih diprioritaskan dibandingkan konfrontasi militer. Negara ini berfokus pada peningkatan diplomasi pertahanan melalui perjanjian, kerja sama dengan negara lain, dan memperkuat infrastruktur dan kapasitas maritimnya untuk melindungi kepentingan dan kedaulatan nasionalnya di kawasan. Keterlibatan Indonesia dalam organisasi regional seperti ASEAN dan komitmennya terhadap diplomasi maritim menggarisbawahi kepentingan strategis Indonesia dalam menjaga perdamaian dan keamanan di Laut Cina Selatan. Dengan secara konsisten terlibat dalam upaya diplomasi dan meningkatkan kemampuan pertahanannya, Indonesia bertujuan untuk mengatasi kompleksitas sengketa Laut Cina Selatan sambil tetap menjunjung tinggi kedaulatannya dan berkontribusi terhadap stabilitas regional.

Strategi diplomasi Indonesia di Laut Cina Selatan melibatkan pendekatan multifaset yang mencakup peningkatan diplomasi pertahanan, penguatan infrastruktur dan kapasitas maritim, dan keterlibatan dalam organisasi regional seperti ASEAN untuk melindungi kepentingan dan kedaulatan nasional. Upaya diplomasi negara ini dipandu oleh visinya sebagai Poros Maritim Dunia, yang menekankan pentingnya diplomasi maritim dalam menjaga kedaulatan kawasan. Inisiatif diplomasi Indonesia mencakup memimpin pembicaraan menuju penyelesaian damai, memanfaatkan forum ASEAN untuk mencapai tonggak sejarah, dan berpartisipasi dalam membangun perdamaian melalui diplomasi. Diplomasi militer negara ini juga dipandang sebagai komponen kunci, dimana Angkatan Laut berperan dalam mendorong diplomasi dan bukan sekedar sebagai pejuang perang. Upaya diplomasi Indonesia dilengkapi dengan serangkaian strategi, mulai dari keterlibatan diplomatik hingga kesiapan militer, untuk mengatasi dinamika geopolitik dan geomaritim di kawasan. Peran negara ini di ASEAN dalam menjaga keamanan maritim menggarisbawahi kepentingan strategisnya dalam perdamaian dan keamanan regional, menunjukkan kemampuannya untuk bertindak tanpa pengaruh ikatan militer, politik, atau ideologi. Melalui upaya diplomasi dan strategis tersebut, Indonesia menunjukkan kekuatan dan kearifan diplomasi maritimnya dalam menjaga kedaulatan kawasan, stabilitas keamanan, dan membina hubungan baik dengan negara tetangga.

  • Kerjasama Regional

Strategi kerja sama regional Indonesia dalam menghadapi ancaman konflik di Laut Cina Selatan untuk menjaga kedaulatannya melibatkan keterlibatan diplomatik yang aktif dan mendorong penyelesaian konflik secara damai di antara negara-negara pengklaim. Meski bukan negara pengklaim dalam sengketa Laut Cina Selatan, Indonesia memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas kawasan dengan mendorong penyelesaian damai dan kerja sama antar pihak yang terlibat. Upaya Indonesia fokus pada langkah-langkah membangun kepercayaan, inisiatif kerja sama, dan mediasi diplomatik untuk mengurangi ketegangan dan mencegah konflik terbuka di kawasan. Dengan menekankan diplomasi keamanan non-tradisional dan meningkatkan kerja sama regional, Indonesia bertujuan untuk meminimalkan dampak konflik dan mendorong stabilitas di kawasan Laut Cina Selatan. Posisi strategis Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN menegaskan tanggung jawab Indonesia untuk menjaga stabilitas dan keamanan regional, meski tanpa keterlibatan langsung dalam klaim teritorial. Melalui inisiatif diplomatiknya, Indonesia berupaya mengatasi kompleksitas konflik Laut Cina Selatan, meningkatkan kerja sama di antara negara-negara pengklaim, dan melindungi kepentingan dan kedaulatan nasional di wilayah tersebut.

  • Penguatan Pertahanan

Strategi Indonesia untuk memperkuat pertahanan dalam menghadapi ancaman konflik di Laut Cina Selatan untuk menjaga kedaulatannya melibatkan pendekatan multifaset yang mencakup upaya diplomasi, modernisasi militer, dan kerja sama regional. Diplomasi pertahanan negara memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas dan keamanan kawasan, khususnya dalam konteks sengketa Laut Cina Selatan. Keterlibatan Indonesia dalam penanganan konflik di Laut Cina Selatan berpedoman pada kepentingan nasionalnya dalam ikut serta dalam pemeliharaan perdamaian dunia, dengan fokus mencapai penyelesaian konflik yang bermanfaat secara ekonomi, politik, dan keamanan. Strategi pertahanan suatu negara juga dipengaruhi oleh posisi strategisnya sebagai negara terbesar di ASEAN yang mengedepankan tanggung jawabnya untuk menjaga stabilitas dan keamanan kawasan. Upaya modernisasi militer Indonesia didorong oleh kebutuhan untuk menjaga keamanan regionalstabilitas dan untuk melawan potensi ancaman dari Laut Cina Selatan. Sikap netral negara dalam konflik Laut Cina Selatan membawa manfaat kerja sama dan bantuan militer, khususnya dari China, yang menjadi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan kemampuan militernya. Upaya strategis Indonesia harus menyeimbangkan kekuatan-kekuatan besar yang mempunyai kepentingan bersaing di Asia Tenggara dan Asia-Pasifik, sehingga menjadikannya pemain penting dalam politik kawasan. Kekuatan pertahanan negara di tengah meningkatnya ancaman konflik di Laut Cina Selatan dinilai masih jauh dari siap, dengan kekuatan militer Indonesia yang tertinggal jauh dibandingkan China dalam hal jumlah personel dan aset angkatan laut.

  • Penegakan Hukum Internasional

Strategi penegakan hukum internasional Indonesia dalam menghadapi ancaman konflik di Laut Cina Selatan untuk menjaga kedaulatannya melibatkan pendekatan multifaset yang mencakup upaya diplomasi, modernisasi militer, dan kerja sama regional. Diplomasi pertahanan negara memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas dan keamanan kawasan, khususnya dalam konteks sengketa Laut Cina Selatan. Keterlibatan Indonesia dalam penanganan konflik di Laut Cina Selatan berpedoman pada kepentingan nasionalnya dalam ikut serta dalam pemeliharaan perdamaian dunia, dengan fokus mencapai penyelesaian konflik yang bermanfaat secara ekonomi, politik, dan keamanan. Strategi pertahanan suatu negara juga dipengaruhi oleh posisi strategisnya sebagai negara terbesar di ASEAN yang mengedepankan tanggung jawabnya untuk menjaga stabilitas dan keamanan kawasan. Upaya modernisasi militer Indonesia didorong oleh kebutuhan untuk mempertahankan kekuatan regionalstabilitas keamanan dan untuk melawan potensi ancaman dari Laut Cina Selatan. Sikap netral negara dalam konflik Laut Cina Selatan membawa manfaat kerja sama dan bantuan militer, khususnya dari China, yang menjadi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan kemampuan militernya. Upaya strategis Indonesia harus menyeimbangkan kekuatan-kekuatan besar yang mempunyai kepentingan bersaing di Asia Tenggara dan Asia-Pasifik, sehingga menjadikannya pemain penting dalam politik kawasan. Kekuatan pertahanan negara di tengah meningkatnya ancaman konflik di Laut Cina Selatan dinilai masih jauh dari siap, dengan kekuatan militer Indonesia yang tertinggal jauh dibandingkan China dalam hal jumlah personel dan aset angkatan laut.

  • Penutup
  • Kesimpulan

Perkembangan strategis lingkungan saat ini semakin cepat. Salah satu subjek yang menarik perhatian dunia saat ini adalah perselisihan mengenai klaim Laut China Selatan (LCS). LCS adalah sebuah perairan yang memiliki banyak potensi besar karena mengandung minyak bumi dan gas alam, serta memiliki peran penting sebagai jalur perdagangan, pelayaran, dan distribusi minyak di seluruh dunia. China, Taiwan, Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Malaysia adalah salah satu dari banyak negara yang terlibat dalam konflik ini. Banyak negara di atas memperebutkan Laut China Selatan karena potensi sumber daya alamnya yang luar biasa.

Konflikt di Laut China Selatan sebenarnya lebih berdampak pada dunia internasional dan negara-negara di Asia Tenggara. Ini menimbulkan ketegangan antar negara, tetapi setiap negara memiliki cara mereka sendiri untuk menangani konflik tersebut agar hubungan antar negara dapat berjalan dengan alasan ekonomi, politik, dan sosial. Salah satu efek militer adalah peningkatan pengawasan dan alutsista militer setiap negara di darat dan udara untuk mengontrol aktivitas pertahanan negara, terutama di laut China selatan, tempat konflik terjadi.

Konflik di Laut China Selatan juga dapat berdampak pada ekonomi Indonesia, terutama dalam hal perdagangan dan investasi. Ketidakpastian ekonomi dan penghambat kerja sama ekonomi antara Indonesia dan negara-negara di wilayah tersebut dapat disebabkan oleh ketegangan yang terjadi di wilayah tersebut. Dengan nilai ekonomi sebesar US$5 triliun dan nilai lima kali lipat dari GDP Indonesia, wilayah perairan Laut China Selatan tentu akan berdampak pada jalur perdagangan ekspor dan impor Indonesia. Pembatasan di wilayah ini pasti akan menyebabkan kerugian bagi Indonesia, bukan hanya ekonomi nasional hal itu pasti akan berdampak pada jalur perdagangan ekspor dan impor, dan negara Indonesia pasti akan mengalami kerugian, bukan hanya di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang lain yang dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi ekspor dan impor.

Konflik di Laut China Selatan dapat membahayakan kedaulatan Indonesia, terutama dalam hal klaim Indonesia atas wilayah perairan yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan. Konflik ini dapat menimbulkan ketegangan antara negara-negara yang mengklaim wilayah tersebut, termasuk Indonesia, dan mengancam stabilitas regional. Selain itu, konflik di Laut China Selatan dapat berdampak pada keamanan maritim Indonesia, terutama dalam hal penangkapan ikan ilegal, perdagangan ilegal, dan kejahatan lintas batas lainnya yang dapat mengancam kedaulatan Indonesia.

Indonesia tetap berpartisipasi aktif dalam proses penyelesaian konflik meskipun tidak memiliki kepentingan langsung di area sengketa. Sejak tahun 1990, misalnya, negara ini telah mengadakan pertemuan koordinasi tahunan MPCSCS, yang memungkinkan negara-negara yang berkonflik berbicara satu sama lain dan memikirkan peluang kerja sama di area sengketa. Klaim China tentang peta sembilan garis putus-putus China yang dianggap mengancam wilayah Kepulauan Natuna adalah alasan mengapa Indonesia terlibat dalam kasus LCS. Tentara Indonesia bergabung dengan Cooperation Afloat Readiness and Training (CARAT), latihan militer gabungan terbesar di tahun 1996 yang menghubungkan tentara AS, Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, dan Thailand, karena kekhawatiran tersebut.

Keterlibatan Indonesia dalam penyelesaian konflik Laut Natuna Selatan merupakan strategi Indonesia dalam menjaga kedaulatan negara dalam mewujudkan kepentingan nasionalnya. Penggunaan militer bukan dilakukan sebagai alat pertempuran melain menggunakan cara-cara halus dalam menyelesaikan konflik. Diplomasi, Kerjasama Regional, Penguatan Pertahanan, dan Penegakan Hukum Internasional merupakan strategi yang harus dilakukan oleh Indonesia dalam menghadapi ancaman Laut China Selatan terhadap kedaulatan negara.

 

Daftar Pustaka

Anton, M., Agus, S., & Achluddin, I. (2021). Indonesian Defense Diplomacy in the Resolution of the South China Sea Conflict. Journal of Political Science and International Relations, 4(2), 33.

Aprilla, W. (2021). Indonesia's Efforts in Resolving South China Sea Conflict. International Journal on Social Science, Economics and Art, 11(1), 1-11.

Budiana, M., Muhammad Fedryansyah, M. F., Yusa Djuyandi, Y. D., & Ramadhan Pancasilawan, R. P. (2023). Indonesia military power under the increasing threat of conflict in the South China Sea. Central European Journal of International and Security CEJISS., 13(4), 259-274.

Darmawan, A. B., & Mahendra, L. (2018). Isu Laut Tiongkok Selatan: Negara-negara ASEAN Terbelah Menghadapi Tiongkok. Jurnal Global & Strategis, 12(1), 79.

Djuyandi, Y., Illahi, A. Q., & Aurel, A. C. H. (2021). Konflik Laut China Selatan serta dampaknya atas hubungan sipil militer di Asia Tenggara. Jurnal Ilmiah Muqoddimah: Jurnal Ilmu Sosial, Politik, dan Humaniora, 5(1), 112-124.

Indonesia's role in resolving South China Sea disputes. 15 April 2024 dalam https://en.antaranews.com/news/310854/indonesias-role-in-resolving-south-china-sea-disputes diakses pada 28 April 2024

Inggra Parandaru. 17 April 2024. Sengketa Laut China Selatan dan Ancaman Kedaulatan Indonesia dalam https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/sengketa-laut-china-selatan-danancaman-kedaulatan-indonesia diakses pada 28 April 2024

Johannes, R. (2023). Peningkatan Ketegangan Geopolitik Di Laut China Selatan. Jurnal Lemhannas RI, 11(4), 211-218.

Maksum, A. (2017). Regionalisme dan kompleksitas laut china selatan. Sospol: Jurnal Sosial Politik, 3(1), 1-25.

Nugraha, A. A. (2011). Manuver Politik Cina dalam Konflik Laut Cina Selatan. Jurnal Pertahanan, 1(3), 56.

Putro, A. T., Legowo, E., Suwarno, P., Widodo, P., & Sukendro, A. (2023). Indonesian Leadership Policies and Strategies In Facing The South China Sea Conflict. International Journal Of Humanities Education and Social Sciences, 3(3).

Rimapradesi, Y., Nasution, S. N., Ahmad, S. T. M., & Muhammad, F. (2023). Sikap Indonesia Terhadap Krisis China dan Amerika Serikat di Laut China Selatan. Neoclassical Legal Review: Journal of Law and Contemporary Issues, 2(1), 42-46.

Samy, M. (2023). Soldiers and Diplomats: Indonesian Naval Diplomacy in the South China Sea. Indonesian Journal of International Relations, 7(1), 119-139.

Saragih, H. M. (2018). Diplomasi Pertahanan Indonesia dalam konflik laut china selatan. Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi, 8(1), 48-63.

Sendow, A. M. (2023). Dampak Hukum Konflik Laut Cina Selatan Terhadap Perdagangan Lintas Batas Menurut Hukum Laut Internasional. Lex Privatum, 11(3).

Sri Yaumil Habibie. 25 April 2024. South China Sea Conflict: Indonesia’s Maritime Diplomacy diakses dalam https://moderndiplomacy.eu/2024/04/25/south-china-sea-conflict-indonesias-maritime-diplomacy/ pada 28 April 2024

Suharman, Y. (2019). Dilema Keamanan dan Respons Kolektif ASEAN Terhadap Sengketa Laut Cina Selatan. Intermestic: Journal of International Studies, 3(2), 127-146.

Sulistyani, Y. A., Pertiwi, A. C., & Sari, M. I. (2021). Respons Indonesia Terhadap Sengketa Laut China Selatan Semasa Pemerintahan Joko Widodo [Indonesia’s Responses toward the South China Sea Dispute During Joko Widodo’s Administration. Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri dan Hubungan Internasional, 12(1), 85-103.

Tampi, B. (2017). Konflik kepulauan natuna antara indonesia dengan china (suatu kajian yuridis). Jurnal Hukum Unsrat, 23(10).

Toruan, G. T. L., & Theodorus, G. (2020). Peran Strategis Indonesia dalam Penyelesaian Konflik Laut China Selatan dalam Perspektif Stabilitas Keamanan Regional. Jurnal Keamanan Nasional, 6(1), 111-129.

Waluyo, S. D. (2023). Indonesian Defense Diplomacy in Responding to China’s National Interest in South China Sea. Jurnal Hubungan Internasional, 12(1), 13-24.

Wasito, B., Wiranto, S., & Harsono, G. (2022). Defense Cooperation Strategy Indonesia and United Threat States South China Sea Conflict (South China) to Preserve Republic of Indonesia Sovereign. Jurnal Education and Development, 10(2), 163-166.

Wicaksana, I. G. W. (2019). Indonesia in the South China Sea: Foreign Policy and Regional Order. Global Strategis, 13(2), 35-48.

Widiyanto, W., Anwar, S., & Risdhianto, A. (2024). The Role of Indonesia’s Defense Diplomacy in Realizing the Optimal Code of Conduct in Order to Reduce the Widespread Conflict in the South China Sea Region. East Asian Journal of Multidisciplinary Research, 3(2), 787-796.

Zuhri, A. S., & Hanifa, H. (2017). The Influence of The Strategic Position of Indonesia in the South China Sea Toward the Military Partnership Between Indonesia and China in 2010-2015. Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities, 7(1), 55-70.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun