Teori konspirasi berisi kisah-kisah menegangkan, bahkan banyak di antaranya yang mungkin layak dijadikan film blockbuster. Inilah salah satu alasan mengapa teori konspirasi senantiasa memikat banyak orang: otak kita menyukai cerita-cerita bombastis.
Sekarang apa jadinya jika warga negara yang demokratis, alih-alih dibekali kumpulan fakta yang membosankan, justru mengantongi teori-teori konspirasi ketika berdebat atau memilih dalam pemilu?
Sebelum menjawab apakah teori konspirasi memang berbahaya bagi demokrasi, saya ingin memeriksa dulu apakah teori konspirasi itu sendiri merupakan harga yang harus dibayar untuk publik yang kritis dan demokrasi yang sehat.
Agar demokrasi bisa berjalan, kita membutuhkan warga negara yang mempertanyakan dan menantang keputusan pemimpinnya, dan teori konspirasi melakukan peran ini sampai tingkat tertentu, bahkan jika teori konspirasi tersebut tak masuk akal.
Itu berarti, teori konspirasi mungkin merupakan bagian yang tak terpisahkan dari demokrasi yang berfungsi dengan baik, dan bukannya tak mungkin berfungsi sebagai katup pengaman demokrasi.
Perhatikan, misalnya, kasus Mahkamah Konstitusi. Sejak Putusan MK tentang batas usia capres dan cawapres disahkan, pemikiran konspiratif telah berseliweran di mana-mana bahwa para hakim bersekongkol untuk memuluskan jalan Gibran, dan seterusnya.
Hal yang patut diapresiasi adalah bahwa pemikiran konspiratif tersebut tak berhenti di sana. Sebagian pihak melakukan penyelidikan lebih jauh, hingga akhirnya MKMK memberhentikan Anwar Usman dari jabatan Ketua MK.
Dalam kasus itu, teori konspirasi bukan sekadar ekspresi dari mereka yang frustrasi dengan cara kerja sistem politik, menawarkan penjelasan alternatif yang sangat menenangkan, tapi juga menjadi sarana bagi publik yang kritis untuk mengawal demokrasi.
Jadi, apakah teori konspirasi adalah produk demokrasi yang tak bisa dihindari, di mana setiap orang bebas mengemukakan penjelasan mereka sendiri tentang peristiwa-peristiwa besar yang terjadi? Mungkin iya, tapi teori konspirasi bukanlah endemik demokrasi.
Faktanya, teori konspirasi juga tersebar luas di negara-negara diktator dan rezim otoriter. Bedanya, dalam pengamatan saya, teori konspirasi di rezim otoriter cenderung berpola top-down, sedangkan di rezim demokratis cenderung berpola bottom-up.
Pemerintahan komunis di masa lalu biasanya memiliki musuh bersama, memberitakan kepada warganya sendiri bahwa kesengsaraan dan penderitaan mereka disebabkan adanya rencana rahasia yang jahat dari elite-elite luar negeri, misalnya pemerintahan Barat.