Mohon tunggu...
pondok pesantren daarul arqom
pondok pesantren daarul arqom Mohon Tunggu... Penulis - muda qur'ani muda berprestasi

daarul arqom kampus 1 pulon malangan daarul arqom kampus 2 tulung, tulung, tulung daarul arqom kampus 3 wajong wetan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

"Teladan Pendidikan Dari Nabi Ibrahim"

11 Oktober 2022   23:20 Diperbarui: 11 Oktober 2022   23:33 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Teladan Pendidikan dari Nabi Ibrahim

Oleh: Ahmad Rifa'i (Staf Pengajar SMP Muhammadiyah Daarul Arqom, Klaten)


Tidak ada yang tidak kenal dengan nama Ibrahim. Namanya selalu disebut-sebut sebagai bahan ceramah saat 'idul adha. Namanya selalu disebut umat islam dalam salawat. Namanya melangit, dan diabadikan didalam al-Qur'an. Jasanya besar, karena dia-lah yang membangun pondasi ka'bah: sebuah "monumen" persatuan, kesetaraan dan toleransi.

Masing-masing Nabi dikisahkan di dalam kitab suci umat islam, dan jumlahnya tak sedikit. Satu segmen dari kisah hidup Ibrahim dan Ismail---putranya yang ia peroleh dari istri kedua: hajar---yang memuat pesan pendidikan. Tidak ada salahnya kita menggunakan kebijakan lama untuk menghadapi problem-problem modern, tentunya dengan kontekstualisasi sesuai dengan situasi kekinian dan kedisinian.

Ibrahim sudah lama menunggu istrinya---Hajar; seorang budak yang dihadiahkan raja mesir untuk Ibrahim---hamil. Setelah menunggu sekian lama dan selalu ikhtiar dengan berusaha dan berdoa agar segera dikaruniai anak. Akhirnya Allah mengabulkan. Hamil-lah Hajar.

Setelah Hajar melahirkan, Ibrahim menyambut kelahiran anak pertamanya dengan suka cita. Setelah menunggu bertahun-tahun akhirnya ia bisa menimang anak. Muncul secercah cahaya kebahagiaan dari wajah Nabi Ibrahim. Sebab, kebaikannya---sebagai seorang nabi---ada yang melanjutkannya.

Kebahagiaannya tidak bertahan lama. Hanya sebentar. Dalam mimpinya Tuhan menyuruh Ibrahim untuk menempatkan istrinya ke sebuah lembah tandus---dalam bahasa Al-Qur'an disebut dengan "Bakkah". Tempat itu tidak satupun orang yang menghuni karena tidak ada sumber air, dan diapit oleh pegunungan. Tidak ada orang yang tertarik tinggal di sana.

Ibrahim, Hajar, dan Ismail menempuh perjalanan yang cukup jauh dari Palestina hingga mereka sampai ke Mekkah.

Setelah mereka sudah sampai wilayah yang kering, panas, dan sepi, Ibrahim segera membelakangi Hajar. Ia---Ibrahim---antara tega dan tidak tega. Bagaimana mungkin ada seorang suami sekaligus bapak yang tega meninggalkan istri dan anaknya di tempat semacam ini. Tapi, bagaimana lagi, demi menjalankan tugas dari Tuhan Ia rela melakukan apapun.

Dari sisi istrinya---Hajar---Ia terheran-heran. Mengapa suaminya tega meninggalkan ia dan putranya yang masih kecil ditempat mengeringan seperti ini. Hajar mulai menerka-nerka. Ada dua kemungkinan: pertama, Ibrahim sudah tidak mencintainya lagi sehingga tega membuangnya di padang pasir yang panas. Tapi, sepertinya tidak mungkin Ibrahim melakukan itu. Atau kemungkinan kedua, ini adalah perintah Tuhannya, karena pasti Ibrahim tidak berani melawan perintah-Nya walaupun harus mengorbankan diri dan keluarganya, toh dulu ia pernah hampir mati karena dibakar oleh Raja Namrudz dan bala tentaranya.

Akhirnya Hajar memberanikan diri untuk bertanya saat Ibrahim semakin beranjak.

"Suamiku, apakah ini perintah Tuhanmu?", tanya Hajar dengan polos dan penuh keyakinan.

"Benar!", Ibrahim menjawab sambil membelakangi Hajar dan Ismail."

"Kalau begitu Allah tidak akan menyia-nyiakan kita!", sambung Hajar tanpa keraguan sedikitpun.

Kisah selanjutnya, setelah sekian lama Ibrahim tidak membersamai Hajar dan Ismail. Tumbuhlah Ismail menjadi sesosok anak yang cerdas, tangkas, dan sungguh berbudi luhur. Siapapun yang berinteraksi dengannya pasti akan takjub dengan perangainya yang sangat menawan.

Datanglah Ibrahim membawa pesan Tuhannya untuk kedua kali. Ia, tidak pernah bertemu Ismail. Pertemuan kedua setelah ia meninggalkan Ismail, Ia hanya ingin menyampaikan mimpinya kepada Ismail. Mimpi Nabi---dalam tradisi pemikiran islam---bisa dipastikan validasinya. Tidak mungkin salah.

Ia sampaikan mimpi, yang sebetulnya menyesakkan dada itu, kepada putranya, "Wahai Anakku, menurutmu bagaimana kalau Allah menyuruhku untuk menyembelihmu?", tanya Ibrahim.

Ismail agak berpikir lamam Ia tau kalau bapaknya adalah Nabi. Dan, tidak mungkin ada seorang Nabi yang berdusta. "Lakukan saja Ayah! Engkau akan mendapatiku sabar menghadapinya", jawab Ismail kecil.

Dada Ibrahim semakin sesak. Ada bulir-bulir air yang menetes dari kedua pelupuk matanya. Secepat mungkin Ia hapus air matanya, Ia tidak ingin Ismail melihatnya bersedih. Ia harus tegar menghadapi kenyataan ini.

Singkatnya, kita tahu kemudian Ismail diganti oleh Allah dengan seekor domba karena tidak mungkin Allah memerintah untuk menumpahkan darah secara tidak benar. Sebenarnya, Tuhan hanya ingin menguji Ibrahim, apakah dia mampu melawan hawa nafsunya ataukah tidak. Sebab asyaddunnasi balaan al-anbiya, artinya jenis manusia yang mendapatkan ujian paling berat adalah Para Nabi. Dan ternyata benar, Allah mengapresiasi Nabi Ibrahim karena ketabahannya---dengan mengganti Ismail dengan domba.

Dari kisah keluarga ibrahim di atas, ada beberapa pesan pendidikan yang dapat kita petik. Hikmah, kata Nabi, adalah buruan yang harus dicari. Artinya siapapun, walau bukan seorang muslim, pada dasarnya bisa mengambil hikmah yang---menurut saya---bersifat universal. Sebagaimana muslim juga banyak mengambil hikmah dari luar peradaban mereka: yunani, eropa, cina, dll.

Berkaca pada kisah Ibrahim, pendidikan mengharuskan penyertaan ketulusan dan kepercayaan kepada pendidik. Bagaimana Ibrahim mempercayakan kebaikan keluarganya pada kurikulum yang yang dibuat oleh Tuhan.

Dalam tema pendidikan terkini, konsep 'percaya pada guru' bisa diejawantahkan dengan kerjasama yang solid antara orang tua dan sekolah. Orang tua harus sadar, sekolah pasti memiliki tujuan positif saat menyusun keseluruhan sistem pendidikan. Tak sedikit orang tua yang melaporkan guru karena terlibat kekerasan pada peserta didik. Padahal kalau mau ditelurusi lebih dalam, tujuan guru tersebut baik. Hanya saja, cara ia mengimplementasikan niat baiknya dengan upaya yang negatif. Sebetulnya bisa saja diselesaikan secara kekeluargaan.

Kedua, Kualitas pendidikan---antara orang tua dana anak---tidak ditentukan dengan kuantitas pertemuan antar keduanya. Kadang-kadang terjadi cekcok antara orang tua-anak hanya karena urusan remeh. Atau kadang-kadang kerusakan mental anak disebabkan oleh hubungan orang tua---bapak dan ibu---yang tidak harmonis. Anak cenderung introvert, tidak percaya diri, minder, dis-orientasi seksual, dan bahkan ada yang melakukan tindakan kriminal: membunuh, mencuri, memerkosa, sehingga menambah beban sosial-psilogisnya di tengah-tengah masyarakat. Dalam kasus ini, kisah Ibrahim bisa difungsikan terutama dari pihak orang tua. Orang tua harus sadar, mereka memberi jarak untuk anak saat terjadi problem.

Konsep pendidikan Nabi Ibrahim yang lebih memilih untuk meminimalisir pertemuan juga bukan berati beliau tidak mampu mendidik. Memberi jarak pada situasi tertentu justru akan meningkatkan kualitas mental sanga anak, ia akan berlatih menyelesaikan masalahnya sendiri. Anak akan mempunyai ruang "bebas" untuk berkreasi tanpa "bekingan" orang tua. Dengan demikian ia akan tumbuh menjadi pribadi yang tangguh tanpa tahu sebenarnya yang terjadi pada ayah dan bundanya.

Secara kuantitatif, intensitas pertemuan Ibrahim dan Ismail sangat minim. Jarak antara Palestina-Mekah jauh ditambah saat itu tidak ada kendaraan secanggih kendaraan hari ini.

Dalam Islam---mungkin agama lain juga mengajarkan---ada konsep doa. Doa, bagi umat islam, adalah senjata paling ampuh. Ia dapat mewujudkan cita-cita yang mustahil bagi manusia. Ibrahim menggunakan alternatif doa sebagai wujud kasih sayangnya pada Ismail. Saat dua orang yang saling mencintai terpaut oleh jarak, biasanya mereka akan merasa dekat dengan perantara doa.

Maka, Wahai Orang Tua, doakanlah anakmu. Usaha perbaikan dalam wujud kongkret harus ditopang dengan doa.

Ketiga, desain spasial (ruang) dengan menekankan sisi kesederhanaan. Nabi Ibrahim tidak ingin anaknya tinggal di Babilonia atau Mesir yang cenderung makmur, baik dari segi pertanian maupun perdagangan. Kemakmuran---walaupun tidak selamanya berdampak buruk---seringkali melalaikan anak untuk berjuang. Kadangkala fasilitas mewah dapat melalaikan anak. Hampir rata-rata para pejuang lahir karena dikepung oleh situasi yang serba sulit. Kesadaran mereka---yang tumbuh dalam situasi sulit---jauh lebih besar, terutama dalam aspek sosial, moral, dan ilmu pengatahuan.

Peradaban yang sudah maju seperti Mesir dan Babilonia---sebagaimana peradaban maju yang lain---secara umum dihiasi dengan kemerosotan moral, ketidakmurnian budaya, dan pasti didominasi oleh gaya hidup yang tidak sehat sebagaimana hari ini kita bisa lihat disebagian kota-kota besar. Dari jenis makanan junk-food, free seks, dll. Padahal konstitusi kita sangat mencela ketidakwarasan moral.


Maka dari itu, Ibrahim memilih untuk menempatkan anak dan istrinya ditengah-tengah gurun pasir yang tandus dan panas. Harapannya pada masa mendatang akan muncul generasi yang kuat, tangguh, cerdas dan berjiwa sosial tinggi. Ia pasti siap ditempatkan dimanapun asal masih dalam framwork kebermanfaatan. Ia, jika menjadi seorang ilmuwan, tidak hanya menjadi penjaga "menara gading". Tapi, ia terjun di tengah-tengah masyarakat; menggunakan karunia tuhan berupa kecerdasan untuk mengentaskan kemiskinan---struktural dan kultural, membebaskan manusia dari "penjajahan" budaya, membangun gerakan-gerakan pemberdayaan masyarakat, lingungan, dll.

Nabi Muhammad Salallahu 'Alaihi wa Sallah  juga pernah mengalami "derita" yang sama. Ia ditempatkan oleh Ibunya disebuah wilayah yang disebut Bani Saad. Daerah ini jauh dari gegap gempita masyarakat komspolit mekkah.

Ketiga, keakraban orang tua-anak sangat nampak sekali saat terjadi percakapan antara Ibrahim dan Ismail. Ibrahim sebagai orang tua sangat mampu memaksa Ismail untuk melakukan apa yang ia perintahkan, apalagi saat itu order yang dia utarakan kepada anaknya adalah perintah dari Tuhan. Namun, lagi-lagi Ibrahim mengajarkan kepada kita agar mengedepankan komunikasi agar mendapatkan keputusan yang sama-sama disepakati. Ibahim---menurut saya---sangat demokratis. Sehingga anak tidak merasa tertekan, malah ia merasa di-orangkan oleh Ibrahim; Ismail merasa dilibatkan dalam satu urusan besar oleh bapaknya sendiri. Padahal, keduanya jarang bertemu namun sama sekali tidak mengurangi keakraban keduanya.

Hari ini orang tua banyak yang tidak "mengenal" anaknya. Diantaranya karena memiliki semesta yang berbeda. Orang tua menganggap pendidikan yang diberikan orang tuanya semasa ia masih kecil masih bisa digunakan hari ini. Tidak ada obrolan yang hangat---dua arah, yang ada hanya ceramah dan ceramah membosankan dan cenderung menekan psikologis anak. Orang tua enggan mendengarkan keluhan anak. Mereka menganggap masalah kecil, padahal bagi anak itu problem yang tidak sederhana. Anak akan mencari orang lain yang tepat untuk mendengarkan keluh kesahnya. Akibatnya, orang tua semakin tidak mengenal anaknya. Dan, anak merasa lebih dekat dengan orang lain.

Dari ketiga poin hikmah yang telah saya ulas, teladan pendidikan Nabi Ibrahim diantara alternatif yang bisa kita gunakan sebagai "kurikulum" pendidikan keluarga. Keluarga adalah unsur paling kecil dari sebuah peradaban, adapun keberhasilan membangun peradaban ditentukan oleh kesuksesan membina keluarga.

Dan, aspek penting lain yang perlu saya sampaikan adalah pentingnya mengelola kesehatan mental kita---sebagai orang tua---karena modal utama menciptakan keluarga yang sehat, elemen yang menyusun juga harus sehat. Makanya, kajian spiritual---dalam makna yang luas, tidak hanya spiritualitas yg bersumber dari agama---hari ini kajian-kajian yang membahasnya ada dari "timur" hingga "barat"; melihat pentingnya spiritualitas dalam menjaga kesehatan mental.


Wallahualam...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun