Maka perlu disadari betul bahwa aku
adalah entitas yang masih bersimpuh
pada rasa sakit. Tak masalah 'pabila aku
diinterpretasikan sebagai entitas yang lemah.
Aku menyadari betul hal itu.
Dengan demikian aku dapat duduk
dengan tenang di permadani yang engkau rajut untukku.
Disandingkan pula teh hangat tanpa gula;
biskuit yang engkau sajikan saat aku lengah;
dan engkau sajikan pula senyummu
di atas kepedihan yang masih engkau jaga.
Di hadapan sakit,
engkau akan tertunduk lesu.
Di hadapan sakit pula
engkau akan diajarkan ikhlas dan sabar.
Memang seperti apa engkau menentukan kadar ikhlas?
Bukankah melepas apa yang ada bisa disebut ikhlas?
Lantas bagaimana jika yang kita lepas membuat kita sakit,
tak berdaya di atas ranjang, apakah masih bisa kita lepas?
Tentu! Tak masalah bagiku mencintai
apa yang sudah aku lepas sekarang.
Cukupkanlah meskipun itu teramat pedih.
Lalu apa yang engkau renungkan
semalaman tentang sabar? Hasilnya apa?
Apakah nihil atau memang engkau tidak
benar-benar serius memikirkannya?
Apakah engkau perlu sesuatu di saat terdesak
seperti ini? Tentu! Aku menerima dan siap
atas segala tindakanku. Cukupkanlah meskipun itu teramat perih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H