“Ayo-ayo! Aku keluarin motor dulu.”
Aku buru-buru menyetop langkap Mas Andi sekalian berdalih agar tak jadi, “Mas-mas, Makananku bagaimana, Mas? Belum habis. Tidak usah aja, Mas.”
“Buruan dihabisin. Tinggal sedikit kok,” Suruh Mas Andi.
“Tidak bisa makan cepat, Mas. Semua makanan rasanya pahit. Padahal lauknya ayam,” ucapku. Sekarang memang lagi untungnya dapat katering ayam. Boro-boro ayam, seenak apa pun makan kalau lagi sakit ya tidak enak. “Perutku juga tidak enak. Mual, bawaannya ingin muntah.” Tambahku.
“Yaudah, ditinggal saja, dilanjutin nanti habis periksa!” Perintah Mas Andi.
Mungkin aku menyinggung perasaan Mas Andi sebab niat baik menolongnya kutolak mentah-mentah. Mas Andi begitu bersikerasnya ingin menolongku mengantar periksa. Aku jadi tak segan menolaknya. Sepertinya hanya Mas Andi juga yang peduli denganku. Buktinya ia selalu bertanya penasaran tentang kondisiku. Aku tidak mau menyia-nyiakan pertemanan ini. Aku buru-buru salin.
Aku meninggalkan piringku yang isinya sudah setengah di depan tivi. Berdua, kami menuju ke klinik.
“Mas Andi pernah berobat ke sini?” Tanya sambil menunggu di kursi tunggu klinik setelah mendaftar periksa dengan Mas Andi.
“Pernah, sekali.”
“Sakit apa, Mas, sampai berobat ke sini?”
“Meriang,”