3.3 Pandangan beberapa ulama mengenai pernikahan wanita hamil . Diantaranya:
Madzhab Hanafiyyah: masih terdapat perbedaan pendaan pendapat, diantaranya:
Pernikahan tetap sah, baik dengan laki-laki yang menghamili atau tidak
Pernikahan sah dengan syarat harus dengan laki-laki yang menghamili, dan tidak boleh di kumpuli kecuali sudah melahirkan
Boleh nikah dengan orang lain asal sudah melahirkan
Boleh nikah asal sudah melewati masa haid dan suci, dan ketika sudah menikah maka tidak boleh dikumpuli kecuali sudah melewati masa istibro'
Malikiyyah : tidak sah perkawinannya kecuali dengan laki-laki yang menghamilinya dan ini harus memenuhi syarat, yaitu harus taubat terlebih dahulu.
Imam Syafi'i : Beliau berpendapat lebih longgar. Bukan berarti zina itu dilegalkan. Itu adalah praduga yang salah, karena perzinaan apapun sudah terkutuk. Imam Syafi'i berkata, "Kalau satu orang mencuri buah dari satu pohon, ketika itu haram. Kemudian dia beli pohon itu, maka apakah buahnya tadi masih haram atau sudah halal ? Itu sudah halal. Tadinya haram kemudian menikah baik-baik maka menjadi halal". Tapi agar tidak salah paham- apakah dia terbebas dari dosa berzina ataukah dia terbebas dari murka Tuhan? TIDAK. Itu tadi dari segi hukum. Dalam pandangan madzhab ini, wanita yang zina itu tidak mempunyai iddah. adapun jika melangsungkan pernikahan, maka nikahnya tetap sah.
Imam Abu Hanifah : menjelaskan bahwa bila yang menikahi wanita hamil itu adalah laki-laki yang menghamilinya, hukumnya boleh. Sedangkan kalau yang menikahinya itu bukan laki-laki yang menghamilinya, maka laki-laki itu tidak boleh menggaulinya hingga melahirkan.
Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal: yang mengatakan laki-laki yang tidak menghamili tidak boleh menikahi wanita yang hamil, kecuali setelah wanita hamil itu melahirkan dan telah habis masa 'iddahnya.
Imam Ahmad menambahkan satu syarat lagi, yaitu wanita tersebut harus sudah bertobat dari dosa zinanya. Jika belum bertobat dari dosa zina, maka dia masih belum boleh menikah dengan siapa pun.