KUIS 10
Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia pendekatan  Jack Bologna
WHATÂ
Teori korupsi yang dikemukakan oleh Robert Klitgaard memberikan wawasan penting tentang penyebab dan mekanisme terjadinya korupsi. Klitgaard merumuskan bahwa korupsi dapat dijelaskan dengan rumus sederhana: Korupsi = Monopoli + Diskresi - Akuntabilitas. Mari kita bahas masing-masing komponen ini dengan lebih detail.
KorupsiÂ
merupakan suatu fenomena yang kompleks dan merugikan, yang dapat diartikan sebagai penyalahgunaan wewenang yang dipercayakan kepada seseorang untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Dalam konteks ini, penyalahgunaan wewenang berarti seseorang yang memiliki wewenang atau kekuasaan menggunakan kedudukannya untuk mendapatkan keuntungan yang tidak sah, baik berupa uang, barang, maupun keuntungan lainnya.
Bentuk-bentuk Korupsi
- Suap: Tindakan memberi atau menerima sesuatu yang bernilai untuk memengaruhi keputusan atau tindakan pejabat publik. Misalnya, seorang pengusaha mungkin memberikan uang kepada pejabat pemerintah untuk mengamankan kontrak proyek.
- Penggelapan: Hal ini terjadi ketika seseorang yang memiliki akses ke dana publik atau aset negara menggunakan atau mengambilnya untuk keuntungan pribadi. Contohnya adalah seorang pegawai negeri yang mencuri uang dari kas negara.
- Tindakan Lain yang Merugikan Kepentingan Publik: Hal ini dapat mencakup berbagai praktik tidak etis lainnya, seperti nepotisme, di mana pejabat publik memberikan bantuan kepada keluarga atau teman dekat, atau kolusi, di mana dua pihak bekerja sama untuk merugikan pihak ketiga demi keuntungan pribadi.
Dalam konteks pemerintahan, korupsi sering terjadi ketika pejabat publik menggunakan jabatannya untuk mendapatkan keuntungan finansial atau materi secara tidak sah. Misalnya, seorang legislator dapat menyetujui undang-undang yang menguntungkan perusahaan tertentu dengan imbalan suap. Hal ini tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga menghambat pembangunan dan layanan publik yang seharusnya diberikan kepada masyarakat.
Korupsi dapat menimbulkan ketidakadilan sosial, di mana hanya segelintir orang yang mendapatkan keuntungan dari sumber daya yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik. Selain itu, korupsi juga dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap pemerintah dan lembaga publik, yang pada gilirannya dapat mengganggu stabilitas sosial dan ekonomi.
Korupsi adalah masalah serius yang memerlukan perhatian dan tindakan tegas. Memahami definisi dan bentuk-bentuk korupsi, serta dampaknya terhadap masyarakat, adalah langkah awal untuk mengatasi masalah ini. Upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi harus melibatkan reformasi sistemik, peningkatan transparansi, dan akuntabilitas dalam semua aspek pemerintahan.
MonopoliÂ
dalam konteks teori Klitgaard mengacu pada situasi di mana satu pihak atau individu memiliki kendali penuh atas suatu sumber daya atau layanan. Ketika hanya ada satu penyedia atau pengendali, mereka memiliki kekuatan besar untuk menentukan bagaimana sumber daya tersebut digunakan. Misalnya, dalam proyek pemerintah, jika hanya satu perusahaan yang diizinkan untuk menangani proyek tertentu, perusahaan tersebut dapat terlibat dalam praktik korupsi, seperti meminta suap dari kontraktor lain atau menggelembungkan biaya proyek. Monopoli menciptakan peluang untuk penyalahgunaan kekuasaan karena tidak ada persaingan untuk memantau atau menantang keputusan yang dibuat.
Dampak Monopoli
1. Kekuasaan yang Berlebihan: Dengan adanya monopoli, satu penyedia memiliki kekuasaan untuk menetapkan harga, kualitas, dan penyediaan layanan. Tanpa adanya persaingan, mereka tidak perlu khawatir kehilangan pelanggan atau kontrak, yang sering kali berujung pada penyalahgunaan kekuasaan.
2. Praktik Korupsi: Dalam konteks proyek pemerintah, jika hanya satu perusahaan yang diizinkan menangani proyek tertentu, perusahaan tersebut dapat terlibat dalam praktik korupsi. Misalnya, mereka dapat meminta suap dari kontraktor lain untuk mendapatkan akses ke proyek atau meningkatkan biaya proyek untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Situasi ini merugikan anggaran publik dan mengurangi kualitas layanan yang diberikan kepada publik.
3. Kurangnya Pengawasan: Monopoli menciptakan peluang untuk penyalahgunaan kekuasaan karena tidak ada persaingan untuk memantau atau menantang keputusan yang dibuat. Tanpa persaingan, tidak ada mekanisme yang efektif untuk menilai kinerja penyedia layanan atau untuk meminta pertanggungjawaban mereka atas tindakan mereka. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya.
Misalnya, di sektor infrastruktur, jika pemerintah memberikan kontrak pembangunan jalan hanya kepada satu perusahaan, perusahaan tersebut dapat menetapkan harga yang tinggi dan menurunkan kualitas proyek. Tanpa adanya persaingan dari perusahaan lain, mereka tidak akan menghadapi konsekuensi dari tindakan mereka, dan masyarakat akan menjadi korban dari keputusan yang tidak etis.
DiskresiÂ
merupakan kebebasan yang dimiliki oleh individu atau pejabat untuk mengambil keputusan berdasarkan pertimbangannya sendiri. Dalam konteks teori korupsi yang dikemukakan oleh Robert Klitgaard, diskresi memegang peranan penting dalam menciptakan peluang terjadinya korupsi. Klitgaard berpendapat bahwa semakin besar diskresi yang dimiliki seseorang, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya korupsi.
Mengapa Diskresi Meningkatkan Risiko Korupsi?
1. Kekuasaan untuk Memutuskan: Ketika seorang pejabat memiliki kewenangan untuk menentukan keputusan penting, seperti siapa yang akan mendapatkan kontrak atau izin usaha, maka ia berada pada posisi yang rentan terhadap praktik korupsi. Misalnya, seorang pejabat yang dapat memilih kontraktor untuk proyek pemerintah dapat disuap oleh pihak-pihak tertentu untuk memberikan keuntungan kepadanya, padahal keputusan tersebut tidak sejalan dengan kepentingan umum.
2. Kurangnya Batasan dan Pengawasan: Tanpa adanya batasan yang jelas dan pengawasan yang ketat, diskresi ini dapat disalahgunakan. Pejabat yang memiliki kebebasan dalam mengambil keputusan tanpa pengawasan yang memadai dapat mengambil keputusan yang lebih menguntungkan dirinya sendiri atau pihak-pihak tertentu daripada masyarakat secara keseluruhan. Hal ini dapat menimbulkan ketidakadilan dan merugikan kepentingan umum.
3. Contoh Praktis: Misalnya, dalam proses pengadaan barang dan jasa, jika seorang pejabat memiliki keleluasaan penuh untuk memilih penyedia jasa tanpa prosedur yang jelas, ia dapat memilih penyedia yang memberikan suap atau imbalan lainnya. Keputusan ini tidak hanya merugikan anggaran publik, tetapi juga dapat mengakibatkan buruknya kualitas layanan.
Dampak Kewenangan yang Tidak Terkendali
- Penyalahgunaan Kekuasaan: Pejabat dapat menggunakan kekuasaannya untuk keuntungan pribadi, yang mengarah pada praktik korupsi yang merugikan masyarakat.
- Hilangnya Kepercayaan Publik: Ketika publik melihat bahwa keputusan dibuat berdasarkan kepentingan pribadi atau suap, kepercayaan terhadap lembaga pemerintah dapat menurun. Hal ini dapat menyebabkan apatisme dan skeptisisme terhadap proses pemerintahan.
- Keadilan Sosial: Penyalahgunaan wewenang dapat menyebabkan ketidakadilan, di mana hanya sedikit orang yang mendapatkan keuntungan dari keputusan yang seharusnya dibuat untuk kepentingan publik.
AkuntabilitasÂ
adalah kemampuan untuk mempertanggungjawabkan tindakan dan keputusan yang diambil oleh individu atau lembaga. Dalam konteks teori korupsi yang dikemukakan oleh Robert Klitgaard, akuntabilitas memegang peranan yang sangat penting dalam mencegah praktik korupsi. Klitgaard menegaskan bahwa akuntabilitas yang rendah dalam suatu sistem dapat menciptakan lingkungan yang mendukung terjadinya korupsi.
Mengapa Akuntabilitas Penting?
1. Pengawasan dan Akuntabilitas: Akuntabilitas memastikan bahwa pejabat publik merasa bahwa ada yang mengawasi tindakan mereka. Jika pejabat tidak merasa bahwa ada yang meminta pertanggungjawaban atas keputusan yang mereka buat, mereka mungkin merasa bebas untuk melakukan tindakan korupsi. Misalnya, tanpa mekanisme pengawasan yang efektif, seorang pejabat dapat dengan mudah menyalahgunakan wewenangnya tanpa takut akan konsekuensinya.
2. Transparansi: Akuntabilitas yang tinggi sering kali disertai dengan transparansi dalam pengambilan keputusan. Ketika proses dan keputusan publik dapat diakses dan dipahami oleh publik, pejabat akan lebih berhati-hati dalam bertindak. Sebaliknya, kurangnya transparansi dapat menyebabkan pejabat merasa bahwa mereka tidak perlu dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka, yang pada gilirannya dapat meningkatkan risiko korupsi.
3. Mekanisme Pengawasan yang Kuat: Dalam banyak kasus, akuntabilitas yang rendah disebabkan oleh mekanisme pengawasan yang lemah. Jika tidak ada lembaga atau sistem yang secara aktif memantau dan mengevaluasi tindakan pejabat publik, maka peluang terjadinya korupsi pun meningkat. Misalnya, jika tidak ada audit yang dilakukan terhadap penggunaan anggaran, pejabat dapat dengan mudah menggelapkan atau menyalahgunakan dana.
Dampak Akuntabilitas yang Rendah
- Korupsi yang Marak: Ketika akuntabilitas rendah, praktik korupsi dapat berkembang tanpa banyak hambatan. Pejabat yang tidak merasa tertekan untuk mempertanggungjawabkan tindakannya cenderung menyalahgunakan kekuasaannya, yang merugikan masyarakat dan mengurangi kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintah.
- Hilangnya Kepercayaan Publik: Ketika publik melihat bahwa pejabat tidak bertanggung jawab atas tindakannya, kepercayaan terhadap pemerintah dapat menurun. Hal ini dapat menyebabkan apatisme dan skeptisisme di kalangan warga negara, yang pada gilirannya dapat mengganggu partisipasi publik dalam proses demokrasi.
- Keadilan Sosial: Akuntabilitas yang rendah dapat menyebabkan ketidakadilan, di mana keputusan yang diambil tidak mencerminkan kepentingan publik, tetapi justru menguntungkan individu atau kelompok tertentu. Hal ini dapat memperburuk kesenjangan sosial dan ekonomi dalam masyarakat.
Korupsi merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dua teori yang sering dibahas dalam konteks penyebab korupsi adalah Teori Jack Bologna dan Teori GONE. Mari kita bahas masing-masing teori tersebut.
Teori Jack Bologna
- Keserakahan (Greed): Individu yang terlibat dalam korupsi sering kali didorong oleh keinginan untuk memperkaya diri sendiri, meskipun mereka sudah berada dalam kondisi yang cukup baik secara finansial .
- Kesempatan (Opportunity): Korupsi terjadi ketika ada kesempatan yang tersedia bagi individu untuk melakukan tindakan koruptif tanpa takut akan konsekuensi.
- Kebutuhan (Needs): Meskipun banyak pelaku korupsi berasal dari kalangan yang berkecukupan, ada kalanya kebutuhan tertentu juga dapat memicu tindakan korupsi.
- Pengungkapan (Expose): Faktor ini berkaitan dengan seberapa besar kemungkinan tindakan korupsi akan terungkap. Jika risiko terungkap rendah, individu lebih cenderung melakukan korupsi.
Teori Jack Bologna menekankan bahwa korupsi sering kali muncul dari interaksi antara individu dengan lingkungan sosial dan ekonominya. Menurut teori ini, ada beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya korupsi:
1. Lingkungan Sosial: Lingkungan tempat seseorang berada dapat memengaruhi perilakunya. Jika individu tumbuh dalam lingkungan yang toleran terhadap korupsi, mereka mungkin lebih cenderung melakukan praktik korupsi. Misalnya, jika pejabat publik melihat rekan-rekannya melakukan korupsi tanpa konsekuensi, mereka mungkin merasa terdorong untuk melakukan hal yang sama.
2. Faktor Ekonomi: Ketidakstabilan ekonomi atau ketidakpuasan terhadap kondisi ekonomi juga dapat menjadi pendorong terjadinya korupsi. Dalam situasi di mana sumber daya terbatas, individu mungkin merasa perlu melakukan tindakan korupsi untuk mendapatkan keuntungan atau bertahan hidup.
3. Kelemahan Kelembagaan: Kelemahan dalam lembaga pemerintah, seperti kurangnya pengawasan dan akuntabilitas, juga berkontribusi terhadap tingginya tingkat korupsi. Tanpa mekanisme akuntabilitas yang efektif, pejabat publik mungkin merasa bebas untuk menyalahgunakan kekuasaan mereka.
Teori GONE
Teori GONE (Tata Kelola, Peluang, Kebutuhan, dan Etika) menjelaskan penyebab korupsi melalui empat elemen utama:
1. Tata Kelola: Tata kelola yang buruk, termasuk kurangnya transparansi dan akuntabilitas, menciptakan lingkungan yang subur bagi korupsi. Ketika pejabat tidak diawasi dengan baik, mereka cenderung menyalahgunakan kekuasaan mereka.
2. Peluang: Korupsi sering terjadi ketika ada peluang untuk terlibat dalam perilaku korup. Misalnya, jika ada proses pengadaan yang tidak transparan, pejabat dapat dengan mudah terlibat dalam praktik korupsi tanpa takut tertangkap.
3. Kebutuhan: Kebutuhan individu, baik finansial maupun sosial, dapat mendorong mereka untuk terlibat dalam korupsi. Dalam situasi di mana individu merasa tertekan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, mereka mungkin melihat korupsi sebagai jalan keluar.
4. Etika: Nilai-nilai etika yang dianut individu dan masyarakat juga memegang peranan penting. Jika suatu masyarakat memiliki norma-norma yang lemah terhadap korupsi, individu mungkin merasa bahwa tindakan korupsi tidaklah salah atau tidak dapat diterima.
WHY
Mengapa Korupsi Marak di Indonesia?
Korupsi di Indonesia merupakan masalah yang sangat serius dan kompleks, dengan berbagai faktor yang berkontribusi terhadap tingginya angka korupsi di negara ini. Berikut ini adalah beberapa alasan utama mengapa korupsi begitu marak:
1. Celah dalam Sistem
Salah satu penyebab utama korupsi adalah adanya celah dalam sistem yang memungkinkan terjadinya tindakan korupsi. Banyak aspek dalam sistem administrasi pemerintahan yang tidak transparan, yang menciptakan peluang bagi individu untuk menyalahgunakan kekuasaan mereka. Ketidakjelasan dalam proses pengadaan dan pengelolaan anggaran juga memberikan ruang bagi praktik korupsi.
2. Politik Berbiaya Tinggi
Politik di Indonesia sering kali melibatkan biaya yang sangat tinggi. Hal ini menciptakan tekanan bagi pejabat untuk mencari sumber dana tambahan, yang sering kali dilakukan melalui cara-cara yang tidak etis, termasuk korupsi. Ketika biaya berpartisipasi dalam politik sangat tinggi, individu mungkin merasa terpaksa melakukan tindakan korupsi untuk mendapatkan kembali investasi mereka.
3. Budaya Korupsi
Budaya yang ada di masyarakat juga memegang peranan penting dalam maraknya korupsi. Dalam beberapa kasus, norma sosial yang berlaku dapat membenarkan atau bahkan mendorong perilaku korup. Misalnya, jika masyarakat menganggap bahwa memberi suap adalah hal yang lumrah untuk memperoleh pelayanan publik, maka perilaku tersebut akan terus berlanjut.
4. Lemahnya Pengawasan
Lemahnya sistem pengawasan dan pengendalian internal di berbagai lembaga pemerintahan juga menjadi faktor penyebabnya. Ketidakmampuan mendeteksi dan mencegah penyimpangan membuat individu merasa aman untuk melakukan korupsi. Tanpa pengawasan yang ketat, tindakan korupsi menjadi lebih mudah dilakukan.
5. Lemahnya Moralitas
Aspek moral juga tidak dapat diabaikan. Lemahnya moralitas pada individu, seperti kurangnya rasa malu atau kejujuran, membuat mereka lebih rentan terhadap godaan untuk melakukan korupsi. Ketika nilai-nilai etika tidak dijunjung tinggi, tindakan korupsi menjadi lebih mungkin terjadi.
Korupsi di Indonesia merupakan masalah yang kompleks dan meluas, yang disebabkan oleh beberapa faktor yang saling terkait. Pertama, adanya celah dalam sistem yang memudahkan oknum untuk melakukan tindakan korupsi. Selain itu, politisi sering kali menghadapi biaya yang tinggi karena terlibat dalam politik, yang mendorong mereka untuk mencari sumber dana tambahan melalui cara-cara yang tidak etis.
Di sisi lain, budaya dalam masyarakat yang terkadang membenarkan perilaku korup juga turut menyebabkan tingginya angka korupsi. Selain itu, lemahnya pengawasan dalam lembaga pemerintah membuat penyimpangan sulit dideteksi. Terakhir, lemahnya moralitas di antara individu juga memperburuk keadaan, di mana nilai-nilai etika tidak selalu dijunjung tinggi.
Untuk mengatasi masalah korupsi ini, penting bagi semua pihak---pemerintah, masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat---untuk bekerja sama. Upaya yang perlu dilakukan antara lain memperkuat sistem pengawasan, meningkatkan transparansi dalam pengelolaan anggaran, dan membangun budaya yang menolak korupsi. Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan Indonesia dapat menekan angka korupsi dan menciptakan lingkungan yang lebih baik dan adil bagi semua.
HOWÂ
Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia: Pendekatan Jack Bologna
Pendekatan Jack Bologna dalam memahami korupsi menekankan pentingnya manajemen risiko dan kontrol internal dalam organisasi. Menurut Bologna, korupsi sering kali muncul karena adanya kelemahan dalam sistem yang seharusnya mencegahnya. Untuk menjelaskan penerapan pendekatan ini, kita bisa melihat kasus korupsi yang melibatkan Setya Novanto dalam proyek e-KTP.
Kasus E-KTP
Kasus e-KTP adalah salah satu skandal korupsi terbesar di Indonesia yang melibatkan penggelapan anggaran proyek pendaftaran pemilih. Proyek ini dimulai pada tahun 2011 dan diperkirakan merugikan negara hingga triliunan rupiah. Setya Novanto, yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPR, terlibat dalam pengaturan proyek ini dan akhirnya dijatuhi hukuman penjara.
Proyek e-KTP merupakan salah satu proyek pemerintah yang bertujuan untuk memperbarui sistem pendaftaran kependudukan di Indonesia. Namun, proyek ini menjadi sorotan karena penyalahgunaan anggaran yang sangat besar, dengan kerugian negara yang diperkirakan mencapai triliunan rupiah. Setya Novanto yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPR diduga terlibat dalam praktik korupsi terkait proyek ini.
Analisis Berdasarkan Pendekatan Jack Bologna
Pendekatan Jack Bologna dalam menganalisis korupsi menyoroti beberapa faktor kunci yang berkontribusi terhadap praktik korupsi, khususnya dalam konteks kasus Setya Novanto dan proyek e-KTP. Berikut ini adalah penjelasan faktor-faktor tersebut:
- Kesempatan
Salah satu faktor utama yang memungkinkan terjadinya korupsi adalah kesempatan. Dalam kasus proyek e-KTP, terdapat banyak peluang bagi oknum untuk melakukan korupsi. Proyek ini melibatkan anggaran yang sangat besar dan kompleksitas administrasi yang tinggi, sehingga menciptakan celah untuk penyimpangan. Kelemahan dalam sistem pengawasan dan pengendalian internal membuat oknum merasa dapat melakukan korupsi tanpa risiko yang berarti. Hal ini sejalan dengan pemahaman bahwa korupsi sering terjadi di lingkungan dengan pengawasan yang lemah.
- Keserakahan
Keserakahan juga menjadi faktor pendorong utama dalam kasus ini. Setya Novanto dan pihak-pihak lain yang terlibat diduga memiliki niat untuk mendapatkan keuntungan pribadi dari proyek e-KTP. Dorongan untuk memperkaya diri sendiri, meskipun sudah memiliki cukup banyak, menunjukkan tingkat keserakahan yang tinggi. Hal ini mencerminkan bagaimana oknum dapat mengabaikan etika dan tanggung jawab demi mendapatkan keuntungan pribadi.Â
- Kelemahan Sistem
Pendekatan Bologna menekankan bahwa korupsi sering terjadi karena kelemahan dalam sistem pengendalian internal. Dalam kasus e-KTP, sistem pengawasan yang lemah dan kurangnya transparansi dalam pengelolaan anggaran memberi ruang bagi praktik korupsi. Ketidakmampuan sistem untuk mendeteksi dan mencegah penyimpangan membuat korupsi semakin sulit diatasi.
- Pengungkapan
Faktor terakhir yang perlu dipertimbangkan adalah pengungkapan. Risiko korupsi terungkap dalam proyek ini juga rendah, terutama pada tahap awal. Hal ini membuat pelaku merasa aman untuk melanjutkan tindakan korupsi tanpa takut akan konsekuensi hukum. Ketidakpastian tentang kemungkinan terungkapnya korupsi berkontribusi pada keberanian individu untuk melakukan penyimpangan.
Dari analisis yang dilakukan berdasarkan pendekatan Jack Bologna, dapat disimpulkan bahwa korupsi di Indonesia, khususnya dalam kasus proyek e-KTP, disebabkan oleh beberapa faktor yang saling terkait. Peluang untuk melakukan korupsi sangat besar, terutama karena proyek ini melibatkan anggaran yang besar dan kompleksitas administrasi yang tinggi. Hal ini menimbulkan celah bagi oknum untuk menyalahgunakan kekuasaannya.
Selain itu, keserakahan menjadi motivasi utama para pelaku korupsi. Banyak di antara mereka, seperti Setya Novanto, yang berkecukupan secara finansial, tetapi tetap ingin mendapatkan keuntungan pribadi yang lebih. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi tidak hanya terjadi karena kebutuhan, tetapi juga karena keinginan untuk memperkaya diri sendiri.
Sistem pengawasan yang lemah juga turut menyebabkan tingginya angka korupsi. Ketidakmampuan sistem dalam mendeteksi dan mencegah penyimpangan membuat praktik korupsi semakin sulit diatasi. Selain itu, rendahnya risiko pengungkapan membuat para pelaku merasa aman untuk melanjutkan tindakan korupsi tanpa takut akan konsekuensi hukum.
Untuk mengatasi masalah korupsi ini, sangat penting untuk memperkuat sistem pengawasan dan pengendalian internal. Menciptakan lingkungan yang lebih transparan dan akuntabel juga menjadi langkah penting dalam mencegah terulangnya praktik korupsi di masa mendatang. Dengan demikian, upaya pencegahan dan penegakan hukum yang lebih baik dapat membantu mengurangi tingkat korupsi di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
- urgensi justice collaborator dalam tindak pidana korupsi perspektif -https://repository.uinsaizu.ac.id/24526/1/FAJAR%20AJI%20PRATAMA_URGENSI%20JUSTICE%20COLLABORATOR%20DALAM%20TINDAK%20PIDANA%20KORUPSI%20PERSPEKTIF%20FIKIH%20JINAYAH.pdf
- https://www.academia.edu/41606707/Teori_Penyebab_Korupsi
- https://www.fimela.com/lifestyle/read/4867776/5-teori-penyebab-korupsi-dan-jenis-tindakannya
- https://www.gramedia.com/best-seller/kasus-korupsi-di-indonesia/
- MODUL PROF APOLLO
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI