Mohon tunggu...
Muhammad Arel Ocean Wiranto
Muhammad Arel Ocean Wiranto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang

Mendengarkan musik selalu menenangkan dan berdiskusi selalu menyenangkan untuk saya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Antara Norma dan Realita Faktor Sosiolegal dalam Praktik Korupsi

9 Maret 2024   14:55 Diperbarui: 13 Maret 2024   21:00 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PENDAHULUAN

Korupsi merupakan fenomena kompleks yang meresap dalam berbagai lapisan sosial dan struktur hukum, menimbulkan konsekuensi yang merugikan bagi integritas institusional dan keadilan sosial. Sebagai suatu pelanggaran etika dan hukum, korupsi mengikis fondasi kepercayaan publik terhadap sistem pemerintahan dan meruntuhkan prinsip-prinsip demokrasi. Dalam konteks hukum, korupsi dianggap sebagai kejahatan yang tidak hanya melanggar hukum positif, tetapi juga menantang supremasi hukum dan keadilan substantif.

Dari perspektif sosial, korupsi mencerminkan distorsi nilai-nilai sosial dan moral yang seharusnya mengatur interaksi antar individu dan antara individu dengan negara. Fenomena ini sering kali diperparah oleh ketidakseimbangan kekuasaan dan kesenjangan ekonomi, yang memungkinkan praktik korupsi berkembang dan menjadi endemik. Oleh karena itu, pendekatan sosiolegal terhadap korupsi menuntut pemahaman yang mendalam tentang aspek-aspek hukum yang terkait dengan norma-norma sosial, serta implikasi dari interaksi tersebut terhadap struktur sosial yang lebih luas.

Penulis akan mengkaji faktor-faktor sosiolegal yang berkontribusi pada prevalensi korupsi, dengan tujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis akar masalah serta menawarkan solusi yang dapat mengurangi praktik korupsi dan memperkuat integritas sistem hukum dan sosial.

Tujuan dari memahami faktor sosiolegal dalam konteks korupsi adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis bagaimana norma sosial dan kerangka hukum saling berinteraksi dan berkontribusi pada fenomena korupsi. Pemahaman ini penting karena:

  1. Mengungkap Akar Masalah: Dengan memahami faktor sosiolegal, kita dapat mengidentifikasi penyebab mendasar dari korupsi, yang sering kali tersembunyi di balik praktik-praktik yang tampaknya ‘normal’ dalam masyarakat.
  2. Membangun Strategi Pencegahan: Pengetahuan tentang faktor sosiolegal memungkinkan pembentukan strategi pencegahan yang lebih efektif, yang tidak hanya berfokus pada hukuman, tetapi juga pada perubahan norma dan nilai-nilai sosial.
  3. Memperkuat Sistem Hukum: Memahami faktor sosiolegal dapat membantu dalam merancang undang-undang dan regulasi yang lebih tangguh untuk mengatasi celah yang memungkinkan korupsi terjadi.
  4. Pendidikan dan Kesadaran Publik: Pemahaman ini dapat digunakan untuk meningkatkan kesadaran publik tentang dampak negatif korupsi dan pentingnya integritas serta transparansi.

Dengan demikian, pendekatan sosiolegal memberikan kerangka kerja yang komprehensif untuk memahami dan menangani korupsi, yang tidak hanya terbatas pada aspek hukum, tetapi juga mencakup dimensi sosial yang lebih luas.

Penulis berargumen bahwa praktik korupsi di Indonesia tidak hanya merupakan hasil dari kegagalan sistem hukum, tetapi juga refleksi dari norma sosial yang mendukungnya, sehingga memerlukan pendekatan sosiolegal yang komprehensif untuk mengungkap dan mengatasi faktor-faktor penyebabnya.

PEMBAHASAN

Budaya dan norma sosial yang mendukung praktik korupsi menciptakan lingkungan di mana perilaku korup dapat berkembang dan diterima sebagai ‘modus operandi’ standar. Dalam konteks ini, budaya pemberian hadiah dapat bertransisi menjadi suap ketika dilakukan dengan ekspektasi untuk mendapatkan imbalan atau layanan tertentu. Norma sosial yang membenarkan atau bahkan mendorong tindakan korup sebagai bagian dari proses bisnis atau administrasi negara menunjukkan adanya anomali dalam struktur sosial yang memfasilitasi korupsi.

Budaya dan norma sosial memiliki peran signifikan dalam membentuk perilaku dan ekspektasi dalam masyarakat. Dalam konteks korupsi, budaya dapat mempengaruhi persepsi tentang apa yang dianggap sebagai perilaku yang dapat diterima atau tidak. Misalnya, dalam masyarakat yang menekankan pentingnya hubungan interpersonal dan keharmonisan kelompok, pemberian hadiah dapat dianggap sebagai tindakan yang sopan dan diperlukan untuk memelihara hubungan. Namun, ketika pemberian hadiah ini melampaui batas dan menjadi suap untuk memperoleh keuntungan pribadi atau profesional, maka norma sosial tersebut telah disalahgunakan untuk membenarkan tindakan korup.

 

Norma sosial juga dapat menciptakan tekanan bagi individu untuk mengikuti praktik korup yang sudah menjadi ‘tradisi’ atau ‘cara kerja’ yang lazim. Ketika korupsi menjadi endemik, norma sosial yang mendukung integritas dan kejujuran dapat tergerus, dan perilaku korup menjadi ‘normalisasi’ yang sulit diubah.

 

Pengaruh budaya dan norma sosial terhadap praktik korupsi merupakan aspek yang sangat penting dalam memahami bagaimana korupsi dapat berkembang dan diterima dalam suatu masyarakat. Budaya dan norma sosial yang ada dalam masyarakat sering kali membentuk persepsi dan perilaku individu terkait dengan apa yang dianggap dapat diterima atau ditolak.

 

Dalam beberapa budaya, pemberian hadiah dianggap sebagai bentuk penghargaan atau cara untuk mempererat hubungan sosial. Namun, batasan antara pemberian hadiah dan suap bisa menjadi kabur, terutama ketika hadiah diberikan dengan harapan mendapatkan imbalan dalam bentuk akses atau layanan tertentu. Praktik ini dapat menjadi normalisasi suap dan korupsi sebagai bagian dari transaksi bisnis atau interaksi dengan pejabat pemerintah.

 

Persepsi masyarakat tentang korupsi juga memainkan peran penting. Jika korupsi dianggap sebagai sesuatu yang ‘biasa’ dan tidak dapat dihindari, maka upaya untuk melawannya bisa menjadi lemah. Ini menciptakan lingkungan di mana korupsi tidak hanya diterima tetapi juga diharapkan sebagai bagian dari proses mendapatkan layanan atau menyelesaikan urusan.

 

Ketidakadilan sosial dan ketimpangan ekonomi dapat memperburuk praktik korupsi. Ketika individu merasa bahwa sistem tidak memberikan kesempatan yang sama atau adil, mereka mungkin lebih cenderung menggunakan korupsi sebagai cara untuk ‘menyeimbangkan’ situasi. Ini mencerminkan kegagalan sistem sosial dan hukum untuk menyediakan mekanisme yang adil dan transparan.

 

Tingkat edukasi dan kesadaran masyarakat tentang korupsi dan dampaknya terhadap masyarakat secara keseluruhan juga berperan penting. Pendidikan yang efektif tentang nilai-nilai etika dan hukum dapat membantu mengubah norma sosial dan mengurangi toleransi terhadap korupsi.

 

Secara keseluruhan, untuk mengatasi korupsi, perlu ada perubahan dalam budaya dan norma sosial yang mendukung praktik ini. Hal ini melibatkan pendidikan, peningkatan kesadaran, dan pembangunan sistem hukum yang kuat yang tidak hanya mengejar pelaku korupsi tetapi juga menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi korupsi untuk berkembang.

 

Tekanan sosial dan keserakahan merupakan dua faktor yang sering kali saling terkait dan memperkuat praktik korupsi. Tekanan sosial, baik yang berasal dari ekspektasi kelompok atau tekanan ekonomi, dapat mendorong individu untuk mengadopsi perilaku korup sebagai cara untuk memenuhi standar sosial atau ekonomi tertentu. Keserakahan, yang ditandai dengan keinginan yang berlebihan untuk kekayaan atau kekuasaan, sering kali menjadi motivasi utama di balik tindakan korup, mengabaikan konsekuensi etis dan hukum dari tindakan tersebut.

 

Tekanan sosial sering kali berkaitan dengan ekspektasi kelompok dan norma sosial yang ada. Individu dapat merasa perlu untuk mengikuti praktik korup untuk mempertahankan status sosial mereka, memenuhi ekspektasi kelompok, atau karena takut kehilangan posisi atau pengaruh dalam masyarakat. Tekanan ini dapat berasal dari keluarga, teman, rekan kerja, atau bahkan dari struktur sosial yang lebih luas.

 

Keserakahan, sebagai motivasi internal, dapat memperkuat tekanan sosial ini. Keserakahan mendorong individu untuk mencari keuntungan pribadi tanpa mempertimbangkan konsekuensi etis atau hukum dari tindakan mereka. Dalam konteks korupsi, keserakahan dapat memanifestasikan diri dalam bentuk penyalahgunaan kekuasaan, penggelapan dana, atau penerimaan suap. Keserakahan ini sering kali diperparah oleh sistem yang tidak memiliki mekanisme kontrol yang efektif atau ketika hukuman untuk tindakan korup tidak cukup untuk mencegah perilaku tersebut.

 

Tekanan Sosial. Tekanan sosial dapat berasal dari berbagai sumber, termasuk ekspektasi kelompok, norma sosial, atau bahkan tekanan ekonomi. Dalam konteks korupsi, tekanan sosial dapat mendorong individu untuk mengikuti praktik korup yang sudah ada atau dianggap sebagai norma dalam suatu kelompok atau masyarakat. Misalnya, dalam lingkungan kerja di mana pemberian suap adalah hal yang umum, tekanan sosial dapat membuat seseorang merasa perlu untuk berpartisipasi dalam praktik tersebut untuk diterima atau untuk maju dalam karirnya.

 

Keserakahan. Keserakahan adalah dorongan yang kuat dan sering kali merupakan motivasi utama di balik tindakan korupsi. Ini berkaitan dengan keinginan yang tidak terkendali untuk memperoleh kekayaan, kekuasaan, atau status lebih dari yang dibutuhkan atau layak diperoleh. Keserakahan dapat membutakan individu terhadap konsekuensi etis dari tindakannya dan mendorong mereka untuk menggunakan posisi atau sumber daya yang mereka miliki untuk keuntungan pribadi.

 

Kombinasi dari tekanan sosial dan keserakahan dapat menciptakan siklus yang sulit dipecahkan, di mana norma sosial yang korup diperkuat oleh keinginan individu untuk mendapatkan lebih banyak, dan sebaliknya, keserakahan individu diperkuat oleh tekanan sosial untuk ‘menjaga standar’. Untuk mengatasi korupsi, penting untuk memahami dan mengintervensi kedua aspek ini, baik melalui pendidikan dan pembangunan karakter, maupun melalui reformasi sistem yang mengurangi peluang untuk korupsi dan meningkatkan transparansi serta akuntabilitas.

 

  • Faktor Legal

 

Kekuatan hukum dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia merupakan aspek fundamental yang menentukan efektivitas dan efisiensi dari upaya-upaya yang dilakukan. Indonesia telah mengadopsi berbagai peraturan dan kebijakan untuk mengatasi korupsi. Penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia, meskipun telah memiliki dasar hukum yang kuat seperti Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, masih dihadapkan pada tantangan dalam implementasinya. Faktor-faktor seperti materi hukum, kualitas sumber daya manusia, independensi dan kerja sama antar lembaga penegak hukum, serta hukuman yang diberikan, semuanya mempengaruhi efektivitas penegakan hukum terhadap kasus korupsi di Indonesia. 

 

Indonesia telah menetapkan kerangka hukum yang kuat untuk pemberantasan korupsi, yang diwujudkan dalam berbagai peraturan dan undang-undang. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, memberikan dasar hukum yang kokoh untuk penanganan kasus-kasus korupsi. Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didirikan sebagai lembaga independen dengan mandat khusus untuk memberantas korupsi, yang beroperasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. 

 

Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia menghadapi berbagai tantangan, termasuk kebutuhan akan penegak hukum yang tegas dan independen. Pengadilan anti-korupsi telah dibentuk untuk memastikan bahwa penegakan hukum dilakukan secara tegas dan adil. Penegak hukum di Indonesia, termasuk KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung, memiliki peran penting dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pelaksanaan keputusan pengadilan. Namun, tantangan seperti profesionalisme, integritas, dan pelatihan yang memadai bagi aparat penegak hukum harus terus diatasi untuk meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi. 

 

Meskipun dasar hukum yang ada cukup kuat, masih terdapat hambatan dalam sistem hukum yang memungkinkan korupsi terjadi. Beberapa hambatan yang dihadapi dalam sistem hukum Indonesia dalam pemberantasan korupsi meliputi:

 

  1. Egoisme Sektoral dan Institusional: Tendensi untuk mengajukan dana sebanyak-banyaknya untuk sektor dan instansi tertentu tanpa memperhatikan kebutuhan nasional secara keseluruhan, serta upaya untuk menutupi penyimpangan yang terjadi di sektor atau instansi tersebut.
  2. Lemahnya Pengawasan: Fungsi pengawasan belum berjalan secara efektif, yang menyebabkan lemahnya koordinasi antara aparat pengawasan dan aparat penegak hukum.
  3. Sistem Pengendalian Intern yang Lemah: Sistem pengendalian intern yang lemah berkorelasi positif dengan berbagai penyimpangan dan inefisiensi dalam pengelolaan kekayaan negara dan rendahnya kualitas pelayanan publik.
  4. Rendahnya Transparansi dan Akuntabilitas: Sistem pemerintahan yang kurang transparan dan akuntabel memungkinkan korupsi tumbuh subur.
  5. Hukuman yang Tidak Tegas: Kurangnya hukuman yang tegas terhadap pelaku korupsi memberikan insentif bagi individu yang ingin terlibat dalam praktik korupsi.

 

Meskipun dasar hukum yang ada cukup kuat, masih terdapat hambatan dalam sistem hukum yang memungkinkan korupsi terjadi. Egoisme sektoral, lemahnya pengawasan, sistem pengendalian intern yang tidak efektif, rendahnya transparansi dan akuntabilitas, serta hukuman yang tidak tegas, semuanya berkontribusi pada persistensinya korupsi. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang terintegrasi dan komprehensif untuk mengatasi hambatan-hambatan ini, termasuk memperkuat pengawasan, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, serta memastikan hukuman yang efektif dan tegas bagi pelaku korupsi.

 

  • Interaksi Sosial dan Legal

 

Faktor sosial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap sistem hukum. Norma sosial, nilai-nilai budaya, dan perilaku masyarakat secara keseluruhan dapat mempengaruhi bagaimana hukum dibentuk, diterapkan, dan dipatuhi. Misalnya, jika suatu masyarakat memiliki norma yang toleran terhadap korupsi, hal ini dapat mengurangi efektivitas hukum anti-korupsi karena kurangnya dukungan sosial untuk penegakan hukum tersebut. Selain itu, faktor sosial seperti pendidikan, kesadaran hukum, dan kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum juga memainkan peran penting dalam menentukan seberapa baik hukum dapat ditegakkan.

 

Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat dapat mempengaruhi pemikiran dan pendekatan terhadap hukum. Di Indonesia, hukum telah terpengaruh oleh hukum Belanda sejak zaman kolonial, namun perubahan sosial yang terjadi seharusnya dapat membawa pemikiran hukum ke arah yang lebih progresif. Perkembangan tradisi dan kebiasaan masyarakat Indonesia telah menyebabkan sistem hukum mengalami perpaduan antara Sistem Hukum Eropa Kontinental dan Anglo-Saxon, serta dipengaruhi oleh pemikiran positivisme dan jurisprudensi sosiologis. 

 

Hubungan sosial dalam kelompok atau masyarakat sangat berpengaruh terhadap penerapan hukum. Sosiologi hukum menitikberatkan pada hubungan sosial yang terjadi dalam proses penegakan hukum dan hasil putusan hukum, yang akan menimbulkan dampak secara sosial. Oleh karena itu, sistem hukum yang efektif harus sesuai dengan kaidah dan norma yang hidup di masyarakat, menekankan bahwa hukum positif akan berjalan efektif apabila sesuai dengan realitas sosial. 

 

Norma sosial yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi bagaimana hukum ditegakkan. Jika norma sosial cenderung toleran terhadap praktik tertentu, seperti korupsi, maka penegakan hukum terhadap praktik tersebut akan menjadi lebih sulit. Sebaliknya, jika masyarakat memiliki norma yang kuat terhadap integritas dan keadilan, maka penegakan hukum akan lebih didukung dan dihormati.

 

Tingkat edukasi dan kesadaran hukum yang tinggi dalam masyarakat dapat meningkatkan pemahaman dan dukungan terhadap sistem hukum. Pendidikan hukum yang efektif dapat membantu masyarakat memahami pentingnya hukum dan konsekuensi dari pelanggaran hukum, yang pada gilirannya dapat memperkuat penegakan hukum.

 

Praktik korupsi memiliki dampak yang merugikan bagi masyarakat dan sistem hukum. Korupsi dapat mengikis kepercayaan publik terhadap integritas institusi pemerintah dan lembaga hukum, menghambat pembangunan ekonomi, dan memperburuk ketidaksetaraan sosial. Dalam sistem hukum, korupsi dapat menyebabkan tidak efisiennya birokrasi, melemahnya otoritas pemerintahan, dan terhambatnya alokasi sumber daya yang adil dan efisien. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi tidak hanya memerlukan reformasi hukum tetapi juga perubahan sosial yang mendukung nilai-nilai integritas dan transparansi.

 

Korupsi memiliki dampak yang sangat merugikan bagi masyarakat. Ia dapat mengikis kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah dan lembaga hukum, menghambat pembangunan ekonomi, dan memperburuk ketidaksetaraan sosial. Korupsi juga membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi, serta merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas. Praktik korupsi seperti suap, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan menghambat investasi, mengurangi kepercayaan investor, dan memperlambat pembangunan infrastruktur.

 

Dalam konteks hukum, korupsi dapat menyebabkan tidak efisiennya birokrasi, etika sosial-politik yang semakin meredup, melemah atau bahkan runtuhnya otoritas pemerintahan, terhambatnya peran negara dalam pengaturan alokasi, serta pemerataan akses dan aset yang dilakukan oleh negara juga terhambat. Korupsi mengarah pada alokasi sumber daya yang tidak efisien dan merugikan masyarakat luas.

 

PENUTUP

 

Esai ini telah mengkaji secara mendalam faktor-faktor sosiolegal yang berkontribusi pada praktik korupsi di Indonesia. Dari perspektif sosial, kita telah melihat bagaimana norma, budaya, tekanan sosial, dan keserakahan mempengaruhi perilaku korup. Dari sisi hukum, pembahasan menyoroti kekuatan dan kelemahan dalam sistem hukum yang ada, termasuk hambatan dalam penegakan hukum dan faktor-faktor yang memungkinkan korupsi terjadi. Interaksi antara faktor sosial dan legal juga telah dijelaskan, menunjukkan bagaimana keduanya saling mempengaruhi dan berdampak pada efektivitas pemberantasan korupsi.

 

Penulis menganalisis tentang bagaimana faktor sosial dan legal saling berinteraksi dan berkontribusi pada keberadaan dan persistensi korupsi di Indonesia. Dari perspektif sosial, pembahasan menyoroti bagaimana norma, budaya, tekanan sosial, dan keserakahan mempengaruhi perilaku korup, serta bagaimana faktor-faktor ini diperkuat oleh kondisi ekonomi dan politik yang ada. Dari sisi hukum, telah dijelaskan tentang kekuatan hukum yang ada untuk memerangi korupsi, termasuk peran lembaga-lembaga seperti KPK, serta hambatan yang dihadapi dalam penegakan hukum, seperti egoisme sektoral, lemahnya pengawasan, dan rendahnya transparansi.

 

Interaksi antara faktor sosial dan legal juga telah dijelaskan, menunjukkan bagaimana norma sosial yang toleran terhadap korupsi dapat mengurangi efektivitas hukum anti-korupsi, dan bagaimana sistem hukum yang tidak efektif dapat memperkuat norma sosial yang korup. Pembahasan ini menekankan pentingnya pendekatan holistik dalam memerangi korupsi, yang tidak hanya melibatkan reformasi hukum tetapi juga perubahan sosial yang mendukung nilai-nilai integritas dan transparansi.

 

Topik korupsi tetap sangat relevan dengan kondisi saat ini di Indonesia. Meskipun telah ada upaya pemberantasan korupsi, tantangan masih tetap ada, dan korupsi terus menjadi hambatan bagi pembangunan dan kemajuan sosial-ekonomi. Pemahaman tentang faktor sosiolegal memberikan wawasan penting dalam merancang strategi yang lebih efektif untuk memerangi korupsi dan memperkuat sistem hukum dan sosial.

 

Korupsi adalah masalah kompleks yang memerlukan pendekatan holistik untuk pemberantasannya. Melalui esai ini, telah ditegaskan bahwa pemahaman komprehensif tentang faktor sosiolegal adalah kunci untuk mengatasi korupsi. Hanya dengan mengintegrasikan reformasi hukum dengan transformasi sosial, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil, transparan, dan bebas dari korupsi. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk terus berupaya memahami dan mengatasi faktor-faktor yang mempengaruhi praktik korupsi, demi masa depan Indonesia yang lebih cerah.

 

Sumber:

 

ACLC KPK. (2023). Kenali Dasar Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Diakses pada 8 Maret 2023, dari https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20220510-kenali-dasar-hukum-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi-di-indonesia

Bandaharo, S. (2017). Dampak dan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Jurnal Warta Dharmawangsa, Edisi 52, April 2017.

Hananti, N. P., Pratama, R. A., & Sidabutar, T. R. A. (2023). Analisis efektivitas penegakan hukum terhadap korupsi di Indonesia. Indigenous Knowledge, 2(5).

Harahap, W. A. Z., Syarifuddin, A., & Hermawan, B. (2021). Pengaruh perubahan sosial dalam perkembangan hukum di Indonesia. LEX SUPREMA Jurnal Ilmu Hukum, 3(1)

Indonesia Corruption Watch. (n.d.). Korupsi dan Budaya. Diakses 7 Maret 2023, dari https://antikorupsi.org/id/article/korupsi-dan-budaya

Karunia, A. A. (2022). Penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia dalam perspektif teori Lawrence M. Friedman. Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi, 10(1).

Kuncorowati, P. W. (2005). Peranan penegak hukum di Indonesia dalam pemberantasan korupsi. Jurnal Civics: Kajian Kewarganegaraan, 2(2).

Maysarah, A. (2017). Perubahan dan perkembangan sistem hukum di Indonesia. Warta Dharmawangsa.

Odhy, Fakhruddin (2021) "PERSPEKTIF BUDAYA HUKUM DALAM PERKEMBANGAN KASUS KORUPSI DI INDONESIA," "Dharmasisya” Jurnal Program Magister Hukum FHUI: Vol. 1, Article 30.

Setiadi, W. (2018). Korupsi di Indonesia (Penyebab, Bahaya, Hambatan dan Upaya Pemberantasan, Serta Regulasi). Jurnal Legislasi Indonesia, 15(4).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun