Namun, orang yang mengalami Kutukan Pengetahuan tidak seperti itu. Mereka tidak bermaksud untuk membingungkan orang lain. Sebaliknya, karena keakraban terhadap pengetahuan tertentu, otak mereka sudah terprogram untuk beroperasi pada tingkat mahir dan membuat mereka tidak menyadari bahwa audiensnya tidak tahu apa yang mereka ketahui.
Mereka langsung masuk ke dalam penjelasan rumit dengan mengabaikan detail yang tampak sepele bagi mereka, padahal sangat penting bagi pemula yang membutuhkan lebih banyak konteks dan perincian. Mereka lupa bahwa audiens mereka belum memahami istilah-istilah teknis yang baginya sangat basic, tidak dapat menebak sesuatu yang hilang, dan tidak punya cara memvisualisasikan data yang baginya sejelas matahari di siang yang cerah.
Berkat sifatnya yang lebih naluriah daripada niat jahat itulah Kutukan Pengetahuan sangat sulit dihilangkan. Nasihat tradisional, yang meminta Anda untuk selalu berempati kepada audiens, tidak seefektif yang Anda kira. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bias kognitif ini tidak hilang hanya dengan menyuruh orang untuk mengingat audiensnya atau mengingat bagaimana rasanya mempelajari sesuatu.
Bahkan insentif uang juga tidak cukup.
Pada tahun 1989, ekonom Colin Camerer, George Loewenstein, dan Martin Weber melakukan penelitian untuk menguji apakah pelaku ekonomi yang memiliki informasi lebih banyak akan diuntungkan dalam proses tawar-menawar. Mereka menemukan bahwa orang ternyata tidak selihai yang diduga dalam tawar-menawar, secara teori, ketika mereka memiliki kelebihan informasi dibandingkan lawan bicara mereka.
Misalnya, seorang pedagang mobil bekas seharusnya memberi harga "mobil rongsokan" sama dengan "mobil mulus" dari merek dan model yang sama, karena pelanggan tidak tahu cara membedakannya. (Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa setiap orang adalah pemaksimal keuntungan tanpa pertimbangan moral.) Namun, pedagang tidak memanfaatkan peluang tersebut dan memberi harga aset seolah pelanggan mereka tahu sebanyak yang mereka ketahui.
Guna menggambarkan temuan itu, Camerer dan koleganya mencetuskan istilah "Kutukan Pengetahuan". Mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan uang sungguhan yang bisa diperoleh, orang kesulitan memprediksi penilaian orang yang tidak memiliki informasi sebanyak yang mereka punya. Alih-alih berfungsi sebagai keuntungan, keunggulan atas pengetahuan tertentu justru beroperasi sebagai kutukan.
Bagaimanapun, sulit dihilangkan bukan berarti mustahil untuk dihindari.
Salah satu caranya adalah dengan menyederhanakan bahasa Anda. Ini tidak berarti menurunkan kualitas informasi, tetapi lebih pada menghindari jargon, singkatan, dan kosakata teknis (kecuali Anda yakin orang lain akan memahaminya). Juga, pilih sebisa mungkin bahasa yang konkret dan bukannya abstraksi. Alih-alih berkata, "Aduk hingga adonan mencapai konsistensi yang lezat," lebih baik katakan saja berapa menit untuk mengaduknya. Tunjukkan gambar.
Pesan intinya adalah kesederhanaan bukan berarti mengorbankan kualitas informasi. Anda harus menemukan semacam "bahasa universal" yang dapat diucapkan dan dipahami oleh semua orang dengan lancar. Perhatikan bagaimana Brian Greene menjelaskan teori big-bang, sebuah teori yang pada dasarnya sangat kompleks secara matematis, dalam Newsweek:
"Jika ruang angkasa saat ini mengembang, maka di masa lampau alam semesta pasti lebih kecil. Pada suatu saat di masa lampau, segala sesuatu yang sekarang kita lihat---bahan-bahan yang bertanggung jawab atas setiap planet, setiap bintang, setiap galaksi, bahkan ruang angkasa itu sendiri---pasti telah dimampatkan menjadi setitik kecil yang kemudian mengembang ke luar, berevolusi menjadi alam semesta yang kita kenal sekarang. Teori big-bang pun lahir."