Poin pentingnya, pemerintah harus fokus pada upaya peningkatan kualitas SDM sejak usia dini melalui pendidikan dasar prima yang merata bagi seluruh rakyat, tidak sekadar target statistik mengenai jumlah tahun wajib belajar atau kuantitas lulusan perguruan tinggi semata. Aspek-aspek inti seperti budi pekerti, karakter, kreativitas, dan kecakapan hidup perlu menjadi orientasi utama kurikulum pendidikan di Tanah Air.
Ketiga, perbaikan sistem birokrasi. Indonesia sesungguhnya tidak kekurangan sumber daya manusia bermutu dalam lingkup birokrasi dan pemerintahan. Bahkan sejarah mencatat nama-nama tokoh seperti Sutan Syahrir, Mohammad Hatta, dan Soekarno sendiri merupakan cendekiawan terkemuka di zamannya. Namun paska kemerdekaan, kualitas birokrasi pemerintah justru mengalami kemunduran akibat perpecahan dan perebutan kekuasaan yang terus berlanjut.
Kendati demikian, kerangka birokrasi pemerintahan Indonesia pada hakikatnya telah cukup modern dan kredibel dengan sistem check and balances yang minim manipulasi. Namun kualitas SDM pelaksananya-lah yang menjadi persoalan krusial, disertai mental korupsi yang seolah sudah mengakar turun temurun hingga ke jenjang desa.
Perbaikan total sistem birokrasi mutlak diperlukan agar tidak terjadi kebocoran dan inefisiensi program pembangunan. Pelayanan publik yang prima juga penting untuk mempermudah interaksi rakyat dengan negara dan mengedukasi fungsi pemerintahan itu sendiri. Kuncinya tentu terletak pada politik SDM yang selektif, transparan, dan berbasis kompetensi nyata. Kepercayaan publik akan tumbuh seiring kinerja birokrasi yang profesional, bukan sebaliknya.
Keempat, penegakan supremasi hukum dan pemberantasan korupsi total. Hukum yang tegas dan berlaku sama bagi semua pihak, merupakan fondasi utama lahirnya suatu tatanan masyarakat yang adil dan makmur. Namun penegakan hukum di Indonesia masih jauh dari ideal. Banyak kasus besar yang terhenti di tengah jalan atau berakhir dengan vonis ringan.
Di sisi lain, Indonesia menduduki ranking tertinggi sebagai negara terkorup di Asia dan berada pada peringkat 102 dari 180 negara versi Transparency International. Kondisi ini sungguh memprihatinkan dan menjadi salah satu hambatan utama bagi upaya industrialisasi serta kemajuan bangsa secara keseluruhan. Sebab korupsi, kolusi, dan nepotisme telah menimbulkan kerugian triliunan rupiah yang seharusnya bisa digunakan untuk program pembangunan rakyat dan negara.
Menyadari persoalan ini, penting bagi penyelenggara negara di segala level untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, serta penegakan hukum yang tegas dalam pemberantasan korupsi. Rakyat sudah lelah dengan kasus besar yang tak kunjung tuntas sementara pejabat lama kembali merajalela. Suara mereka terlalu sering tidak terdengar oleh telinga para elite yang sibuk berkuasa dan berebut harta. Namun ingat, semua kejayaan dan keruntuhan sebuah peradaban berawal dari sebuah titik klimaks di mana rakyat kehilangan habis kesabaran.
Andai momentum ini tiba di Indonesia, kekacauan sosial politik akan mengguncang bangsa berikutnya dan peluang emas pembangunan akan sirna total, bahkan untuk jangka panjang. Para koruptor kelas kakap pun akan ikut jungkir balik bersama runtuhnya sendi-sendi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka dari itu, semua elemen bangsa wajib bersatu padu memberantas korupsi demi Indonesia masa depan yang lebih baik.
Kelima, revitalisasi sektor pertanian dan optimalisasi potensi kelautan. Meski beragam teori menyebutkan bahwa negara agraris hanya akan tertinggal perkembangannya di era industri modern, bukan berarti pertanian tidak boleh dijadikan sektor andalan. Namun tentu tidak cukup sekadar berorientasi pada swasembada pangan semata, karena akan ada batas produktivitas yang dicapai pada suatu saat.
Poin pentingnya jauh ke depan, Indonesia perlu menjadikan pertanian lebih modern melalui digitalisasi dan otomasi dengan beragam inovasi teknologi seperti hydroponic system atau penggunaan drone dan sensor cerdas. Demikian halnya di sektor peternakan yang masih belum optimal, padahal peluang untuk menjadi lumbung hewani global sesungguhnya terbuka lebar.
Terkait potensi kelautan, strategi pengelolaannya perlu lebih komprehensif, tidak sekedar menjadi "tukang parkir" kapal dan tanker asing. Sebab, kekayaan hutan mangrove, terumbu karang, hingga biota laut yang ada di perairan Indonesia sangatlah melimpah sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Jika dikelola dengan konsep ekonomi biru, potensinya bahkan melampaui tambang minyak dan gas.