Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Debat Politik (Sering Kali) hanya Buang-buang Waktu

22 Januari 2024   18:04 Diperbarui: 22 Januari 2024   18:10 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perdebatan politik sering kali berakhir sia-sia dan, dengan demikian, hanya membuang-buang waktu saja | Ilustrasi oleh Gerd Altmann via Pixabay

Politik merupakan subjek yang sangat rawan terhadap perdebatan (mungkin hanya agama dan moralitas yang menyaingi politik sebagai zona ketidaksepakatan). Saat ini, beberapa anggota keluarga bahkan tak berbicara satu sama lain karena berbeda pandangan politik.

Saya hampir jatuh ke dalam lubang kelinci itu ketika, di suatu makan malam, saya berdebat dengan ibu saya tentang siapa yang lebih baik pada debat capres ketiga. Ibu saya menilai salah satu paslon terlalu banyak menyerang personal, tapi saya menggelengkan kepala.

Brengseknya, saya menjawab kira-kira begini: "Itu bukan menyerang personal; debat politik memang harusnya gitu... Ibu terlalu banyak membuka Facebook, sarang buzzer. Bagaimana bisa Ibu mempercayai pendapat orang-orang di Facebook? Ya ampun!"

Kakak perempuan saya membela pendapat saya, kemudian ayah saya mulai bersuara untuk mendukung pendapat ibu saya. Ini bukan perdebatan antara anak dan orang tua, melainkan perseteruan antara pendukung paslon A dan paslon B.

Sayangnya, kami tak dibayar atas semua itu.

Terus terang, itu adalah malam yang mengerikan. Meja makan terasa dingin dan lidah saya tak mampu mengecap rasa makanan. Sambil berusaha mengganti topik pembicaraan, saya bersumpah dalam hati untuk tak membicarakan politik lagi di meja makan.

Kasus saya, walau hanya contoh kecil, sebenarnya memotret tabiat dari mayoritas perdebatan politik: mereka mungkin membahas isu-isu penting, tapi mereka tak ke mana-mana. Kebanyakan debat politik, harus saya katakan, hanya membuang-buang waktu.

Sebelum mencari tahu alasannya, mari kita identifikasi ciri-ciri utama perdebatan politik itu sendiri. Pertama, perdebatan politik sangat luas. Jika Anda menemui dua orang secara acak, kemungkinan besar mereka tak setuju dengan banyak isu politik.

Kedua, perdebatan politik itu kuat. Maksudnya, pihak-pihak yang berselisih pendapat sering kali begitu yakin dengan posisi mereka sendiri dan jarang tentatif (bertahan lama dan enggan mengubah posisinya, bahkan jika terbukti salah).

Ketiga, perdebatan politik kerap berjalan gigih dan sangat sulit menyelesaikannya. Beberapa jam argumentasi biasanya gagal untuk menghasilkan kesimpulan apa pun, bahkan beberapa di antaranya telah berlangsung selama ratusan tahun dan antar-generasi.

Hal itu seharusnya membuat kita merasa aneh. Sebagian besar subjek lain (misalnya, biologi, fisika, atau linguistik) tak mengalami perselisihan seperti itu. Bahkan jika subjek lain memiliki perdebatan sebanyak subjek politik, mereka lebih tentatif dan lebih mudah diselesaikan.

Lalu, mengapa politik menghasilkan diskusi yang panjang dan (acapkali) sangat tak berguna? Mengapa politik, sekecil apa pun masalahnya, selalu ramai dibicarakan dan memicu obrolan hangat di mana-mana? Mengapa hal ini tak terjadi pada topik lain, misalnya aljabar?

Bagaikan agama

Perdebatan politik, dalam banyak hal, sebenarnya mirip dengan perdebatan tentang agama (dan moralitas, meskipun subjek ini kerap dimasukkan ke dalam agama). Saya tahu sebagian orang tak akan menyukai perbandingan saya, tapi perhatikanlah kemiripannya.

Pertama, seperti politik, perdebatan agama juga sangat luas. Mayoritas orang, bahkan ateis sekalipun, biasanya tertarik dengan adu argumentasi tentang agama. Topik ini juga menjadi headline di mana-mana, tak terbatas oleh waktu dan tempat.

Kedua, perdebatan agama juga kuat, sebab orang merasa tak perlu memiliki keahlian khusus untuk berpendapat tentang agama. Apa yang mereka butuhkan, meskipun asumsi ini sangat menggelikan, hanyalah keimanan dan keyakinan yang dipegang teguh.

Siapa pun, termasuk ateis, dapat memiliki hal tersebut.

Ketiga, perdebatan agama pun berjalan gigih dan awet. Beberapa tema yang diperdebatkan sudah berumur ratusan atau ribuan tahun, dan kadang-kadang itu berakhir dengan lahirnya sekte (bahkan agama) baru.

Dalam kasus tertentu, batas antara keduanya sangat kabur, seperti perdebatan tentang perang salib dan invasi Israel ke Palestina. Perdebatan ini telah dijiwai oleh suatu semangat religius, di mana pertanyaan-pertanyaan politik diubah jadi pertanyaan metafisika.

Bagaimana kita dapat menjelaskan kemiripan tersebut?

Salah satu penjelasan mengatakan bahwa keduanya sama-sama berurusan dengan seabrek pertanyaan yang tak memiliki jawaban pasti, sehingga tak ada tekanan balik terhadap opini seseorang. Tanpa ada yang bisa dibuktikan salah, semua pendapat dianggap sama validnya.

Memang, sebagian pertanyaan politik tampak memiliki jawaban pasti, seperti berapa biaya yang harus dialokasikan untuk kebijakan pemerintah yang baru. Namun, pertanyaan seperti ini pun, karena tarik ulur kepentingan, kerap bernasib sama dengan pertanyaan ideologis.

Penjelasan ini, dengan demikian, lebih menekankan subjek politik itu sendiri yang dianggap sangat cair, tak sesederhana satu tambah satu sama dengan dua. Dalam politik, seperti yang ditulis George Orwell dalam novelnya "1984", dua tambah dua bisa jadi lima.

Jika penjelasan ini benar, bahwa perdebatan politik begitu kuat dan sulit diselesaikan karena berurusan dengan kumpulan pertanyaan yang tak memiliki jawaban pasti, maka seharusnya perdebatan politik dapat diselesaikan ketika berhadapan dengan pertanyaan fakta.

Namun, kenyataannya tidak begitu.

Ambil contoh perdebatan tentang efektivitas hukuman mati. Mereka yang menolak hukuman mati biasanya percaya bahwa itu tak mencegah kejahatan dan bahwa banyak orang yang tak bersalah telah dieksekusi.

Sementara itu, mereka yang mendukung hukuman mati cenderung berpendapat bahwa itu memiliki efek pencegahan dan sedikit orang yang tak bersalah dieksekusi. Bisa kita lihat, perdebatan ini lebih didasari pada penilaian moral.

Padahal, efektivitas hukuman mati adalah pertanyaan fakta.

Apakah hukuman mati mencegah kejahatan seharusnya ditentukan dengan memeriksa data statistik dan studi ilmiah tentang subjek tersebut, bukan dengan merujuk pada keyakinan kita tentang sifat keadilan (kecuali pertanyaannya tentang baik-tidaknya hukuman mati).

Contoh lainnya adalah tentang efek kapitalisme. Kaum sosialis menyalahkan kapitalisme atas kemiskinan Dunia Ketiga; sebaliknya, kaum kapitalis justru melihat kapitalisme sebagai solusi untuk kemiskinan Dunia Ketiga.

Sekali lagi, itu merupakan isu fakta, sesuatu yang tak bisa dipecahkan dengan merujuk pada keyakinan moral. Kalau begitu, dengan ketersediaan bukti statistik dan studi ilmiah yang ada, apakah kedua perdebatan tersebut selesai begitu saja? Belum dan tidak.

Dengan kata lain, kehadiran fakta semata tak lantas menyelesaikan perdebatan tersebut.

Maksud saya, jika masalahnya lebih terletak pada subjek politik itu sendiri yang terlalu cair dan tak punya jawaban pasti, tapi ternyata ada fakta pun tak serta-merta menyelesaikan perdebatan politik, maka penjelasan pertama ini mungkin tak sepenuhnya benar.

Debat politik, sebagian besar, adalah debat partisan

Saya pikir jawaban yang lebih meyakinkan adalah bahwa agama dan politik sama-sama menjadi bagian dari identitas seseorang, dan orang tak bisa berdebat dengan baik mengenai sesuatu yang merupakan bagian dari identitas mereka. 

Secara definisi, mereka adalah partisan.

Perhatikan, sebuah diskusi tentang perang dapat menjadi perdebatan politik jika perang itu melibatkan warga negara dari satu atau lebih negara, tapi percakapan tentang perang yang terjadi pada Zaman Perunggu mungkin tak akan seperti itu.

Tak akan ada yang tahu siapa yang berada di pihak mana.

Jadi, bukan politik yang menjadi sumber masalahnya, melainkan identitas. Ketika seseorang mengungkapkan bahwa sebuah diskusi telah merosot menjadi "perdebatan agama/politik", yang mereka maksudkan adalah bahwa diskusi itu mulai ditopang oleh identitas.

Semangat untuk melindungi identitas dapat menjadi represif, dan identitas itu sendiri sering berdampak pada apa yang kira rasakan, pikirkan, dan lakukan. Itu meresap ke dalam diri kita dan, sebagai hasilnya, kita cenderung terkena bias in-group.

Bias ini membuat kita lebih mengistimewakan anggota kelompok kita sendiri, bahkan dalam kasus tertentu rela mengorbankan diri demi menjaga marwah kelompoknya. Hal ini berkaitan juga dengan kecenderungan psikologis kita untuk merangkul "tribalisme".

Tribalisme bisa membuat kita mempercayai hal-hal yang gila, mengaburkan persepsi kita, seperti yang terlihat saat pertandingan sepak bola ketika apa yang tampak penalti bagi pendukung satu tim terkesan seperti bukan pelanggaran bagi pendukung tim lain.

Hal ini menjelaskan mengapa pertanyaan fakta, misalnya tentang efektivitas hukuman mati dan dampak kapitalisme terhadap kemiskinan Dunia Ketiga, tetap sulit diselesaikan dengan kehadiran bukti statistik dan studi ilmiah semata.

Perdebatan-perdebatan itu jarang dipengaruhi oleh fakta karena melibatkan identitas seseorang. Dalam perdebatan yang bersifat partisan seperti itu, fakta berguna hanya sejauh itu mendukung posisi yang diperjuangkan. Jika tidak, sembunyikan atau bantah!

Sebuah studi tahun lalu menunjukkan bahwa keberpihakan politik dapat berkontribusi pada pembentukan ingatan palsu. Dalam hal ini, anggota dari satu partai politik bisa "mengingat" sesuatu yang sebenarnya tak pernah ada, asal itu menguntungkan partainya.

Misalnya, sebagai pendukung paslon A, seorang teman dengan senang hati menganggukkan kepala ketika ditanya apakah capres B memimpin kekerasan pasca Pemilu 2019. Pertanyaan ini hanya karangan, tapi dia membenarkannya karena itu merusak citra paslon B.

Keyakinan politik (yang dimotivasi oleh identitas), dengan demikian, tak hanya membentuk perilaku kita, tapi juga mengobrak-abrik memori dan persepsi kita tentang realitas objektif. Ini menghambat orang untuk menyadari bahwa mereka salah, apalagi mengubah posisinya.

Lihatlah politik kita sekarang.

Kita memiliki kultus "El Chef atau El Gemoy atau El Chudai" di mana-mana, para dewa kecil yang, di antara para penyembahnya, tak bisa berbuat salah. Mereka, dalam beberapa kasus, memainkan peran yang mirip dengan agama.

Tentu, keributan saat ini juga banyak didorong oleh para buzzer dan orang-orang serupa yang dibayar untuk menyuarakan paslon tertentu. Mereka tak fanatik, jika mereka berhenti dibayar. Tapi, saya sendiri mengenal beberapa orang yang fanatik.

Mereka bersorak-sorai dan menjelek-jelekkan, hanya untuk mengekspresikan di pihak mana mereka berada, seperti halnya dalam pertandingan olahraga. Orang-orang ini berani pasang badan, jika harus, demi membela harga diri paslon yang didukungnya.

Saya percaya bahwa itu semua sangat berkaitan dengan identitas.

Lepaskan label apa pun, atau alihkan

Hal yang paling menarik dari teori itu, jika benar, adalah teori itu bukan hanya menjelaskan jenis diskusi yang sebaiknya kita hindari, tapi juga bagaimana cara memperoleh ide dengan lebih baik: tak melibatkan identitas (atau label) salah satu peserta diskusi.

Jadi, untuk berpikir jernih dan memperoleh manfaat dari sebuah diskusi, rencana terbaiknya adalah membiarkan sesedikit mungkin hal yang masuk ke dalam identitas kita. Dalam pengertian ini, semakin banyak label yang kita miliki, semakin picik kita.

Ada langkah lebih jauh daripada sekadar mengatakan, "Saya adalah X, tapi mentolerir Y." Itu adalah tak menganggap diri kita sebagai X sama sekali. Satu label pun, jika itu relevan dengan diskusi, dapat menimbulkan bias tertentu.

Tapi, tidakkah itu terlalu sulit, eh?

Intervensi lainnya yang berguna, menurut saya, adalah dengan menegaskan sumber-sumber identitas alternatif melalui praktik self-affirmation. Maksudnya, jika orang berfokus pada identitas di luar pemicu konflik, maka dialog yang sehat lebih dimungkinkan.

Dengan menonjolkan aneka sumber alternatif harga diri, orang memperluas identitas sesaat mereka untuk mencakup domain di luar ancaman yang memprovokasi. Ini membuat orang rela mengalah tanpa perlu mengorbankan harga diri mereka.

Saya belajar menerapkannya manakala sebuah diskusi mandek.

Pada malam itu, ketika makan malam keluarga berubah menjadi canggung, saya mengungkit beberapa kenangan manis kami selama libur akhir tahun. Secara tak langsung, saya berkata, "Hei, kita keluarga, kita peduli satu sama lain, kita punya banyak kesamaan nilai."

Tak lama, ibu saya mulai mengungkapkan berbagai kelemahan (termasuk gimik) paslon yang didukungnya, dan saya juga mulai menjelek-jelekkan paslon yang saya dukung. Suasana cair kembali dan kami menjadi lebih siap untuk saling mendengarkan (lagi).

Percakapan kami tak lagi berfokus pada perbedaan pilihan elektoral, tapi lebih kepada "kami sebagai satu keluarga yang saling peduli". Dalam konteks nasional, saya pikir kita juga perlu menggeser sugesti "kita versus mereka" dengan gagasan "kita rakyat".

Ketika orang terlibat dalam self-affirmation, mereka fokus pada nilai-nilai yang menjadi inti dan kekuatan mereka, yang akhirnya dapat mengarah pada kesediaan untuk terbuka terhadap perspektif yang berbeda.

Mungkin itu tetap melibatkan identitas kita, tapi dengan mengesampingkan identitas yang menjadi sumber konflik kita dan, sebagai gantinya, menegaskan dan menekankan identitas yang bisa menjadi pemersatu kita.

Saya percaya, andaikan kita menggali cukup dalam, kita akan menyadari bahwa kita memiliki lebih banyak kesamaan daripada yang kita pikirkan, serta mendapati (ya Tuhan) betapa picik dan konyolnya (sebagian besar) konflik kita selama ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun