Mohon tunggu...
pondok pesantren daarul arqom
pondok pesantren daarul arqom Mohon Tunggu... Penulis - muda qur'ani muda berprestasi

daarul arqom kampus 1 pulon malangan daarul arqom kampus 2 tulung, tulung, tulung daarul arqom kampus 3 wajong wetan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

"Teladan Pendidikan Dari Nabi Ibrahim"

11 Oktober 2022   23:20 Diperbarui: 11 Oktober 2022   23:33 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Singkatnya, kita tahu kemudian Ismail diganti oleh Allah dengan seekor domba karena tidak mungkin Allah memerintah untuk menumpahkan darah secara tidak benar. Sebenarnya, Tuhan hanya ingin menguji Ibrahim, apakah dia mampu melawan hawa nafsunya ataukah tidak. Sebab asyaddunnasi balaan al-anbiya, artinya jenis manusia yang mendapatkan ujian paling berat adalah Para Nabi. Dan ternyata benar, Allah mengapresiasi Nabi Ibrahim karena ketabahannya---dengan mengganti Ismail dengan domba.

Dari kisah keluarga ibrahim di atas, ada beberapa pesan pendidikan yang dapat kita petik. Hikmah, kata Nabi, adalah buruan yang harus dicari. Artinya siapapun, walau bukan seorang muslim, pada dasarnya bisa mengambil hikmah yang---menurut saya---bersifat universal. Sebagaimana muslim juga banyak mengambil hikmah dari luar peradaban mereka: yunani, eropa, cina, dll.

Berkaca pada kisah Ibrahim, pendidikan mengharuskan penyertaan ketulusan dan kepercayaan kepada pendidik. Bagaimana Ibrahim mempercayakan kebaikan keluarganya pada kurikulum yang yang dibuat oleh Tuhan.

Dalam tema pendidikan terkini, konsep 'percaya pada guru' bisa diejawantahkan dengan kerjasama yang solid antara orang tua dan sekolah. Orang tua harus sadar, sekolah pasti memiliki tujuan positif saat menyusun keseluruhan sistem pendidikan. Tak sedikit orang tua yang melaporkan guru karena terlibat kekerasan pada peserta didik. Padahal kalau mau ditelurusi lebih dalam, tujuan guru tersebut baik. Hanya saja, cara ia mengimplementasikan niat baiknya dengan upaya yang negatif. Sebetulnya bisa saja diselesaikan secara kekeluargaan.

Kedua, Kualitas pendidikan---antara orang tua dana anak---tidak ditentukan dengan kuantitas pertemuan antar keduanya. Kadang-kadang terjadi cekcok antara orang tua-anak hanya karena urusan remeh. Atau kadang-kadang kerusakan mental anak disebabkan oleh hubungan orang tua---bapak dan ibu---yang tidak harmonis. Anak cenderung introvert, tidak percaya diri, minder, dis-orientasi seksual, dan bahkan ada yang melakukan tindakan kriminal: membunuh, mencuri, memerkosa, sehingga menambah beban sosial-psilogisnya di tengah-tengah masyarakat. Dalam kasus ini, kisah Ibrahim bisa difungsikan terutama dari pihak orang tua. Orang tua harus sadar, mereka memberi jarak untuk anak saat terjadi problem.

Konsep pendidikan Nabi Ibrahim yang lebih memilih untuk meminimalisir pertemuan juga bukan berati beliau tidak mampu mendidik. Memberi jarak pada situasi tertentu justru akan meningkatkan kualitas mental sanga anak, ia akan berlatih menyelesaikan masalahnya sendiri. Anak akan mempunyai ruang "bebas" untuk berkreasi tanpa "bekingan" orang tua. Dengan demikian ia akan tumbuh menjadi pribadi yang tangguh tanpa tahu sebenarnya yang terjadi pada ayah dan bundanya.

Secara kuantitatif, intensitas pertemuan Ibrahim dan Ismail sangat minim. Jarak antara Palestina-Mekah jauh ditambah saat itu tidak ada kendaraan secanggih kendaraan hari ini.

Dalam Islam---mungkin agama lain juga mengajarkan---ada konsep doa. Doa, bagi umat islam, adalah senjata paling ampuh. Ia dapat mewujudkan cita-cita yang mustahil bagi manusia. Ibrahim menggunakan alternatif doa sebagai wujud kasih sayangnya pada Ismail. Saat dua orang yang saling mencintai terpaut oleh jarak, biasanya mereka akan merasa dekat dengan perantara doa.

Maka, Wahai Orang Tua, doakanlah anakmu. Usaha perbaikan dalam wujud kongkret harus ditopang dengan doa.

Ketiga, desain spasial (ruang) dengan menekankan sisi kesederhanaan. Nabi Ibrahim tidak ingin anaknya tinggal di Babilonia atau Mesir yang cenderung makmur, baik dari segi pertanian maupun perdagangan. Kemakmuran---walaupun tidak selamanya berdampak buruk---seringkali melalaikan anak untuk berjuang. Kadangkala fasilitas mewah dapat melalaikan anak. Hampir rata-rata para pejuang lahir karena dikepung oleh situasi yang serba sulit. Kesadaran mereka---yang tumbuh dalam situasi sulit---jauh lebih besar, terutama dalam aspek sosial, moral, dan ilmu pengatahuan.

Peradaban yang sudah maju seperti Mesir dan Babilonia---sebagaimana peradaban maju yang lain---secara umum dihiasi dengan kemerosotan moral, ketidakmurnian budaya, dan pasti didominasi oleh gaya hidup yang tidak sehat sebagaimana hari ini kita bisa lihat disebagian kota-kota besar. Dari jenis makanan junk-food, free seks, dll. Padahal konstitusi kita sangat mencela ketidakwarasan moral.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun