"Brexit adalah gempa politik dan ekonomi," ujar Professor Mary Dejevsky, pakar politik internasional dari University of Cambridge. "Ini bukan hanya tentang hubungan Inggris dengan Uni Eropa, tapi juga tentang identitas dan masa depan Inggris sebagai sebuah negara."
Dampak Brexit terhadap ekonomi Inggris mulai terasa segera setelah hasil referendum diumumkan. Nilai tukar Pound Sterling anjlok ke level terendah dalam 31 tahun terhadap dolar AS. Pasar saham London mengalami guncangan hebat, dengan indeks FTSE 100 turun lebih dari 8% dalam satu hari perdagangan.
Ketidakpastian yang ditimbulkan oleh Brexit juga mulai mempengaruhi keputusan investasi perusahaan-perusahaan besar. Beberapa perusahaan multinasional, seperti Airbus dan BMW, mengancam akan memindahkan operasi mereka keluar dari Inggris jika tidak ada kesepakatan yang jelas dengan Uni Eropa.
Proses negosiasi Brexit yang berlarut-larut semakin memperburuk situasi. Theresa May, yang menggantikan David Cameron sebagai Perdana Menteri, menghabiskan hampir tiga tahun untuk bernegosiasi dengan Uni Eropa tanpa menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima parlemen Inggris.
"Kegagalan untuk mencapai kesepakatan Brexit yang jelas telah menciptakan ketidakpastian yang luar biasa bagi bisnis dan investor," kata Lord Simon Wolfson, CEO Next plc, salah satu peritel terbesar di Inggris. "Ini membuat kami sulit untuk membuat rencana jangka panjang."
Akhirnya, pada 31 Januari 2020, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Boris Johnson, Inggris secara resmi keluar dari Uni Eropa. Namun, dampak ekonomi dari keputusan ini masih terus berlanjut hingga saat ini.
Pandemi COVID-19: Pukulan Telak bagi Ekonomi yang Rapuh
Ketika Inggris masih bergulat dengan dampak Brexit, dunia dilanda pandemi COVID-19 yang mengubah segalanya. Pada Maret 2020, pemerintah Inggris terpaksa memberlakukan lockdown nasional untuk pertama kalinya dalam sejarah modern negara ini.
Langkah ini, meski diperlukan untuk mengendalikan penyebaran virus, memberikan pukulan telak bagi ekonomi Inggris yang sudah rapuh. Ribuan bisnis terpaksa tutup, jutaan pekerja dirumahkan, dan aktivitas ekonomi praktis terhenti.
"Pandemi COVID-19 adalah krisis kesehatan dan ekonomi terbesar yang pernah kita hadapi," ujar Rishi Sunak, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Keuangan Inggris. "Kita menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya."
Pemerintah Inggris merespon dengan mengucurkan stimulus fiskal terbesar dalam sejarah negara ini. Program "furlough" yang membayar 80% gaji pekerja yang dirumahkan, pinjaman darurat untuk bisnis, dan berbagai bantuan lainnya dikeluarkan untuk menopang ekonomi.