Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kutukan Pengetahuan, Ketika Terlalu Tahu Malah Membebani

4 Januari 2025   07:00 Diperbarui: 3 Januari 2025   16:34 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pakar dan profesional sering kali adalah pengajar yang buruk | Ilustrasi oleh 1tamara2 via Pixabay

Masalahnya, mereka lupa bahwa para pendengar tidak bisa mendengar nada yang sama dengan yang mereka dengar. Tidak ada bunyi instrumen di dalam kepala para pendengar, hanya suara teredam dari ketukan jari di atas meja, mungkin lebih mirip sandi Morse yang aneh dibandingkan sebuah irama lagu.

Itulah Kutukan Pengetahuan.

Begitu Anda mengetahui sesuatu, Anda sulit membayangkan bagaimana rasanya ketika Anda tidak mengetahuinya. Semakin Anda akrab terhadap pengetahuan tertentu, mungkin karena telah menguasainya begitu lama sehingga mengalir begitu saja saat berbicara, semakin Anda kesulitan untuk membagikannya kepada orang lain. Pengetahuan seolah telah "mengutuk" Anda.

Kutukan Pengetahuan bukanlah fenomena yang terisolasi di dunia pendidikan. 

Suatu kali, seorang kurir menanyakan sebuah alamat rumah kepada saya. Sebagai penduduk lokal sejak lahir, saya mengenal betul alamat tersebut dan berkata, "Oh, Mas jalan lurus aja ke depan, nanti ada bengkel las listrik. Di situ masuk ke gang kecil. Lurus sampai ada pertigaan, ambil jalan kiri. Jalan sampai ada gang kecil lagi di sebelah kanan. Alamat ini ada di rumah keempat sebelah kiri."

Saya menjelaskan itu sambil membayangkan saya sedang berjalan kaki menuju alamat tersebut. Saya pikir arahan itu sudah sangat jelas. Namun, melihat raut muka kurir tersebut, saya sangat yakin bahwa dia hanya mengerti di bagian "bengkel las listrik". Saya coba menjelaskannya sekali lagi, lalu sekali lagi. Akhirnya, sadar bahwa saya hanya memperumit masalah, saya dengan senang hati mengantarnya langsung ke alamat tersebut.

Bagi saya, seorang penduduk lokal yang telah hafal rute-rute yang ada, arahan tersebut sejelas peta GPS. Namun bagi kurir tersebut, arahan saya lebih seperti benang kusut. Apa yang saya pikirkan saat itu adalah bagaimana cara membuat penjelasan yang lebih baik. Sebaliknya, saya yakin kurir tersebut berpikir, "Ya Tuhan, mengapa Anda tak antar saya sebentar saja?"

Pada kesempatan lain, saya menjadi korban. Beberapa bulan lalu, saya membeli meja rakit dari toko online dan kemudian mendapati instruksinya ditulis dalam bahasa yang sulit dimengerti. Di situ penuh istilah-istilah teknis, misalnya "gunakan kunci Allen untuk mengencangkan baut M6". Saya tahu kunci L, tetapi saya tidak tahu kalau istilah lainnya adalah kunci Allen!

Karena frustrasi, akhirnya saya meminta bantuan seseorang yang lebih ahli dalam hal mekanik: ayah saya. Dia melihat sekilas instruksinya dan berkutat selama beberapa menit dengan benda-benda itu, lalu memasangkannya dengan tepat kurang dari setengah jam! Penasaran, saya melihat lagi lembar instruksinya dan menyadari bahwa petunjuk tersebut sebenarnya masuk akal, tetapi hanya setelah saya tahu cara melakukannya.

Cara mengatasi kutukan pengetahuan

Tidak ada keraguan bahwa beberapa ahli sengaja menggunakan bahasa yang sulit dimengerti. Dengan menyematkan banyak terminologi khusus, misalnya, mereka dapat memberi sinyal kepada audiens bahwa mereka memiliki pengetahuan tingkat lanjut dan otoritas dalam bidang mereka. Seorang dokter yang menjelaskan diagnosis dengan istilah medis atau pengacara yang mengutip banyak undang-undang mungkin melakukannya untuk menegaskan keahlian mereka.

Bagi mereka, tidak semua, membicarakan subjek mereka dengan bahasa yang sederhana bisa terasa seperti "membodohi diri sendiri". Sebagai seorang pakar/ahli, mereka tidak ingin dituduh menyebarkan informasi "recehan" yang mudah dipahami orang awam sekalipun. Mereka takut bahwa penyederhanaan dapat berubah menjadi pereduksian, penyederhanaan yang berlebihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun