Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Debat Politik (Sering Kali) hanya Buang-buang Waktu

22 Januari 2024   18:04 Diperbarui: 22 Januari 2024   18:10 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perdebatan politik sering kali berakhir sia-sia dan, dengan demikian, hanya membuang-buang waktu saja | Ilustrasi oleh Gerd Altmann via Pixabay

Misalnya, sebagai pendukung paslon A, seorang teman dengan senang hati menganggukkan kepala ketika ditanya apakah capres B memimpin kekerasan pasca Pemilu 2019. Pertanyaan ini hanya karangan, tapi dia membenarkannya karena itu merusak citra paslon B.

Keyakinan politik (yang dimotivasi oleh identitas), dengan demikian, tak hanya membentuk perilaku kita, tapi juga mengobrak-abrik memori dan persepsi kita tentang realitas objektif. Ini menghambat orang untuk menyadari bahwa mereka salah, apalagi mengubah posisinya.

Lihatlah politik kita sekarang.

Kita memiliki kultus "El Chef atau El Gemoy atau El Chudai" di mana-mana, para dewa kecil yang, di antara para penyembahnya, tak bisa berbuat salah. Mereka, dalam beberapa kasus, memainkan peran yang mirip dengan agama.

Tentu, keributan saat ini juga banyak didorong oleh para buzzer dan orang-orang serupa yang dibayar untuk menyuarakan paslon tertentu. Mereka tak fanatik, jika mereka berhenti dibayar. Tapi, saya sendiri mengenal beberapa orang yang fanatik.

Mereka bersorak-sorai dan menjelek-jelekkan, hanya untuk mengekspresikan di pihak mana mereka berada, seperti halnya dalam pertandingan olahraga. Orang-orang ini berani pasang badan, jika harus, demi membela harga diri paslon yang didukungnya.

Saya percaya bahwa itu semua sangat berkaitan dengan identitas.

Lepaskan label apa pun, atau alihkan

Hal yang paling menarik dari teori itu, jika benar, adalah teori itu bukan hanya menjelaskan jenis diskusi yang sebaiknya kita hindari, tapi juga bagaimana cara memperoleh ide dengan lebih baik: tak melibatkan identitas (atau label) salah satu peserta diskusi.

Jadi, untuk berpikir jernih dan memperoleh manfaat dari sebuah diskusi, rencana terbaiknya adalah membiarkan sesedikit mungkin hal yang masuk ke dalam identitas kita. Dalam pengertian ini, semakin banyak label yang kita miliki, semakin picik kita.

Ada langkah lebih jauh daripada sekadar mengatakan, "Saya adalah X, tapi mentolerir Y." Itu adalah tak menganggap diri kita sebagai X sama sekali. Satu label pun, jika itu relevan dengan diskusi, dapat menimbulkan bias tertentu.

Tapi, tidakkah itu terlalu sulit, eh?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun