Mohon tunggu...
Devan Alhoni
Devan Alhoni Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas Dan Konsultan Independen

Seorang penikmat karya-karya abstrak dan filosofis, Saya memiliki hasrat yang mendalam untuk menjelajahi makna-makna tersembunyi dalam setiap untaian kata. Pena dan buku menjadi kawan setianya dalam mengarungi samudra gagasan yang tak berbatas. Bagi saya, menulis bukan sekadar mengekspresikan pemikiran, melainkan juga upaya untuk menggali kebenaran di antara celah-celah realitas. Membaca pun tak hanya sekadar aktivitas menelan baris demi baris kata, tetapi juga menjadi petualangan intelektual yang tak pernah usai. Dengan kecermatannya dalam mengurai konsep-konsep kompleks, saya senantiasa mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang eksistensi manusia dan alam semesta. Baginya, dunia adalah panggung metafisika yang tak pernah mengering dari teka-teki untuk dipecahkan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Brexit, Pandemi, dan Kiamat Ekonomi: Bagaimana Inggris Menghancurkan Dirinya Sendiri

7 September 2024   08:10 Diperbarui: 7 September 2024   08:18 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Langit london yang biasanya cerah kini tampak kelabu. Kota yang dulu menjadi simbol kemakmuran Kerajaan Inggris Raya itu kini diselimuti awan gelap ketidakpastian ekonomi. Di sepanjang Oxford Street, salah satu pusat perbelanjaan tersibuk di dunia, deretan toko-toko mewah mulai sepi pengunjung. Beberapa bahkan terpaksa menutup gerainya, meninggalkan etalase kosong yang menjadi saksi bisu betapa dalamnya krisis yang kini menghantam Inggris.

"Saya tidak pernah menyangka akan mengalami masa sesulit ini," ujar Sarah Thompson, seorang ibu dua anak yang baru saja kehilangan pekerjaannya sebagai manajer toko di sebuah butik ternama. "Dulu kami hidup nyaman, tapi sekarang... jangankan membeli baju baru, membayar tagihan listrik saja sudah menjadi beban berat."

Kisah Sarah hanyalah satu dari jutaan cerita pilu yang kini menghiasi kehidupan rakyat Inggris. Negara yang pernah menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia itu kini terpuruk dalam krisis multidimensi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Inflasi melambung tinggi, nilai tukar Pound Sterling anjlok ke level terendah sepanjang sejarah, dan ancaman resesi yang panjang membayangi di depan mata.

Bagaimana bisa negara sekuat Inggris jatuh sedemikian dalam? Untuk memahami akar permasalahannya, kita perlu menelusuri jejak sejarah ekonomi Inggris selama lebih dari satu dekade terakhir.

Benih-benih Kehancuran: Krisis Finansial Global 2008

Krisis yang kini melanda Inggris sebenarnya telah ditabur bibitnya sejak krisis keuangan global yang mengguncang dunia pada tahun 2008. Saat itu, gelombang kehancuran ekonomi yang bermula di Amerika Serikat dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk Inggris.

Dr. Jonathan Harris, seorang ekonom senior dari London School of Economics, menjelaskan, "Krisis 2008 adalah titik balik bagi ekonomi Inggris. Saat itu, kita menyaksikan betapa rapuhnya sistem perbankan kita ketika dihadapkan pada guncangan global."

Salah satu korban pertama dari krisis ini adalah Northern Rock, bank yang telah berdiri sejak tahun 1965. Bank ini mengalami krisis likuiditas parah dan terpaksa dinasionalisasi oleh pemerintah Inggris pada Februari 2008. Peristiwa ini menandai awal dari serangkaian intervensi pemerintah yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sektor keuangan Inggris.

Namun, langkah penyelamatan Northern Rock ternyata hanya permulaan. Ketika Lehman Brothers, salah satu bank investasi terbesar di Amerika Serikat, mengumumkan kebangkrutannya pada September 2008, gelombang kepanikan melanda pasar keuangan global. Inggris, sebagai salah satu pusat keuangan dunia, terkena dampak langsung dari kehancuran ini.

Pemerintah Inggris, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Gordon Brown, terpaksa mengambil langkah drastis. Dalam upaya menyelamatkan sistem perbankan dari kehancuran total, pemerintah melakukan bailout besar-besaran terhadap bank-bank besar seperti Royal Bank of Scotland (RBS) dan Lloyds Banking Group.

"Itu adalah momen yang mengubah segalanya," kenang Lord Alistair Darling, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Keuangan Inggris. "Kami harus bertindak cepat dan tegas. Taruhannya adalah kehancuran total sistem keuangan Inggris."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun