“Ikus,”
“Ardan,”
Bukannya merasa bangga karena ada yang membela, aku justru makin kesal.
Bisakah semua orang berhenti memanggilku Ikus?! Panggil aku Malik!
Namun bibirku tetap terkatup.
Teman-teman masih meributkan soal kelinci siapa yang terlucu. Sementara kepalaku tak berhenti memikirkan nasib malang panggilanku.
Bagaimana mungkin nama secemerlang Raja Aceh Malikus Saleh, bisa berjuluk IKUS!
Tinggal kau tambahkan huruf “T” di depannya, maka jadilah aku berjuluk seperti hewan pengerat itu.
Siapa yang memulai?!
Kupandangi emakku yang sudah berjalan ke rumah, meninggalkanku dengan teman-teman.
Ah, tidak mungkin Emak yang memulai. Emak orang yang baik.
Ah, peduli amat.