Mohon tunggu...
Devan Alhoni
Devan Alhoni Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas Dan Konsultan Independen

Seorang penikmat karya-karya abstrak dan filosofis, Saya memiliki hasrat yang mendalam untuk menjelajahi makna-makna tersembunyi dalam setiap untaian kata. Pena dan buku menjadi kawan setianya dalam mengarungi samudra gagasan yang tak berbatas. Bagi saya, menulis bukan sekadar mengekspresikan pemikiran, melainkan juga upaya untuk menggali kebenaran di antara celah-celah realitas. Membaca pun tak hanya sekadar aktivitas menelan baris demi baris kata, tetapi juga menjadi petualangan intelektual yang tak pernah usai. Dengan kecermatannya dalam mengurai konsep-konsep kompleks, saya senantiasa mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang eksistensi manusia dan alam semesta. Baginya, dunia adalah panggung metafisika yang tak pernah mengering dari teka-teki untuk dipecahkan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Brexit, Pandemi, dan Kiamat Ekonomi: Bagaimana Inggris Menghancurkan Dirinya Sendiri

7 September 2024   08:10 Diperbarui: 7 September 2024   08:18 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Langit london yang biasanya cerah kini tampak kelabu. Kota yang dulu menjadi simbol kemakmuran Kerajaan Inggris Raya itu kini diselimuti awan gelap ketidakpastian ekonomi. Di sepanjang Oxford Street, salah satu pusat perbelanjaan tersibuk di dunia, deretan toko-toko mewah mulai sepi pengunjung. Beberapa bahkan terpaksa menutup gerainya, meninggalkan etalase kosong yang menjadi saksi bisu betapa dalamnya krisis yang kini menghantam Inggris.

"Saya tidak pernah menyangka akan mengalami masa sesulit ini," ujar Sarah Thompson, seorang ibu dua anak yang baru saja kehilangan pekerjaannya sebagai manajer toko di sebuah butik ternama. "Dulu kami hidup nyaman, tapi sekarang... jangankan membeli baju baru, membayar tagihan listrik saja sudah menjadi beban berat."

Kisah Sarah hanyalah satu dari jutaan cerita pilu yang kini menghiasi kehidupan rakyat Inggris. Negara yang pernah menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia itu kini terpuruk dalam krisis multidimensi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Inflasi melambung tinggi, nilai tukar Pound Sterling anjlok ke level terendah sepanjang sejarah, dan ancaman resesi yang panjang membayangi di depan mata.

Bagaimana bisa negara sekuat Inggris jatuh sedemikian dalam? Untuk memahami akar permasalahannya, kita perlu menelusuri jejak sejarah ekonomi Inggris selama lebih dari satu dekade terakhir.

Benih-benih Kehancuran: Krisis Finansial Global 2008

Krisis yang kini melanda Inggris sebenarnya telah ditabur bibitnya sejak krisis keuangan global yang mengguncang dunia pada tahun 2008. Saat itu, gelombang kehancuran ekonomi yang bermula di Amerika Serikat dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk Inggris.

Dr. Jonathan Harris, seorang ekonom senior dari London School of Economics, menjelaskan, "Krisis 2008 adalah titik balik bagi ekonomi Inggris. Saat itu, kita menyaksikan betapa rapuhnya sistem perbankan kita ketika dihadapkan pada guncangan global."

Salah satu korban pertama dari krisis ini adalah Northern Rock, bank yang telah berdiri sejak tahun 1965. Bank ini mengalami krisis likuiditas parah dan terpaksa dinasionalisasi oleh pemerintah Inggris pada Februari 2008. Peristiwa ini menandai awal dari serangkaian intervensi pemerintah yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sektor keuangan Inggris.

Namun, langkah penyelamatan Northern Rock ternyata hanya permulaan. Ketika Lehman Brothers, salah satu bank investasi terbesar di Amerika Serikat, mengumumkan kebangkrutannya pada September 2008, gelombang kepanikan melanda pasar keuangan global. Inggris, sebagai salah satu pusat keuangan dunia, terkena dampak langsung dari kehancuran ini.

Pemerintah Inggris, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Gordon Brown, terpaksa mengambil langkah drastis. Dalam upaya menyelamatkan sistem perbankan dari kehancuran total, pemerintah melakukan bailout besar-besaran terhadap bank-bank besar seperti Royal Bank of Scotland (RBS) dan Lloyds Banking Group.

"Itu adalah momen yang mengubah segalanya," kenang Lord Alistair Darling, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Keuangan Inggris. "Kami harus bertindak cepat dan tegas. Taruhannya adalah kehancuran total sistem keuangan Inggris."

Meskipun bailout tersebut berhasil mencegah kehancuran total sistem perbankan, dampaknya terhadap ekonomi Inggris sangatlah besar. Pada tahun 2009, PDB Inggris mengalami kontraksi sebesar 5%, penurunan terbesar dalam satu tahun kalender sejak tahun 1955.

Resesi yang Menghantam: 2008-2009

Resesi yang melanda Inggris pada tahun 2008-2009 adalah yang terparah sejak Perang Dunia II. Ribuan perusahaan gulung tikar, dan angka pengangguran melonjak tajam. Menurut data dari Office for National Statistics, tingkat pengangguran di Inggris mencapai puncaknya pada 8,5% pada akhir 2011, yang berarti lebih dari 2,7 juta orang kehilangan pekerjaan.

Dampak resesi ini dirasakan di seluruh lapisan masyarakat. Emma Roberts, seorang guru sekolah dasar di Manchester, mengingat masa-masa sulit tersebut. "Banyak orangtua murid saya yang kehilangan pekerjaan. Kami bahkan harus menyediakan sarapan gratis di sekolah karena banyak anak yang datang dengan perut kosong."

Pemerintah Inggris, yang kala itu dipimpin oleh koalisi Konservatif-Liberal Demokrat di bawah kepemimpinan Perdana Menteri David Cameron, merespon krisis ini dengan menerapkan kebijakan penghematan yang ketat. Langkah ini bertujuan untuk mengurangi defisit anggaran yang membengkak akibat bailout perbankan dan penurunan penerimaan pajak.

George sborne, Menteri Keuangan saat itu, mengumumkan serangkaian pemotongan anggaran yang drastis, termasuk pemangkasan belanja publik dan kenaikan pajak. "Kita harus mengambil langkah-langkah sulit ini untuk memulihkan keuangan negara," ujar Osborne dalam pidatonya di parlemen.

Namun, kebijakan penghematan ini menuai banyak kritik. Para ekonom memperingatkan bahwa pemotongan belanja yang terlalu dalam justru akan menghambat pemulihan ekonomi. Dr. Paul Krugman, pemenang Nobel Ekonomi, bahkan menyebut kebijakan Osborne sebagai "eksperimen yang berbahaya".

Terlepas dari kontroversi, ekonomi Inggris mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan pada tahun 2013. Pertumbuhan PDB kembali positif, dan tingkat pengangguran mulai menurun. Namun, pemulihan ini ternyata tidak merata. Kesenjangan ekonomi antara London dan daerah-daerah lain di Inggris justru semakin melebar.

Brexit: Keputusan yang Mengubah Segalanya

Ketika ekonomi Inggris mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan, sebuah keputusan politik mengubah arah perjalanan negara ini selamanya. Pada 23 Juni 2016, rakyat Inggris mengambil keputusan bersejarah untuk keluar dari Uni Eropa melalui sebuah referendum yang dikenal dengan istilah "Brexit".

Hasil referendum ini mengejutkan banyak pihak. Dengan margin yang tipis, 51,9% pemilih memilih untuk meninggalkan Uni Eropa, sementara 48,1% memilih untuk tetap bergabung. Keputusan ini segera memicu gejolak politik dan ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

"Brexit adalah gempa politik dan ekonomi," ujar Professor Mary Dejevsky, pakar politik internasional dari University of Cambridge. "Ini bukan hanya tentang hubungan Inggris dengan Uni Eropa, tapi juga tentang identitas dan masa depan Inggris sebagai sebuah negara."

Dampak Brexit terhadap ekonomi Inggris mulai terasa segera setelah hasil referendum diumumkan. Nilai tukar Pound Sterling anjlok ke level terendah dalam 31 tahun terhadap dolar AS. Pasar saham London mengalami guncangan hebat, dengan indeks FTSE 100 turun lebih dari 8% dalam satu hari perdagangan.

Ketidakpastian yang ditimbulkan oleh Brexit juga mulai mempengaruhi keputusan investasi perusahaan-perusahaan besar. Beberapa perusahaan multinasional, seperti Airbus dan BMW, mengancam akan memindahkan operasi mereka keluar dari Inggris jika tidak ada kesepakatan yang jelas dengan Uni Eropa.

Proses negosiasi Brexit yang berlarut-larut semakin memperburuk situasi. Theresa May, yang menggantikan David Cameron sebagai Perdana Menteri, menghabiskan hampir tiga tahun untuk bernegosiasi dengan Uni Eropa tanpa menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima parlemen Inggris.

"Kegagalan untuk mencapai kesepakatan Brexit yang jelas telah menciptakan ketidakpastian yang luar biasa bagi bisnis dan investor," kata Lord Simon Wolfson, CEO Next plc, salah satu peritel terbesar di Inggris. "Ini membuat kami sulit untuk membuat rencana jangka panjang."

Akhirnya, pada 31 Januari 2020, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Boris Johnson, Inggris secara resmi keluar dari Uni Eropa. Namun, dampak ekonomi dari keputusan ini masih terus berlanjut hingga saat ini.

Pandemi COVID-19: Pukulan Telak bagi Ekonomi yang Rapuh

Ketika Inggris masih bergulat dengan dampak Brexit, dunia dilanda pandemi COVID-19 yang mengubah segalanya. Pada Maret 2020, pemerintah Inggris terpaksa memberlakukan lockdown nasional untuk pertama kalinya dalam sejarah modern negara ini.

Langkah ini, meski diperlukan untuk mengendalikan penyebaran virus, memberikan pukulan telak bagi ekonomi Inggris yang sudah rapuh. Ribuan bisnis terpaksa tutup, jutaan pekerja dirumahkan, dan aktivitas ekonomi praktis terhenti.

"Pandemi COVID-19 adalah krisis kesehatan dan ekonomi terbesar yang pernah kita hadapi," ujar Rishi Sunak, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Keuangan Inggris. "Kita menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya."

Pemerintah Inggris merespon dengan mengucurkan stimulus fiskal terbesar dalam sejarah negara ini. Program "furlough" yang membayar 80% gaji pekerja yang dirumahkan, pinjaman darurat untuk bisnis, dan berbagai bantuan lainnya dikeluarkan untuk menopang ekonomi.

Namun, langkah-langkah ini datang dengan harga yang sangat mahal. Defisit anggaran Inggris melonjak ke level tertinggi sejak Perang Dunia II, mencapai 15,2% dari PDB pada tahun fiskal 2020/2021.

Meskipun ekonomi mulai pulih seiring dengan pelonggaran pembatasan, dampak pandemi terhadap struktur ekonomi Inggris sangat dalam. Banyak bisnis, terutama di sektor ritel dan perhotelan, tidak mampu bertahan dan terpaksa gulung tikar secara permanen.

"Pandemi telah mengubah lanskap bisnis di Inggris secara fundamental," kata Helen Dickinson, CEO British Retail Consortium. "Banyak perubahan yang tadinya diperkirakan akan terjadi dalam 5-10 tahun ke depan, kini terjadi hanya dalam hitungan bulan."

Inflasi Mengamuk: Krisis Biaya Hidup

Ketika ekonomi Inggris mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan dari dampak pandemi, ancaman baru muncul dalam bentuk inflasi yang tinggi. Pada tahun 2022, tingkat inflasi di Inggris mencapai level tertinggi dalam 40 tahun terakhir, menyentuh angka 11,1% pada Oktober 2022.

Lonjakan inflasi ini dipicu oleh berbagai faktor, termasuk gangguan rantai pasokan global akibat pandemi, kebijakan moneter yang longgar selama krisis COVID-19, dan yang paling signifikan, kenaikan harga energi global yang dipicu oleh invasi Rusia ke Ukraina.

"Inflasi tinggi ini telah menciptakan krisis biaya hidup yang belum pernah terjadi sebelumnya," ujar Dr. Sarah Smith, ekonom dari University of Bristol. "Banyak keluarga Inggris kini harus memilih antara menghangatkan rumah mereka atau membeli makanan."

Kenaikan harga energi menjadi pendorong utama inflasi. Regulator energi Inggris, Ofgem, mengumumkan kenaikan batas harga energi sebesar 54% pada April 2022, yang berarti tagihan energi rata-rata rumah tangga Inggris melonjak dari 1.277 menjadi 1.971 per tahun.

Bank of England, bank sentral Inggris, merespon lonjakan inflasi ini dengan menaikkan suku bunga acuan secara agresif. Suku bunga dinaikkan dari level terendah 0,1% pada Desember 2021 menjadi 5,25% pada Agustus 2023, kenaikan tertinggi dalam 14 tahun terakhir.

Namun, kenaikan suku bunga ini membawa konsekuensi tersendiri. Biaya pinjaman, termasuk untuk hipotek, melonjak tajam. Banyak pemilik rumah yang sebelumnya menikmati suku bunga rendah kini menghadapi kenaikan pembayaran hipotek yang signifikan.

"Saya tidak tahu bagaimana kami akan membayar hipotek bulan depan," keluh James Wilson, seorang guru di Birmingham yang menghadapi kenaikan pembayaran hipotek bulanan sebesar 400. "Kami sudah memangkas semua pengeluaran yang tidak penting, tapi tetap saja tidak cukup."

Krisis Politik: Pergantian Kepemimpinan yang Kacau

Di tengah badai ekonomi yang melanda, Inggris juga mengalami gejolak politik yang hebat. Pada Juli 2022, Boris Johnson mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri setelah serangkaian skandal yang mengguncang kepemimpinannya.

Liz Truss, yang menggantikan Johnson, hanya bertahan selama 45 hari di jabatannya, menjadikannya Perdana Menteri dengan masa jabatan terpendek dalam sejarah inggris. Kejatuhannya dipicu oleh kebijakan ekonomi kontroversial yang dikenal sebagai "mini-budget".

Mini-budget Truss, yang diumumkan pada 23 September 2022, mencakup pemotongan pajak besar-besaran senilai 45 miliar tanpa penjelasan yang jelas tentang bagaimana hal ini akan dibiayai. Pengumuman ini memicu kepanikan di pasar keuangan. Nilai Pound Sterling anjlok ke level terendah sepanjang masa terhadap dolar AS, sementara imbal hasil obligasi pemerintah Inggris melonjak tajam.

"Kebijakan Truss adalah contoh klasik dari keputusan ekonomi yang tidak bertanggung jawab," komentar Professor John Van Reenen dari London School of Economics. "Ini menunjukkan betapa rapuhnya kepercayaan pasar terhadap ekonomi Inggris saat ini."

Kekacauan yang ditimbulkan oleh mini-budget ini memaksa Truss untuk mengundurkan diri. Ia digantikan oleh Rishi Sunak, mantan Menteri Keuangan, yang kini harus menghadapi tugas berat memulihkan kepercayaan pasar dan mengatasi krisis ekonomi yang semakin dalam.

Dampak Sosial: Kemiskinan dan Ketimpangan yang Meluas

Krisis ekonomi yang berkepanjangan telah meninggalkan bekas yang dalam pada struktur sosial Inggris. Menurut laporan dari Joseph Rowntree Foundation, sebuah lembaga think tank yang fokus pada masalah kemiskinan, jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan di Inggris diperkirakan mencapai 14,5 juta orang pada tahun 2023, atau sekitar 22% dari total populasi.

"Kita sedang menyaksikan erosi kelas menengah Inggris," ujar Dr. Helen Barnard, Direktur Kebijakan di Joseph Rowntree Foundation. "Banyak keluarga yang dulu merasa aman secara finansial kini berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka."

Salah satu indikator paling jelas dari meluasnya kemiskinan adalah lonjakan penggunaan bank makanan. The Trussell Trust, jaringan bank makanan terbesar di Inggris, melaporkan bahwa mereka mendistribusikan lebih dari 2,5 juta paket makanan darurat pada tahun 2022/2023, meningkat lebih dari 30% dibandingkan tahun sebelumnya.

"Saya tidak pernah membayangkan akan bergantung pada bank makanan," kata Lisa, seorang ibu tunggal dari Liverpool. "Dulu saya punya pekerjaan yang bagus di bidang perhotelan. Sekarang, setelah kehilangan pekerjaan akibat pandemi, saya kesulitan memberi makan anak-anak saya."

Krisis ini juga telah memperparah ketimpangan yang sudah ada sebelumnya. Sementara sebagian besar masyarakat berjuang dengan kenaikan biaya hidup, laporan dari Sunday Times Rich List menunjukkan bahwa jumlah miliarder di Inggris justru mencapai rekor tertinggi pada tahun 2023.

"Ketimpangan yang semakin lebar ini adalah bom waktu sosial," peringat Dr. Danny Dorling, profesor geografi sosial di University of Oxford. "Jika tidak ditangani dengan serius, ini bisa memicu ketegangan sosial yang lebih besar."

Respon Pemerintah dan Tantangan ke Depan

Menghadapi krisis yang semakin dalam, pemerintah Inggris di bawah kepemimpinan Rishi Sunak telah mengambil berbagai langkah untuk menstabilkan ekonomi dan meringankan beban masyarakat.

Salah satu langkah utama adalah pemberian subsidi energi melalui Energy Price Guarantee, yang membatasi kenaikan tagihan energi rumah tangga. Pemerintah juga telah mengumumkan serangkaian bantuan langsung tunai untuk rumah tangga berpenghasilan rendah.

"Kami menyadari betapa beratnya situasi saat ini bagi banyak keluarga di Inggris," kata Jeremy Hunt, Menteri Keuangan Inggris. "Karena itu kami berkomitmen untuk memberikan dukungan yang ditargetkan kepada mereka yang paling membutuhkan."

Namun, banyak kritikus berpendapat bahwa langkah-langkah ini masih belum cukup untuk mengatasi akar masalah struktural ekonomi Inggris. Mereka menuntut reformasi yang lebih mendasar, termasuk peninjauan ulang hubungan perdagangan pasca-Brexit dan investasi besar-besaran dalam infrastruktur dan pendidikan.

"Inggris membutuhkan visi ekonomi jangka panjang yang berani," kata Torsten Bell, CEO Resolution Foundation. "Kita tidak bisa terus mengandalkan kebijakan jangka pendek untuk mengatasi masalah struktural."

Sementara itu, Bank of England terus berjuang untuk menjinakkan inflasi tanpa mendorong ekonomi ke dalam resesi yang lebih dalam. Gubernur Bank of England, Andrew Bailey, mengakui bahwa ini adalah "tightrope walk" yang sangat sulit.

"Kami harus mengendalikan inflasi, tapi kami juga sangat sadar akan dampak kenaikan suku bunga terhadap rumah tangga dan bisnis," ujar Bailey dalam sebuah wawancara. "Ini adalah keseimbangan yang sangat sulit."

Prospek ke Depan: Harapan di Tengah Ketidakpastian

Meskipun menghadapi tantangan yang berat, banyak ahli ekonomi berpendapat bahwa Inggris memiliki potensi untuk bangkit kembali. Negara ini masih memiliki keunggulan kompetitif di berbagai sektor, termasuk jasa keuangan, teknologi, dan pendidikan tinggi.

"Inggris memiliki bakat, inovasi, dan semangat kewirausahaan yang luar biasa," kata Dame Sharon White, Chair John Lewis Partnership. "Kita perlu memanfaatkan kekuatan ini untuk membangun kembali ekonomi kita."

Beberapa sektor ekonomi memang menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang menjanjikan. Industri teknologi Inggris, misalnya, terus berkembang pesat. London tetap menjadi salah satu pusat teknologi terkemuka di Eropa, dengan investasi venture capital yang terus mengalir ke startup-startup inovatif.

"Krisis saat ini telah mendorong banyak inovasi," kata Eileen Burbidge, partner di Passion Capital dan mantan penasihat teknologi untuk pemerintah Inggris. "Kita melihat munculnya solusi-solusi kreatif untuk masalah-masalah mendesak, dari teknologi cleantech hingga fintech yang membantu orang mengelola keuangan mereka dengan lebih baik."

Sektor manufaktur Inggris juga menunjukkan tanda-tanda ketahanan. Meskipun menghadapi tantangan dari Brexit dan gangguan rantai pasokan global, beberapa perusahaan manufaktur Inggris berhasil beradaptasi dan bahkan berkembang.

"Kami telah berinvestasi besar-besaran dalam otomatisasi dan pelatihan keterampilan baru bagi karyawan kami," kata Jane Wilson, CEO sebuah perusahaan manufaktur di Midlands. "Ini memungkinkan kami untuk tetap kompetitif di pasar global yang semakin menantang."

Namun, jalan menuju pemulihan ekonomi penuh masih panjang dan berliku. Inggris masih harus mengatasi berbagai tantangan struktural, termasuk produktivitas yang rendah, ketimpangan regional yang lebar, dan transisi menuju ekonomi rendah karbon.

"Kita perlu rencana ekonomi nasional yang komprehensif," kata Sir Keir Starmer, pemimpin Partai Buruh oposisi. "Ini harus mencakup investasi besar dalam infrastruktur, pendidikan, dan keterampilan, serta strategi industri yang jelas untuk mendorong pertumbuhan di seluruh negeri."

Pelajaran dari Krisis

Krisis ekonomi yang melanda Inggris adalah sebuah pelajaran penting tentang betapa rapuhnya bahkan ekonomi yang paling maju sekalipun ketika dihadapkan pada serangkaian guncangan yang berat. Ini juga menunjukkan betapa pentingnya kebijakan ekonomi yang hati-hati dan berpandangan jauh ke depan.

"Krisis ini harus menjadi wake-up call bagi kita semua," kata Dr. Miatta Fahnbulleh, CEO New Economics Foundation. "Kita perlu membangun kembali ekonomi kita dengan cara yang lebih adil, lebih berkelanjutan, dan lebih tahan terhadap guncangan di masa depan."

Bagi rakyat Inggris, krisis ini telah menjadi ujian ketahanan yang luar biasa. Namun, di tengah kesulitan, banyak yang tetap optimis tentang masa depan negara mereka.

"Inggris telah melewati masa-masa sulit sebelumnya dan selalu bangkit kembali," kata Michael, seorang pensiunan di Devon. "Saya yakin kita akan melewati ini juga. Kita hanya perlu bersatu dan bekerja sama."

Sementara Inggris terus berjuang untuk keluar dari krisis ini, dunia mengamati dengan seksama. Pengalaman Inggris menjadi pelajaran berharga bagi negara-negara lain tentang pentingnya stabilitas ekonomi, kebijakan yang hati-hati, dan kemampuan beradaptasi dalam menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.

Krisis ekonomi Inggris mungkin masih jauh dari selesai, namun semangat dan ketahanan rakyatnya memberikan harapan bahwa negeri ini akan bangkit kembali, mungkin lebih kuat dan lebih bijaksana dari sebelumnya.

________________________

Layanan 
Layanan 
JASA PENJUALAN & PEMASARAN MOBIL TERPERCAYA DI MALANG RAYA 

Ingin menjual mobil Anda dengan cepat dan harga terbaik? Kami solusinya!

Layanan Unggulan Kami:

Penjualan Mobil Efektif

Strategi Pemasaran Jitu

Pengiklanan Tepat Sasaran

Mengapa Memilih Kami?

____________________

Tim profesional berpengalaman

Jangkauan luas: Malang Raya dan sekitarnya

Pendekatan pemasaran modern dan efektif

Harga terjangkau, hasil maksimal

____________

PROMO SPESIAL: Hanya Rp 500.000 untuk paket lengkap!

Apa yang Anda dapatkan:

Analisis pasar dan penentuan harga optimal

Foto profesional dan deskripsi menarik

Pemasangan iklan di platform terkemuka

Penanganan inquiries dan negosiasi dengan pembeli potensial

Pendampingan hingga proses jual-beli selesai

__________________

Jangan biarkan mobil Anda menganggur. Hubungi kami sekarang!

081233574479

aidisuaidi875@gmail.com

BOOK NOW dan saksikan mobil Anda terjual lebih cepat!

#JualMobilMalang #PemasaranMobilEfektif #MobilTerjualCepat

Syarat dan ketentuan berlaku. Harga dapat berubah sewaktu-waktu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun