Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kutukan Pengetahuan, Ketika Terlalu Tahu Malah Membebani

4 Januari 2025   07:00 Diperbarui: 3 Januari 2025   16:34 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pakar dan profesional sering kali adalah pengajar yang buruk | Ilustrasi oleh 1tamara2 via Pixabay

Konon, Albert Einstein pernah berkata, "Jika Anda tidak bisa menjelaskannya kepada anak berumur enam tahun, Anda sendiri tidak memahaminya." Andaikan visi ini benar, mungkin Einstein adalah tipe pengajar ideal yang mampu menyulap kuliah fisika menjadi sesederhana dan semenarik dongeng si kancil. Lagi pula, apa yang lebih baik daripada belajar fisika dari Einstein?

Anehnya, selain dikenal sebagai murid pembangkang, Einstein juga dikenal sebagai pengajar yang buruk. Kelas-kelasnya sepi peminat, bahkan suatu kali terpaksa dibatalkan karena hanya satu mahasiswa yang mendaftar. Ketika dia mengejar posisi di Institut Teknologi Federal Swiss di Zurich, presidennya khawatir terhadap kemampuan mengajar Einstein yang dinilai kurang baik.

Seorang temannya, yang membantu Einstein mendapatkan pekerjaan tersebut melalui surat rekomendasi, mengakui bahwa "dia bukan pembicara yang baik". Penulis biografinya, Walter Isaacson, mencatat, "Einstein tidak pernah menjadi pengajar yang menginspirasi, dan kuliahnya sering dianggap tidak terorganisir."

Einstein hanyalah satu di antara banyak contoh yang menunjukkan bahwa, ironisnya, mereka yang terbaik dalam melakukan sesuatu sering kali menjadi pengajar yang sangat buruk. Bukan karena mereka tidak peduli pada pengajaran, apalagi tidak menguasai apa yang mereka ajarkan. (Siapa yang berani berkata begitu tentang Einstein?)

Justru, mereka "terlalu" menguasainya sampai-sampai kesulitan untuk menjelaskannya kepada orang lain. Para psikolog menyebut fenomena seperti itu sebagai "Kutukan Pengetahuan" (The Curse of Knowledge). Bias kognitif ini menjelaskan mengapa Einstein bukanlah pengajar yang tepat jika Anda ingin mengambil kelas fisika dasar.

Sebagaimana dicatat oleh psikolog Sian Beilock, "Semakin baik Anda dalam melakukan sesuatu, kemampuan Anda untuk mengomunikasikan pemahaman Anda atau membantu orang lain mempelajari keterampilan tersebut sering kali semakin memburuk." Seolah ada "kutukan" tertentu yang menimpa orang-orang yang tahu terlalu banyak.

Pengetuk dan pendengar

Pada tahun 1990, Elizabeth Newton, yang saat itu masih menjadi mahasiswa pascasarjana di Universitas Stanford, mengadakan sebuah eksperimen psikologi berupa permainan sederhana yang melibatkan dua peran, yaitu "pengetuk" dan "pendengar". Tugas pengetuk adalah mengetuk nada dari lagu-lagu populer (seperti lagu "Selamat Ulang Tahun") di atas meja, sementara tugas pendengar adalah menebak lagu tersebut.

Ketika para pengetuk diminta untuk memperkirakan berapa banyak lagu yang akan berhasil ditebak, prediksi mereka selalu berlebihan. Mereka rata-rata berasumsi bahwa pendengar mereka akan mengenali sekitar 50% dari lagu yang dimainkan. Namun kenyataannya, rasio keberhasilan para pendengar hanya 2,5%. Para pengetuk mengira akan menyampaikan pesan mereka satu dari dua kali, padahal faktanya mereka hanya berhasil satu dari 40 kali.

Mengapa hal itu bisa terjadi?

Para pengetuk sudah mengetahui lagu yang mereka mainkan. Ketika mereka mengetuk meja, lagu tersebut berputar di dalam kepala mereka dan membuat ketukan itu terdengar sangat jelas dan jernih bagi diri mereka sendiri. Tidak aneh jika mereka mengasumsikan bahwa pendengar mereka akan dengan mudah mengenali lagu yang mereka mainkan.

Baca juga: Melankolis

Masalahnya, mereka lupa bahwa para pendengar tidak bisa mendengar nada yang sama dengan yang mereka dengar. Tidak ada bunyi instrumen di dalam kepala para pendengar, hanya suara teredam dari ketukan jari di atas meja, mungkin lebih mirip sandi Morse yang aneh dibandingkan sebuah irama lagu.

Itulah Kutukan Pengetahuan.

Begitu Anda mengetahui sesuatu, Anda sulit membayangkan bagaimana rasanya ketika Anda tidak mengetahuinya. Semakin Anda akrab terhadap pengetahuan tertentu, mungkin karena telah menguasainya begitu lama sehingga mengalir begitu saja saat berbicara, semakin Anda kesulitan untuk membagikannya kepada orang lain. Pengetahuan seolah telah "mengutuk" Anda.

Kutukan Pengetahuan bukanlah fenomena yang terisolasi di dunia pendidikan. 

Suatu kali, seorang kurir menanyakan sebuah alamat rumah kepada saya. Sebagai penduduk lokal sejak lahir, saya mengenal betul alamat tersebut dan berkata, "Oh, Mas jalan lurus aja ke depan, nanti ada bengkel las listrik. Di situ masuk ke gang kecil. Lurus sampai ada pertigaan, ambil jalan kiri. Jalan sampai ada gang kecil lagi di sebelah kanan. Alamat ini ada di rumah keempat sebelah kiri."

Saya menjelaskan itu sambil membayangkan saya sedang berjalan kaki menuju alamat tersebut. Saya pikir arahan itu sudah sangat jelas. Namun, melihat raut muka kurir tersebut, saya sangat yakin bahwa dia hanya mengerti di bagian "bengkel las listrik". Saya coba menjelaskannya sekali lagi, lalu sekali lagi. Akhirnya, sadar bahwa saya hanya memperumit masalah, saya dengan senang hati mengantarnya langsung ke alamat tersebut.

Bagi saya, seorang penduduk lokal yang telah hafal rute-rute yang ada, arahan tersebut sejelas peta GPS. Namun bagi kurir tersebut, arahan saya lebih seperti benang kusut. Apa yang saya pikirkan saat itu adalah bagaimana cara membuat penjelasan yang lebih baik. Sebaliknya, saya yakin kurir tersebut berpikir, "Ya Tuhan, mengapa Anda tak antar saya sebentar saja?"

Pada kesempatan lain, saya menjadi korban. Beberapa bulan lalu, saya membeli meja rakit dari toko online dan kemudian mendapati instruksinya ditulis dalam bahasa yang sulit dimengerti. Di situ penuh istilah-istilah teknis, misalnya "gunakan kunci Allen untuk mengencangkan baut M6". Saya tahu kunci L, tetapi saya tidak tahu kalau istilah lainnya adalah kunci Allen!

Karena frustrasi, akhirnya saya meminta bantuan seseorang yang lebih ahli dalam hal mekanik: ayah saya. Dia melihat sekilas instruksinya dan berkutat selama beberapa menit dengan benda-benda itu, lalu memasangkannya dengan tepat kurang dari setengah jam! Penasaran, saya melihat lagi lembar instruksinya dan menyadari bahwa petunjuk tersebut sebenarnya masuk akal, tetapi hanya setelah saya tahu cara melakukannya.

Cara mengatasi kutukan pengetahuan

Tidak ada keraguan bahwa beberapa ahli sengaja menggunakan bahasa yang sulit dimengerti. Dengan menyematkan banyak terminologi khusus, misalnya, mereka dapat memberi sinyal kepada audiens bahwa mereka memiliki pengetahuan tingkat lanjut dan otoritas dalam bidang mereka. Seorang dokter yang menjelaskan diagnosis dengan istilah medis atau pengacara yang mengutip banyak undang-undang mungkin melakukannya untuk menegaskan keahlian mereka.

Bagi mereka, tidak semua, membicarakan subjek mereka dengan bahasa yang sederhana bisa terasa seperti "membodohi diri sendiri". Sebagai seorang pakar/ahli, mereka tidak ingin dituduh menyebarkan informasi "recehan" yang mudah dipahami orang awam sekalipun. Mereka takut bahwa penyederhanaan dapat berubah menjadi pereduksian, penyederhanaan yang berlebihan.

Namun, orang yang mengalami Kutukan Pengetahuan tidak seperti itu. Mereka tidak bermaksud untuk membingungkan orang lain. Sebaliknya, karena keakraban terhadap pengetahuan tertentu, otak mereka sudah terprogram untuk beroperasi pada tingkat mahir dan membuat mereka tidak menyadari bahwa audiensnya tidak tahu apa yang mereka ketahui.

Mereka langsung masuk ke dalam penjelasan rumit dengan mengabaikan detail yang tampak sepele bagi mereka, padahal sangat penting bagi pemula yang membutuhkan lebih banyak konteks dan perincian. Mereka lupa bahwa audiens mereka belum memahami istilah-istilah teknis yang baginya sangat basic, tidak dapat menebak sesuatu yang hilang, dan tidak punya cara memvisualisasikan data yang baginya sejelas matahari di siang yang cerah.

Berkat sifatnya yang lebih naluriah daripada niat jahat itulah Kutukan Pengetahuan sangat sulit dihilangkan. Nasihat tradisional, yang meminta Anda untuk selalu berempati kepada audiens, tidak seefektif yang Anda kira. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bias kognitif ini tidak hilang hanya dengan menyuruh orang untuk mengingat audiensnya atau mengingat bagaimana rasanya mempelajari sesuatu.

Bahkan insentif uang juga tidak cukup.

Pada tahun 1989, ekonom Colin Camerer, George Loewenstein, dan Martin Weber melakukan penelitian untuk menguji apakah pelaku ekonomi yang memiliki informasi lebih banyak akan diuntungkan dalam proses tawar-menawar. Mereka menemukan bahwa orang ternyata tidak selihai yang diduga dalam tawar-menawar, secara teori, ketika mereka memiliki kelebihan informasi dibandingkan lawan bicara mereka.

Misalnya, seorang pedagang mobil bekas seharusnya memberi harga "mobil rongsokan" sama dengan "mobil mulus" dari merek dan model yang sama, karena pelanggan tidak tahu cara membedakannya. (Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa setiap orang adalah pemaksimal keuntungan tanpa pertimbangan moral.) Namun, pedagang tidak memanfaatkan peluang tersebut dan memberi harga aset seolah pelanggan mereka tahu sebanyak yang mereka ketahui.

Guna menggambarkan temuan itu, Camerer dan koleganya mencetuskan istilah "Kutukan Pengetahuan". Mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan uang sungguhan yang bisa diperoleh, orang kesulitan memprediksi penilaian orang yang tidak memiliki informasi sebanyak yang mereka punya. Alih-alih berfungsi sebagai keuntungan, keunggulan atas pengetahuan tertentu justru beroperasi sebagai kutukan.

Bagaimanapun, sulit dihilangkan bukan berarti mustahil untuk dihindari.

Salah satu caranya adalah dengan menyederhanakan bahasa Anda. Ini tidak berarti menurunkan kualitas informasi, tetapi lebih pada menghindari jargon, singkatan, dan kosakata teknis (kecuali Anda yakin orang lain akan memahaminya). Juga, pilih sebisa mungkin bahasa yang konkret dan bukannya abstraksi. Alih-alih berkata, "Aduk hingga adonan mencapai konsistensi yang lezat," lebih baik katakan saja berapa menit untuk mengaduknya. Tunjukkan gambar.

Pesan intinya adalah kesederhanaan bukan berarti mengorbankan kualitas informasi. Anda harus menemukan semacam "bahasa universal" yang dapat diucapkan dan dipahami oleh semua orang dengan lancar. Perhatikan bagaimana Brian Greene menjelaskan teori big-bang, sebuah teori yang pada dasarnya sangat kompleks secara matematis, dalam Newsweek:

"Jika ruang angkasa saat ini mengembang, maka di masa lampau alam semesta pasti lebih kecil. Pada suatu saat di masa lampau, segala sesuatu yang sekarang kita lihat---bahan-bahan yang bertanggung jawab atas setiap planet, setiap bintang, setiap galaksi, bahkan ruang angkasa itu sendiri---pasti telah dimampatkan menjadi setitik kecil yang kemudian mengembang ke luar, berevolusi menjadi alam semesta yang kita kenal sekarang. Teori big-bang pun lahir."

Greene tidak mengungkit-ungkit fakta bahwa temuan itu bergantung pada matematika yang rumit. Sebaliknya, dia menunjukkan kepada kita dengan logika sederhana apa yang diungkapkan oleh matematika. Alih-alih mendefinisikannya dengan istilah-istilah fisika dan astronomi, dia menjelaskan sejarah alam semesta selayaknya kita menonton film yang berjalan mundur.

Cara lainnya untuk menghindari (atau setidaknya mengurangi) Kutukan Pengetahuan adalah dengan meminta umpan balik dari orang lain. Tunjukkan draf atau naskah kepada orang yang mirip dengan target audiens Anda dan cari tahu apakah mereka dapat memahaminya. Inilah mengapa para penulis profesional memiliki editor.

Jika Anda tidak memiliki rekan sejawat untuk diminta umpan balik, Anda dapat menunjukkan draf kepada diri Anda sendiri, idealnya setelah cukup waktu berlalu sehingga draf tersebut tidak lagi familier. Ketika selesai menulis artikel ini, saya membiarkannya selama seminggu penuh. Saat saya membacanya lagi untuk dipublikasi, saya mendapati diri saya berpikir, "Apa yang saya maksudkan dengan itu? Siapa yang menulis omong kosong ini?"

Keharusan untuk mengatasi Kutukan Pengetahuan bukan hanya tentang menjadi pakar atau ahli yang lebih cakap, tetapi juga tentang menjadi manusia yang lebih baik. Dengan selalu mencoba menghindari pola pikir yang sempit dan mencari tahu bagaimana orang lain berpikir dan merasa, Anda belajar untuk menemui orang lain di tempat mereka berada, membangun kepercayaan, dan menciptakan peluang untuk pertumbuhan bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun