Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah beberapa kali mengungkapkan optimisme dan prasangka keyakinan bahwa Indonesia akan mampu mencapai kemakmuran dan kesejahteraan pada 2045 ketika negara ini merayakan hari jadinya yang ke-100. Ia berpandangan bahwa dengan pertumbuhan ekonomi 7 persen pertahun dan menyerap investasi asing sebesar 4,8 triliun setahun, Indonesia bisa mencapai kemiskinan nol persen dan pendapatan per kapita Rp 27 juta per bulan pada 2045. Kandidat presiden saingannya Prabowo Subianto pun memiliki pandangan dan target serupa untuk 2045.
Para elit politik Tanah Air ini terjebak dalam prasangka bahwa kemakmuran dan kesejahteraan bangsa dapat dicapai dengan secara keliru mengandalkan dua modal utama yakni bonus demografi dan sumber daya alam yang melimpah. Kepercayaan bahwa jumlah penduduk usia produktif yang besar dan ketersediaan kekayaan alam berlimpah, bisa mengangkat Indonesia menjadi negara maju sangat keliru dan tidak didukung bukti sejarah.
Keyakinan tersebut merupakan kelanjutan gagasan pemerintahan Orde Baru yang telah terbukti salah dan menyesatkan. Sebab, sejarah tidak akan berulang dalam peristiwanya, namun fenomenanya sering kali identik. Dengan demikian, kesalahan masa lalu patut dijadikan pelajaran agar tidak diulangi lagi di masa kini. Jika tidak, kita akan terperangkap dalam "cycle of error" di mana kesalahan yang sama terus menerus diperbuat.
Meski segala sesuatu bersifat tidak linier, namun ada kesamaan kondisi Indonesia dengan Cina dan Korea Selatan pada 1960an. Ketiga negara merdeka dari kolonialisme dan mengalami revolusi sebelumnya. Pada masa itu, tingkat kemakmuran rakyat ketiganya relatif sama. Hanya dalam waktu 10 tahun sejak 1960an, Korea Selatan dan Cina telah melakukan lompatan besar dalam hal industrialisasi dan pembaharuan mindset. Dengan bangkitnya Cina pada 1990an, Indonesia tertinggal jauh dalam perkembangannya.
Setengah abad yang lalu, Korea Selatan fokus meniru dan menandingi langkah Jepang dalam hal industrialisasi. Saat itu juga muncul konglomerat raksasa Korea Selatan seperti Samsung. Sementara Cina, meski masih dalam sistem pemerintahan komunis, membuka sektor ekonominya dan melakukan reformasi berpikir dengan memasukkan unsur kapitalisme.
Indonesia pada 1970an saat dipimpin Presiden Soeharto malah buta akan tren global dan tetap terkungkung cita-cita nasionalisme ekonomi. Alih-alih membuka pikiran dan mulai industrialisasi, yang dilakukan pemerintahan Soeharto hanyalah menyedot investasi asing sebanyak mungkin dengan mengandalkan jumlah sumber daya alam melimpah dan rakyat banyak sebagai tenaga kerja murah.
Sejumlah merek otomotif Jepang seperti Toyota dan Honda masuk. Demikian pula perusahaan-perusahaan Amerika Serikat yang akhirnya bangkrut. Pada 1985, Indonesia bahkan sempat bisa swasembada beras. Soeharto kemudian dengan bangga menyatakan telah berhasil memberi makan seluruh rakyat Indonesia. Namun yang terjadi sesungguhnya, kekayaan alam dan tenaga kerja Indonesia hanya dieksploitasi demi kepentingan asing.
Akibatnya pada akhir 1990an ketika terjadi krisis ekonomi, Indonesia mengalami keruntuhan yang parah. Ternyata selama ini, uang cadangan devisa negara sangat minim akibat utang berlipat ganda. Sementara bangsa lain bisa bangkit kembali, Indonesia tenggelam dalam perebutan kekuasaan yang memperparah kemunduran.
Andai waktu bisa diputar kembali, Indonesia sesungguhnya bisa melakukan industrialisasi dan pembaruan pola pikir seperti Korea Selatan dan Cina. Sektor pertanian tetap menjadi tulang punggung, tetapi tidak perlu menjual sumber daya alam dan tenaga kerja murah ke korporasi asing. Nilai tambah dari hasil kekayaan alam semestinya bisa lebih optimal jika pengelolaannya dilakukan anak bangsa sendiri dengan teknologi yang terus disempurnakan.
Sayangnya, waktu terus berjalan tanpa menunggu siapapun. Kini Jepang, Korea, dan Cina bahkan mulai mengalami tren penurunan produktivitas akibat overeksploitasi sumber daya manusia sendiri. Namun keunggulan mutlak mereka di sektor teknologi, membuat bangsa lain sulit menyaingi apalagi melampaui.
Contohnya, Cina kini memproduksi komponen energi terbarukan yang membuat Indonesia harus bergantung impor untuk kebutuhan energi nasional. Jepang telah mampu membuat teknologi robotic canggih dan Korea Selatan mengembangkan kecerdasan buatan (artificial intelligence). Adapun Amerika Serikat fokus pada komputasi kuantum (quantum computer).
Sementara Indonesia? Sektor pertanian masih menopang sebagian besar ekonomi nasional hingga hari ini. Cita-cita menjadi lumbung pangan masih menjadi slogan utama pemerintah dalam melihat visi masa depan. Tingkat ketergantungan teknologi pada bangsa lain pun sangat besar, bahkan dalam hal kebutuhan energi sekalipun.
Oleh karena itu, sangat keliru jika Indonesia berharap bisa mencapai kemakmuran dan kesejahteraan hanya dengan andalan jumlah penduduk usia produktif yang banyak dan sumber daya alam melimpah. Logika sederhananya, tidak akan pernah ada bukti sejarah di mana sebuah negara menjadi maju sekadar karena dua faktor tersebut. Justru, beberapa akademisi di Belanda pernah merumuskan hipotesis menarik tentang "kutukan sumber daya alam melimpah" bagi sebuah negara berkembang.
Kunci utama kemajuan suatu bangsa sesungguhnya terletak pada kualitas sumber daya manusianya, bukan kuantitasnya. Seberapa besar rasio positif dari total populasi yang memiliki integritas, kejujuran, dedikasi dan etos kerja tinggi-lah yang menentukan. Jumlah guru, dokter, peneliti ataupun pekerja tidak ada gunanya jika mutu moralitasnya rendah. Mereka hanya akan mencuri dan memboroskan anggaran negara yang sebenarnya sangat minim.
Jika mutu SDM rendah, kekayaan alam berlimpah pun percuma karena hanya akan dieksploitasi asing. Maka selayaknya, negara-negara maju seperti Norwegia justru hanya memiliki penduduk sedikit dengan kekayaan alam tertentu. Namun kualitas SDM mereka sangat tinggi sehingga surplus produksi minyak dan gas bisa digunakan untuk investasi masa depan bangsa melalui dana abadi.
Oleh karena itu, pimpinan bangsa ini diperingatkan untuk tidak lagi menebarkan janji-janji manis kemakmuran 2045 hanya dengan mengandalkan dua faktor yang sesungguhnya bukan kunci utama tersebut. Sudah saatnya Indonesia bangkit dari tidur panjang dan bermetamorfosa menjadi Macan Asia yang di masa lalu pernah mampu memproduksi kapal laut terbesar kedua di dunia, jet tempur, hingga mobil nasional sendiri.
Seluruh komponen bangsa harus bersatu padu membangun SDM unggul, membangkitkan etos kerja, integritas dan kejujuran. Sementara melimpahnya bonus demografi dan sumber daya alam hanyalah berperan sebagai fondasi dan modal pelengkap untuk mencapai satu tujuan mulia, yakni Indonesia Emas 2045.
Menelaah Kembali Kunci Kunci Penting Lantas apa sesungguhnya kunci utama agar suatu bangsa bisa maju? Tentu persoalan ini memiliki banyak teori dan hipotesis, tetapi Indonesia secara khusus perlu menelaah kembali kunci-kunci penting yang selama ini terabaikan dalam pembangunan berkelanjutan di segala bidang.
Pertama, industrialisasi. Presiden Soekarno sempat menggagas revolusi mental dalam bentuk gerakan Tri Sakti yakni berdaulat di bidang ekonomi, berdaulat di bidang politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan nasional. Hal ini penting untuk mendorong peningkatan produktivitas bangsa sendiri dalam berbagai sektor agar tidak selamanya tergantung asing.
Sayangnya gagasan ini terpotong momentum sejarahnya akibat langkah Soeharto yang lebih memilih jalur pragmatis dengan mengandalkan investasi asing dan eksploitasi bumi-tenaga murah. Namun ada pelajaran penting di sini, era industrialisasi pada dasarnya harus dimulai dari dalam dengan memanfaatkan komponen lokal seoptimal mungkin, tidak sekadar menggiurkan asing semata.
Kedua, peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia. Wacana penguatan SDM sesungguhnya sudah ada sejak Orde Baru dengan konsep wajib belajar 9 tahun. Ini cukup maju pada masanya meski pelaksanaannya masih menyisakan persoalan klasik seperti rendahnya akses pendidikan di daerah terpencil dan tingginya angka putus sekolah dini.
Pada era reformasi, persoalan peningkatan kualitas SDM belum mendapat perhatian maksimal akibat instabilitas politik pasca lengsernya Soeharto. Menteri Pendidikan era Gus Dur, Malik Fajar bahkan pernah berdebat secara filosofis apakah Indonesia membutuhkan banyak sarjana atau tenaga kerja terampil saja untuk bisa bersaing. Pada kenyataannya, tantangan disruptif di abad 21 ini membutuhkan kombinasi keduanya dengan skema link and match antara pendidikan dengan dunia industri serta revolusi mental.
Poin pentingnya, pemerintah harus fokus pada upaya peningkatan kualitas SDM sejak usia dini melalui pendidikan dasar prima yang merata bagi seluruh rakyat, tidak sekadar target statistik mengenai jumlah tahun wajib belajar atau kuantitas lulusan perguruan tinggi semata. Aspek-aspek inti seperti budi pekerti, karakter, kreativitas, dan kecakapan hidup perlu menjadi orientasi utama kurikulum pendidikan di Tanah Air.
Ketiga, perbaikan sistem birokrasi. Indonesia sesungguhnya tidak kekurangan sumber daya manusia bermutu dalam lingkup birokrasi dan pemerintahan. Bahkan sejarah mencatat nama-nama tokoh seperti Sutan Syahrir, Mohammad Hatta, dan Soekarno sendiri merupakan cendekiawan terkemuka di zamannya. Namun paska kemerdekaan, kualitas birokrasi pemerintah justru mengalami kemunduran akibat perpecahan dan perebutan kekuasaan yang terus berlanjut.
Kendati demikian, kerangka birokrasi pemerintahan Indonesia pada hakikatnya telah cukup modern dan kredibel dengan sistem check and balances yang minim manipulasi. Namun kualitas SDM pelaksananya-lah yang menjadi persoalan krusial, disertai mental korupsi yang seolah sudah mengakar turun temurun hingga ke jenjang desa.
Perbaikan total sistem birokrasi mutlak diperlukan agar tidak terjadi kebocoran dan inefisiensi program pembangunan. Pelayanan publik yang prima juga penting untuk mempermudah interaksi rakyat dengan negara dan mengedukasi fungsi pemerintahan itu sendiri. Kuncinya tentu terletak pada politik SDM yang selektif, transparan, dan berbasis kompetensi nyata. Kepercayaan publik akan tumbuh seiring kinerja birokrasi yang profesional, bukan sebaliknya.
Keempat, penegakan supremasi hukum dan pemberantasan korupsi total. Hukum yang tegas dan berlaku sama bagi semua pihak, merupakan fondasi utama lahirnya suatu tatanan masyarakat yang adil dan makmur. Namun penegakan hukum di Indonesia masih jauh dari ideal. Banyak kasus besar yang terhenti di tengah jalan atau berakhir dengan vonis ringan.
Di sisi lain, Indonesia menduduki ranking tertinggi sebagai negara terkorup di Asia dan berada pada peringkat 102 dari 180 negara versi Transparency International. Kondisi ini sungguh memprihatinkan dan menjadi salah satu hambatan utama bagi upaya industrialisasi serta kemajuan bangsa secara keseluruhan. Sebab korupsi, kolusi, dan nepotisme telah menimbulkan kerugian triliunan rupiah yang seharusnya bisa digunakan untuk program pembangunan rakyat dan negara.
Menyadari persoalan ini, penting bagi penyelenggara negara di segala level untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, serta penegakan hukum yang tegas dalam pemberantasan korupsi. Rakyat sudah lelah dengan kasus besar yang tak kunjung tuntas sementara pejabat lama kembali merajalela. Suara mereka terlalu sering tidak terdengar oleh telinga para elite yang sibuk berkuasa dan berebut harta. Namun ingat, semua kejayaan dan keruntuhan sebuah peradaban berawal dari sebuah titik klimaks di mana rakyat kehilangan habis kesabaran.
Andai momentum ini tiba di Indonesia, kekacauan sosial politik akan mengguncang bangsa berikutnya dan peluang emas pembangunan akan sirna total, bahkan untuk jangka panjang. Para koruptor kelas kakap pun akan ikut jungkir balik bersama runtuhnya sendi-sendi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka dari itu, semua elemen bangsa wajib bersatu padu memberantas korupsi demi Indonesia masa depan yang lebih baik.
Kelima, revitalisasi sektor pertanian dan optimalisasi potensi kelautan. Meski beragam teori menyebutkan bahwa negara agraris hanya akan tertinggal perkembangannya di era industri modern, bukan berarti pertanian tidak boleh dijadikan sektor andalan. Namun tentu tidak cukup sekadar berorientasi pada swasembada pangan semata, karena akan ada batas produktivitas yang dicapai pada suatu saat.
Poin pentingnya jauh ke depan, Indonesia perlu menjadikan pertanian lebih modern melalui digitalisasi dan otomasi dengan beragam inovasi teknologi seperti hydroponic system atau penggunaan drone dan sensor cerdas. Demikian halnya di sektor peternakan yang masih belum optimal, padahal peluang untuk menjadi lumbung hewani global sesungguhnya terbuka lebar.
Terkait potensi kelautan, strategi pengelolaannya perlu lebih komprehensif, tidak sekedar menjadi "tukang parkir" kapal dan tanker asing. Sebab, kekayaan hutan mangrove, terumbu karang, hingga biota laut yang ada di perairan Indonesia sangatlah melimpah sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Jika dikelola dengan konsep ekonomi biru, potensinya bahkan melampaui tambang minyak dan gas.
Keenam, transformasi mental dan budaya. Hal yang paling sulit namun paling penting untuk dilakukan secara simultan bersama program pembangunan infrastruktur, adalah transformasi mental generasi bangsa secara menyeluruh. Indonesia memiliki warisan nilai Pancasila yang luhur, tetapi kebobrokan moral menggerogotinya akibat pengaruh globalisasi bebas nilai. Kondisi ini memperparah kesenjangan dan jurang pemisah antara bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan identitas.
Dari Aceh hingga Papua, serta Sabang sampai Merauke memang memiliki kemajemukan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang bisa dianggap unik. Namun semua itu hanyalah perbedaan kulit luarnya, sementara secara batiniah-spiritual tetap menganut akar budaya Nusantara yang menjunjung tinggi gotong royong, kekeluargaan, persaudaraan, religius, dan cinta akan keindahan alam.
Menyadari hal ini, segala kebijakan pembangunan bangsa semestinya tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 yang mengedepankan persatuan dalam kebhinekaan. Misi mulia ini perlu disosialisasikan secara masif dan di internalisasi sejak dini pada generasi penerus bangsa melalui jalur pendidikan formal maupun non formal. Hanya dengan demikian nilai-nilai Pancasila bisa tetap hidup dan menjiwai cara pandang serta sikap setiap insan Indonesia dalam menatap masa depan bangsanya. Slogan NKRI harga mati pun tidak akan pernah pudar meski demografi dan regenerasi terus berlanjut dimakan masa.
Itulah enam kunci penting yang perlu ditelaah Indonesia dalam upaya pencapaian kemakmuran di 2045 nanti. Bonus demografi dan sumber daya alam melimpah memang modal berharga sebagai fondasi awal. Namun tanpa keenam faktor tersebut, semuanya akan sia-sia belaka karena hanya dieksploitasi asing. Kita tidak akan pernah belajar dari sejarah dan terus terjebak dalam siklus kesalahan masa lalu.
Hanya Bangsa yang Berpikir Jauh ke Depan yang Akan Maju Berbicara tentang pembelajaran dari sejarah, ada fenomena menarik terkait bagaimana Jepang yang kini menjadi negara maju bisa bangkit dari bencana dan kekalahan perang. Pada 6 Agustus 1945, Amerika menjatuhkan bom atom ke Kota Hiroshima yang meluluhlantakkan hampir semua infrastruktur pendukung kehidupan warganya. Tiga hari berselang yakni 9 Agustus 1945, bom atom kedua kembali dijatuhkan ke Kota Nagasaki, menewaskan puluhan ribu jiwa dalam sekejap.
Dua kota ini menjadi lautan api dan puing bangunan hancur lebur akibat daya ledak dahsyat bom atom buatan manusia yang pertama di dunia. Korban yang selamat sebagian besar mengalami luka bakar hebat, keracunan radiasi, dan beragam penyakit mematikan akibat dampak jangka panjang bom tersebut.
Presiden AS saat itu Harry Truman bahkan sempat memperkirakan butuh waktu 50 sampai 100 tahun agar Jepang bisa pulih dari bencana kemanusiaan terburuk abad 20 tersebut. Namun apa yang terjadi selanjutnya sungguh di luar dugaan siapapun. Butuh kurang dari 10 tahun bagi Jepang untuk bangkit dan kembali membangun kedua kota yang sudah hampir punah oleh perang itu dari awal.
Kini Hiroshima dan Nagasaki sudah menjadi kota modern bergelimang kemakmuran, lengkap dengan gedung pencakar langit serta jalanan super rapi dan bersih. Luka dalam yang pernah dialami penduduknya di masa lalu seolah lenyap seiring kemajuan pesat Jepang pasca Perang Dunia 2. Bagaimana bisa?
Rahasia utamanya adalah karakter rajin, disiplin, ulet, dan pantang menyerah yang dimiliki mayoritas rakyat Jepang sejak zaman kuno. Hal ini kemudian diperkuat lagi oleh filosofi bushido yang mengajarkan nilai kehormatan, kesetiaan, keberanian, dan menepati janji di tengah kesulitan apapun.
Maka ketika berhadapan dengan berbagai bencana alam seperti gempa dan tsunami, atau akibat ulah manusia seperti perang, rakyat Jepang tidak akan mengeluh dan menyerah begitu saja. Mereka akan bergotong royong bangkit kembali dengan gigih merintis segala sesuatunya dari awal. Pepatah lama menyebutkan bahwa "rakyat yang berpikir jauh ke depan akan menjadi unggul".
Itulah Jepang. Dari reruntuhan kedua kota yang nyaris punah oleh bom atom, tumbuh keinginan besar mewujudkan kejayaan bangsa yang lebih indah di masa mendatang. Dari situlah lahir beragam inovasi teknologi canggih yang hingga kini masih susah ditandingi negara manapun, termasuk oleh Amerika Serikat sendiri.
Dalam konteks Indonesia, sejarah mencatat beberapa bencana besar pernah terjadi seperti letusan Gunung Krakatau tahun 1883 yang terdengar hingga 4.800 kilometer jauhnya, atau tsunami Aceh 2004 dan gempa Yogyakarta 2006 yang menelan korban jiwa hingga ribuan orang.
Namun bangsa ini selalu bangkit kembali dari keterpurukan demi meneruskan roda kehidupan. Gigih dan pantang menyerah mungkin sudah menjadi darah daging karakter mayoritas rakyat Indonesia dalam menghadapi kesulitan yang datang silih berganti. Kemampuan adaptasi tinggi dan rasa syukur akan ke berlimpahan alam juga sering ditemui dalam keseharian masyarakat desa dan pedalaman.
Hal ini tentu sebuah modal bagi Indonesia untuk mewujudkan masa depan gemilang di 2045 nanti. Yang kini diperlukan adalah menata ulang strategi pembangunan nasional untuk tidak selalu berorientasi jangka pendek, melainkan berwawasan ke depan dengan mengedepankan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Sebab, pikiran yang besar akan selalu melahirkan karya-karya monumental yang fenomenal.
Revolusi Teknologi Menuju Indonesia Emas 2045 Salah satu kata kunci agar bangsa ini tidak ketinggalan kereta peradaban global adalah melakukan revolusi teknologi. Negara-negara maju seperti Singapura, Korea, dan Cina saat ini fokus pada pemanfaatan inovasi teknologi digital untuk transformasi ekonomi nasional mereka yang dinilai telah mencapai jenuh, yakni persaingan antar industri konvensional saja. Maka dengan digitalisasi yang mengoptimalkan online system dan platform virtual, sektor usaha baru bermunculan tanpa mengenal batas ruang dan waktu.
Di Singapura sendiri telah hadir talenta digital muda berprestasi dalam membangun startup teknologi canggih yang bernilai miliaran dolar Amerika, kendati secara geografis negara tetangga ini sangat kecil. Sementara Cina, kini menjadi raksasa teknologi dan ekonomi digital terdepan di dunia melalui inovasi dari perusahaan lokal sekelas Alibaba, Tencent, Huawei, dan Bytedance.
Lantas apa yang sedang dilakukan Indonesia untuk menyongsong bonus demografi guna bersaing di era teknologi disruptif ini? Pertanyaan tersebut sejatinya tak lepas dari fenomena lain yang perlu disimak. Di kawasan regional ASEAN, mayoritas tenaga profesional dan talenta terbaik justru banyak berasal dari Indonesia. Mereka membangun kesuksesan startup rintisan di luar negeri seperti Grab dan Gojek di Singapura, serta Traveloka dan Tokopedia yang sukses besar merambah pasar regional.
Ironisnya inovasi dan adopsi teknologi digital di dalam negeri tergolong masih rendah dan belum menjadi prioritas utama kebijakan pemerintah. Meski demikian, ekosistem industri digital lokal diprediksi bakal menyumbang GDP sebesar US$ 150 miliar per tahun pada 2025 nanti. Angka ini tentu menjanjikan dan Peluang bonus demografi tidak boleh dilewatkan untuk merevolusi cara kerja dan pola pikir bangsa melalui teknologi.
Revolusi Industri 4.0 saat ini tengah berlangsung gesit di dunia. Teknologi canggih seperti blockchain, big data, quantum computing, hingga kecerdasan buatan (AI) berkembang kian pesat untuk digitalisasi semua sendi kehidupan. Maka dari itu, kesiapan SDM melalui pendidikan komputasi dan literasi data mutlak diperlukan sedini mungkin. Jika pribumi Indonesia gagal menguasai teknologi masa depan ini, maka digital colony akan terjadi di mana bangsa kita hanya menjadi konsumen produk cerdas korporasi asing.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) pernah menargetkan akan ada sekitar 124 juta talenta digital Indonesia pada 2030 yang siap bersaing global. Angka ini sekitar 45% dari total populasi generasi milenial dan Gen Z berusia produktif saat itu. Target ini cukup ideal, namun eksekusi pencapaiannya yang menjadi kendala nyata.
Karena itu, program-program pemerintah seperti Kartu Prakerja perlu terus disempurnakan dan diperluas cakupannya untuk memberikan pelatihan digital dan komputasi gratis bagi putra putri bangsa dari berbagai latar pendidikan. Platform e-learning dengan konten pembelajaran modern dan terstruktur pun perlu dikembangkan agar bisa diakses semua lapisan masyarakat dari desa hingga perkotaan.
Skema link and match antara dunia pendidikan dan industri digital juga penting untuk mencetak talenta-talenta handal sejak dini yang bisa membawa nama harum Indonesia di kancah global. Sebab persaingan di abad 21 tidak lagi soal negara dengan penduduk paling banyak atau kekayaan alam melimpah. Melainkan tentang siapa yang unggul dalam menguasai dan menciptakan teknologi terdepan untuk kemaslahatan umat manusia.
Bagi Indonesia, inilah jendela peluang sejarah yang tak boleh disia-siakan. Momentum bonus demografi diprediksi akan berlangsung hingga 2030 hingga 2040an di mana rasio populasi usia produktif akan sangat besar dibanding usia nonproduktif. Namun jika saat itu kualitas SDM bangsa masih belum baik dan tertinggal akibat gagal berevolusi mindset dan kemampuannya, maka segala potensi cerah masa depan hanya akan menguap percuma.
Masa depan suatu bangsa pada hakikatnya akan diisi dan dibangun oleh generasinya di masa kini. Oleh sebab itu, jika pendidikan dan keterampilan anak bangsa saat ini masih memprihatinkan, sudah bisa dipastikan Indonesia 2045 hanyalah mimpi di siang bolong semata. Belajar dari kekeliruan Orde Baru di masa lalu, kini saatnya berpikir ulang tentang visi pembangunan nasional. Bukan lagi sebatas wacana kemakmuran dalam slogan muluk-muluk nan menggiurkan yang sering disebut para elit politik.
Tetapi lebih pada upaya strategis mempersiapkan fondasi dasar kultural, intelektual, dan teknis bagi generasi emas Indonesia yang akan datang. Tanpa hal tersebut, semua impian manis tahun 2045 hanya akan menjadi bunga tidur semu belaka.
Pengalaman pahit 1998 ketika krismon melanda juga patut menjadi pelajaran berharga. Karena meski ekonomi anjlok dan kerusuhan sosial politik merebak di mana-mana, namun Indonesia masih bisa bangkit dalam waktu singkat. Ini membuktikan ketahanan dan potensi bangsa ini begitu besar jika mampu bersatu padu mengatasi kesulitan apapun, persis seperti karakter masyarakat Jepang pasca Perang Dunia 2.
Maka ke depannya, seluruh komponen bangsa harus bahu membahu tanpa pandang bulu. Pemerintah, swasta, akademisi, budayawan, dan seluruh elemen masyarakat wajib berkolaborasi secara masif demi mempercepat terwujudnya mimpi Indonesia emas 2045. Apalagi didukung momentum bonus demografi serta keunggulan geostrategis sebagai poros maritim dunia. Peluang ini tidak datang dua kali.
Kesimpulan dan Harapan Itulah analisis menyeluruh terkait Prasangka Keliru Mengenai Bonus Demografi dan Sumber Daya Alam Melimpah untuk Kesejahteraan 2045. Terbukti bahwa kepercayaan bahwa dua faktor tersebut bisa mengangkat Indonesia menjadi negara maju adalah sangat keliru dan tidak didukung bukti sejarah.
Kunci utama justru terletak pada enam hal penting yaitu industrialisasi, peningkatan kualitas SDM, perbaikan sistem birokrasi, penegakan hukum dan pemberantasan korupsi total, revitalisasi sektor pertanian dan optimalisasi potensi kelautan, serta transformasi mental dan budaya.
Ditambah satu faktor tambahan yakni melakukan revolusi teknologi dan peningkatan literasi digital guna menyongsong era disrupsi industri 4.0 agar Indonesia tak tertinggal. Karena hanya bangsa yang berpikir dan bervisi jauh ke depan-lah yang akan tetap eksis dan menjadi pemenang peradaban di masa mendatang.
Dengan kesadaran visioner tersebut, diharapkan mimpi Indonesia Emas 2045 bukan sekadar isapan jempol belaka. Momentum bonus demografi dan keunggulan geostrategis harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk mempercepat pembangunan. Sementara seluruh komponen bangsa perlu bersatu padu dan bahu membahu tanpa henti demi mewujudkan cita-cita nasional.
Bangsa besar dengan materi dan spirit yang besar pula akan lahir seiring perjalanan sejarah. Hanya dengan demikian tekad bulat mewujudkan NKRI harga mati dapat terus terjaga hingga nanti. Merdeka!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H