Mohon tunggu...
Muhammad Fajariansyah
Muhammad Fajariansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN RADEN FATAH PALEMBANG

saya adalah seorang mahasiswa ilmu politik “Dalam demokrasi, politik adalah seni membuat orang percaya bahwa ia memerintah.” - Louis Latzarus

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gerakan 212: Dinamika Sosial dan Dampaknya Terhadap Masyarakat Indonesia

15 April 2024   21:18 Diperbarui: 19 April 2024   00:46 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia kontemporer adalah Gerakan 212. Gerakan ini mencerminkan dinamika sosial yang kompleks yang ada di masyarakat Indonesia dan dampak besarnya terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dari awal Setelah muncul pada tahun 2016, Gerakan 212 telah menjadi subjek perdebatan yang hangat dan kontroversial. 

Itu bermula dari protes massal yang dilakukan oleh banyak kelompok orang di Indonesia, terutama orang Islam, terhadap asumsi penistaan agama oleh gubernur Jakarta pada saat itu. Selanjutnya, tindakan ini menjadi gerakan yang lebih luas, menggabungkan berbagai aspek komunitas yang terdiri dari orang-orang dari berbagai latar belakang dan agama. 

Proses sosial yang terjadi di Gerakan 212 menunjukkan ketidak sepakatan pendapat,nilai, dan perspektif yang ada di warga negara Indonesia. Ada konflik kelompok dan polarisasi pendapat di gerakan ini. Sebagian orang melihat Gerakan 212 sebagai perjuangan untuk keadilan dan prinsip agama, sementara banyak orang melihatnya sebagai bentuk radikalisme dan intoleransi. Selain itu, gerakan 212 memiliki dampak yang signifikan terhadap masyarakat Indonesia.

Proses politik dan sosial di negara ini telah berubah sebagai akibat dari gerakan ini. Pertama-tama, Gerakan 212 menunjukkan kekuatan massa yang dapat digunakan untuk memengaruhi kebijakan pemerintah dan dinamika politik di Indonesia. Demonstrasi massal yang dilakukan oleh anggota Gerakan 212 telah berhasil menarik perhatian publik dan memaksa otoritas untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan mereka. Identitas dan solidaritas umat Islam IndonesiajugatelahdiperkuatolehGerakan212.

Mereka yang berpartisipasi dalam gerakan ini merasa bersatu untuk membela nilai-nilai agama dan keadilan, yang menghasilkan rasa persatuan dan kesatuan di antara mereka. Sebaliknya, hal ini juga dapat menimbulkan perpecahan di antara kelompok masyarakat yang memiliki perspektif yang berbeda. 

Selain itu, masyarakat Indonesia mengalami dampak ekonomi dari Gerakan 212. Selama gerakan ini, demonstrasi massal dan ketegangan politik telah mengganggu stabilitas ekonomi. Ketidakpastian yang ditimbulkan oleh gerakan ini berdampak pada investasi dan kegiatan ekonomi di berbagai bidang. Secara keseluruhan, Gerakan 212 adalah peristiwa sosial yang kompleks yang memengaruhi masyarakat Indonesia. Proses sosial.

Gerakan Sosial dan Aksi Bela Islam

Gerakan sosial sering kali menjadi wadah bagi masyarakat untuk mengekspresikan pendapat dan keprihatinan terhadap isu-isu yang dianggap penting. Salah satu contoh gerakan sosial yang mencuat di Indonesia adalah aksi Bela Islam 212 yang terjadi sebagai respons terhadap kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab disapa Ahok. Aksi Bela Islam 212 pada tahun 2016 menjadi salah satu aksi massa terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. 

Ribuan orang dari berbagai daerah berkumpul di Monas untuk menyuarakan tuntutan agar Ahok di adilil atas tuduhan penistaan agama. Dalam konteks ini, penistaan agama yang dilakukan Ahok dianggap sebagai pelecehan terhadap umat Islam, sehingga menimbulkan reaksi emosional dari sebagian masyarakat Indonesia.

Peristiwa ini juga memperlihatkan bagaimana kekuatan media sosial dapat memperkuat gerakan sosial. Melalui media sosial, informasi tentang aksi Bela Islam 212menyebar dengan cepat dan luas,mengumpulkan massa yang sejalan dalam tuntutan untuk menegakkan keadilan atas kasus penistaan agama. 

Hashtag #BelaIslam212 menjadi trending dan menjadi bukti bagaimana peran media sosial dalam menyatukan suara dan menggerakkan aksi massa. Namun, di balik kekuatan dan kebersamaan yang ditunjukkan oleh aksi Bela Islam 212,juga terdapat kontroversi dan perdebatan di kalangan masyarakat. Beberapa pihak memandang bahwa aksi tersebut terlalu ekstrem dan menimbulkan ketegangan antar kelompok masyarakat.Selainitu,ada pula yang mengkritik bahwa aksi tersebut dimanfaatkan oleh

pihak-pihak tertentu untuk kepentingan politik atau golongan tertentu. Dalam konteks penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok, perdebatan seputar kebebasan berpendapat dan hukuman yang seharusnya diterapkan juga menjadi sorotan. Beberapa pihak berpendapat bahwa kebebasan berpendapat harus dijaga, namun tidak boleh menghina atau melecehkan agama atau keyakinan orang lain. Sementara itu, ada juga yang mendukung hukuman bagi pelaku penistaan agama sebagai bentuk perlindungan terhadap nilai-nilai keagamaan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.

Menurut Latief (JURNAL MAARIF Vol. 11, No. 2-Desember 2016), gerakan Bela Islam berbeda dari gerakan sosial lain di Indonesia. Hal ini karena gerakan Bela Islam fokus pada politik praktis, khususnya kontestasi pemilihan gubernur DKI Jakarta, dan posisi Ahok sebagai gubernur pertahanan yang mencalonkan diri untuk periode lima tahun berikutnya. Tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial politik yang melatar belakangi gerakan Aksi Bela Islam ini, yaitu Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017.

Lalu Menurut Jati (Jurnal Maarif Vol.12, No.1-Juni 2017), peristiwa pemilu kepala daerah di Jakarta telah menimbulkan spekulasi bahwa Aksi Bela Islam merupakan gerakan politik. Selain itu, beberapa hari sebelum pemilihan, terjadi gerakan politik yang disebut "Tamasya Al-Maidah" dengan tujuan mendorong pemilih Jakarta untuk memilih pemimpin muslim.

Dan menurut Sholikin (Madani, Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan, Vol. 10, No. 1, 2018) menyatakan bahwa Aksi Bela Islam adalah gerakan intensifikasi yang didasarkan pada solidaritas dan didorong oleh masalah penistaan agama. Banyak tokoh Islam yang hadir dalam Aksi Bela Islam dan memiliki banyak jamaah. 

Namun, ciri khas dari tokoh-tokoh islam ini adalah mereka menggunakan pendekatan dakwah yang berbeda-beda, bahkan jika mereka berbicara tentang topik yang sama setiap kali. Tokoh seperti Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), pimpinan Pesantren Daarut Tauhid di Bandung; Muhammad Arifin Ilham, pimpinan Majlis Zikir Az-Zikra; Habib Rizieq Shihab, Imam Besar Front Pembela Islam (FPI); Bachtiar Nasir, Ketua GNPF dan Sekretaris Jendral 1 Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI); dan KH. Ma'ruf Amin, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). dan tokoh tokoh dari ormas islam lain yang memiliki banyak jamaah. Secara keseluruhan, ketiga artikel tersebut menyatakan bahwa Aksi Bela Islam 212 bukan hanya demonstrasi; itu telah berkembang menjadi gerakan sosial yang rumit yang berdampak besar pada struktur sosial, politik, dan keagamaan Indonesia.

Dinamika Sosial

Peristiwa penistaan agama yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama, atau yang lebih dikenal sebagai Ahok, telah menimbulkan dinamika sosial yang signifikan di Indonesia. Gerakan massa 212 adalah salah satu contohnya. Perdebatan lama tentang kebebasan agama dan kebebasan berpendapat muncul sebagai akibat dari peristiwa ini. Ini juga menunjukkan seberapa kompleks hubungan antara agama dan politik di Indonesia. 

Bermula dari demonstrasi besar-besaran di Jakarta pada 2 Desember 2016, Gerakan 212 menuntut penegakan hukum terhadap Ahok atas tuduhan penistaan agama. Para demonstran, yang sebagian besar terdiri dari orang Islam, menuntut agar Ahok segera didakwa karena pernyataannya tentang ayat 51 dari surah Al-Maidah dalam Al-Quran. 

Proses sosial yang terjadi selama peristiwa tersebut menunjukkan ketidaksepakatan masyarakat Indonesia. Di satu sisi, ada kelompok yang mendukung gerakan 212 sebagai bentuk pembelaan terhadap agama dan keadilan.

Di sisi lain, ada pula kelompok yang mengkritik gerakan tersebut karena dianggap memperkeruh situasi sosial dan politik di Tanah Air. Salah satu dampak dari dinamika sosial yang tercipta adalah polarisasi opini di masyarakat. Pendukung gerakan 212 merasa bahwa Ahok harus dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku, sementara pihak lain berpendapat bahwa penegakan hukum harus dilakukan secara adil dan tidak dipengaruhi oleh tekanan massa. 

Selain itu, peristiwa penistaan agama Ahok juga memperkuat narasi tentang pentingnya menjaga kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Masyarakat mulai menyadari bahwa toleransi dan kerjasama antar umat beragama merupakan kunci keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Peristiwa ini memengaruhi dinamika kekuasaan dalam konteks politik. Akhirnya, Ahok, yang saat itu menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, menghadapi proses hukum. Pada pemilihan umum selanjutnya, Anies Baswedan terpilih sebagai gubernur, yang menandai perubahan politik yang signifikan. 

Peristiwa ini juga memicu diskusi lebih luas tentang hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat di Indonesia. Ada peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya mempertahankan prinsip demokrasi untuk menyelesaikan perbedaan pendapat. Oleh karena itu, dinamika sosial yang terjadi di 212 terkait penistaan agama Ahok bukan hanya peristiwa sejarah tetapi juga gambaran dari bangsa Indonesia.

Politik indonesia

Gerakan sosial 212 telah berkembang menjadi peristiwa politik yang signifikan. Gerakan ini bermula dari demonstrasi besar-besaran di Jakarta pada 2 Desember 2016. Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama juga dikenal sebagai Ahok diduga melakukan penistaan agama, yang memicu protes. Ahok, seorang penganut agama Kristen, dianggap telah menista agama Islam ketika dia membahas ayat 51 dari surat Al-Maidah dalam sebuah pidato kampanye. Orang-orang Muslim di Indonesia marah karena pernyataannya yang dianggap merendahkan Islam, yang memicu gerakan sosial besar yang disebut Gerakan 212. Gerakan 212, yang mengambil nama dari tanggal protes tersebut, dipimpin oleh sejumlah ormas Islam konservatif di Indonesia.

Gerakan ini menuntut agar Ahok segera ditahan dan diproses hukum atas tuduhan penistaan agama. Selain itu, mereka juga menuntut agar Ahok dicopot dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Politik Indonesia pun terusik dengan adanya Gerakan 212 ini. Para politisi pun berusaha menjaga keseimbangan di tengah gejolak politik yang terjadi. Beberapa politisi mengambil sikap mendukung Gerakan 212 sebagai bentuk dukungan terhadap aksi protes yang dilakukan oleh masyarakat. Sementara itu, ada juga politisi yang berusaha menenangkan massa dan mencari jalan keluar damai dari konflik yang sedang terjadi. Peran politik dalam kasus Ahok dan Gerakan 212 ini sangat krusial. Pembahasan politik di Indonesia menjadi semakin kompleks dengan adanya isu-isu agama yang terus mencuat ke permukaan. Politisi dituntut untuk mampu mengayomi dan meredakan ketegangan yang ada, sekaligus tetap menjaga prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum. Selain itu, kasus Ahok dan Gerakan 212 juga membuka ruang bagi diskusi lebih lanjut mengenai toleransi dan pluralisme di Indonesia.

Sebagai negara dengan beragam suku, agama, dan budaya, Indonesia harus mampu menciptakan ruang bagi semua pihak untuk berpendapat tanpa adanya diskriminasi atau kekerasan. Dalam konteks politik Indonesia, Gerakan 212 juga menjadi momentum bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses politik Melalui demonstrasi, masyarakat menunjukkan komitmennya terhadap prinsip-prinsip penting. Ini menunjukkan bahwa seluruh rakyat Indonesia sekarang memiliki peran dalam politik Indonesia, bukan hanya para politisi tertentu. Meskipun kasus Ahok dan Gerakan 212 mungkin telah berlalu seiring berjalannya waktu, pengaruh mereka terhadap Indonesia masih melekat di ingatan masyarakat.

Identitas Komunal

Identitas komunal dapat sangat memengaruhi politik suatu negara, seperti yang ditunjukkan oleh gerakan sosial 212 di Indonesia pada tahun 2016. Salah satu penyebab utama gerakan ini adalah kasus yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama, atau Ahok, Gubernur DKI Jakarta saat itu. Ahok, seorang politisi beragama Kristen keturunan Tionghoa- Indonesia, menjadi sasaran dari sejumlah tuduhan dan serangan selama kampanye Pilkada DKI Jakarta. Sejumlah bagian masyarakat, terutama yang dikenal sebagai kelompok Islam konservatif, menjadi marah karena pernyataannya yang dianggap menista agama Islam. Dalam konteks ini, identitas komunal memainkan peran yang sangat penting dalam membentuk persepsi dan reaksi terhadap kasus Ahok. Kelompok-kelompok yang merasa terancam atau diidentifikasi sebagai bagian dari komunitas yang dilukai oleh pernyataan Ahok merasa perlu untuk bersatu dan menunjukkan solidaritas dalam menegakkan nilai-nilai dan identitas mereka.

Gerakan sosial 212 yang kemudian terbentuk menjadi wadah bagi ekspresi identitas komunal ini. Dengan mengusung narasi agama dan kebangsaan sebagai poin sentral, gerakan ini berhasil menggalang dukungan massif dari berbagai elemen masyarakat yang merasa terpanggil untuk membela "kebenaran" dan "martabat" agama dan bangsa. Namun, di balik solidaritas dan semangat yang digelorakan oleh gerakan sosial 212, terdapat kompleksitas yang perlu dipahami lebih dalam. Identitas komunal yang digunakan sebagai basis persatuan juga bisa menjadi alat yang mudah dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu. Identitas dan agama digunakan sebagai katalisator untuk menimbulkan polarisasi dan perselisihan di masyarakat dalam kasus Ahok.

Dalam konteks gerakan sosial seperti 212, penting untuk mempertimbangkan cara identitas komunal dilihat dan digunakan. Meskipun solidaritas dan kebersamaan dalam memperjuangkan nilai-nilai bersama sangat penting untuk membangun kesadaran kolektif, juga perlu di ingat bahwa kemungkinan marginalisasi terhadap kelompok minoritas yang tidak sejalan dengan sejarah mayoritas mungkin terjadi. Memahami dinamika identitas komunal menjadi penting dalam menjaga keberagaman dan keadilan sosial dalam konteks Indonesia yang pluralistik. Gerakan sosial seperti 212 dapat menjadi gambaran dari banyaknya hubungan antar identitas yang ada di masyarakat dan menjadi panggilan untuk meningkatkan diskusi dan pemahaman antara kelompok.

DAMPAK GERAKAN 212

Gerakan ini mendesak penegakan hukum atas tuduhan penistaan agama yang dilakukan oleh gubernur saat itu. Di luar masalah agama, Gerakan Sosial 212 memiliki konsekuensi yang signifikan bagi masyarakat Indonesia. Meningkatnya kesadaran akan kekuatan massa dalam mengubah kebijakan pemerintah adalah salah satu hasil utama dari Gerakan Sosial

212. Demonstrasi tersebut menunjukkan bahwa komunitas memiliki kemampuan untuk secara kolektif menyuarakan pendapat mereka dan menuntut perubahan. Hal ini telah mengubah cara orang Indonesia melihat partisipasi politik. Sekarang mereka lebih tertarik untukberpartisipasidalammasalahsosialdanpolitikyangmerekaanggappenting.Selainitu, Gerakan Sosial 212 telah menimbulkan polarisasi di masyarakat. Meskipun gerakan ini didukung oleh sebagian besar umat Islam di Indonesia, namun hal ini juga menimbulkan ketegangan antara kelompok agama dan kelompok lainnya.

Perbedaan pandangan dan penafsiran terhadap isu-isu sensitif seperti agama dapat memperdalam kesenjangan sosial di masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa Gerakan Sosial 212 juga telah membawa perubahan dalam politik Indonesia. Dengan melibatkan jutaan orang dalam demonstrasi, gerakan ini telah memberikan tekanan besar pada pemerintah untuk merespons tuntutan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari perubahan sikap pemerintah terhadap isu-isu agama dan kebijakan publik terkait. Namun, ada pula pandangan yang mengkritik dampak dari Gerakan Sosial 212 ini. Beberapa kritikus mengklaim bahwa gerakan ini telah memicu rasa tidak toleran dan radikalisme di masyarakat. Selain itu, keberhasilan gerakan ini berdampak pada kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

Gerakan ini memiliki dampak yang signifikan pada masyarakat Indonesia. Secara positif, tindakan ini meningkatkan kesadaran religius dan kebangkitan umat Islam di Indonesia. Banyak orang merasa tertarik untuk lebih memahami dan menerapkan ajaran agama mereka. Sebaliknya, kegiatan ini juga berdampak negatif, terutama bagi warga keturunan Tionghoa di Jakarta, yang merasa trauma dan tidak nyaman dengannya. Beberapa pengusaha Tionghoa bahkan mempertimbangkan untuk meninggalkan Jakarta, yang dapat mengganggu bisnis kota. Dari sudut pandang perubahan sosial, gerakan 212 menunjukkan bagaimana gerakan politik dapat berdampak pada kebijakan pemerintah. Akibatnya, tindakan ini berhasil mendorong pemerintah untuk mengambil tindakan hukum terhadap kasus penistaan agama, menunjukkandampaknyapadakehidupansosialdanagamaIndonesia.Secarakeseluruhan,

gerakan 212 telah menjadi contoh penting dari kemampuan gerakan sosial untuk memengaruhi pembicaraan publik dan kebijakan pemerintah,sekaligus menekankan berbagai konsekuensi sosial yang dapat ditimbulkan oleh gerakan sosial. Selain itu, gerakan ini menunjukkan betapa pentingnya toleransi dan ke bhinnekaan dalam masyarakat yang heterogen seperti Indonesia.

KESIMPULAN

Aksi Bela Islam atau Gerakan 212 adalah demonstrasi besar yang terjadi di Jakarta pada 2 Desember 2016. Aksi ini dimulai sebagai tanggapan atas pernyataan kontroversial yang dibuat oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama, yang dianggap menistakan ayat Al-Qur'an. Ratusan ribu orang menghadiri demonstrasi ini, yang mengubah kehidupan sosial Indonesia. Gerakan 212 juga berdampak pada politik. Gerakan ini menunjukkan kekuatan massa dalam memengaruhi kebijakan dan politik nasional. Para pemimpin politik dipaksa untuk menanggapi tuntutan masyarakat, yang dapat berdampak pada stabilitas politik dan kebijakan publik. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga keseimbangan antara kelangsungan demokrasi dan partisipasi politik masyarakat. Pertanyaan tentang identitas nasional dan agama Indonesia juga muncul sebagai hasil dari gerakan 212.

Selain itu, dampak sosial yang dihasilkan oleh Gerakan 212 dapat dibagi menjadi dua kategori: positif dan negatif. Secara positif, umat Islam Indonesia mengalami peningkatan kesadaran dan kebangkitan religius sebagai hasil dari gerakan ini, seperti yang ditunjukkan oleh peningkatan aktivitas keagamaan di media sosial dan keinginan untuk mempelajari lebih banyak tentang Islam. Namun, konsekuensi negatif dari tindakan ini adalah trauma dan ketidaknyamanan di kalangan penduduk Tionghoa Jakarta; beberapa di antara mereka adalah pengusaha yang mempertimbangkan untuk meninggalkan kota, mengancam ekonomi lokal.Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" digunakan dalam gerakan 212 untuk menunjukkan betapa pentingnya toleransi dan persatuan dalam hal keberagaman yang menjadi dasar negara Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun