Jadi kesimpulannya, jika seorang laki-laki menikahi wanita yang sedang mengandung anak dari orang lain, hukumnya haram (menurut Imam Malik dan Imam Ahmad). Adapun bila wanita yang hamil itu dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya di luar nikah, maka hukumnya boleh.
 4.4 Tinjauan secara Sosiologis, Religious dan Yuridis di dalam pernikahan Wanita hamil
Tinjauan Yuridis
Pandangan Hukum Islam terhadap faktor-faktor penyebab terjadinya kawin hamil sesuai dengan Maqasid Asy-Syari'ah, yaitu: untuk memelihara jiwa (hifz an-Nafs), memelihara keturunan (hifz an-Nasl) dan memelihara akal (hifz al-'Aql) Pada KHI Pasal 53, tidak bertentangan dengan isi surat An-Nur (24) ayat 3, wanita hamil akibat zina boleh dinikahkan dengan pria yang menghamilinya, demi kemaslahatan mereka berdua dengan pria yangÂ
menghamilinya, demi kemaslahatan mereka berdua dan anaknya, apabila wanita hamil akibat zina akan dikawinkan dengan laki-laki yang tidak menghamilinya, maka tindakaan yang di ambilnya adalah tidak menikahkan wanita hamil tersebut, agar tidak terjadi percampuran nasab.
Perkawinan wanita yang hamil diluar nikah adalah sah apabila sudah terpenuhi rukun dan syarat perkawinan yang dimuat dalam KHI dan Undang-Undang NomorÂ
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Perkawinan wanita hamil di luar nikah boleh dilakukan, tidak wajib, asalkan dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya maupun orang lain apabila ia bersedia dan menghendakinya dan tidak perlu dilakukan perkawinan ulang ketika anak itu sudah lahir. Status dan kedudukan anak yang lahir dalam perkawinan wanita hamilÂ
di luar nikah yaitu adalah anak sah apabila anak itu lahir dalam perkawinan yang sah antara ibu dan ayahnya. Karena dalam pasal 42 UUP dan pasal 99 KHI menetukan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sehingga anakÂ
tersebut dapat dinasabkan kepada ibu yang melahirkannya dan ayah yang menikahi ibunya.Â
Namun dalam ketentuan demikian, dalam Hukum Islam anak yang lahir dari perkawinan wanita hamil di luar nikah untuk dapat dinasabkan kepada ayahnya si anak itu harus lahir sekurang-kurangnya enam (6) bulan sejak perkawinan orang tuanya.
b.) Tinjauan Sosiologis