Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Teori Konspirasi Berisiko Mengganggu Pemilu 2024

11 November 2023   18:32 Diperbarui: 12 November 2023   19:32 758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jika digunakan secara efektif, teori konspirasi bisa mengganggu keberhasilan pemilu | Sumber gambar: Neuroscience News

Teori konspirasi merupakan fenomena marginal, sejenis pengetahuan tandingan yang tanpa bukti, jadi seharusnya tak mungkin bisa merusak pemilu yang berintegritas. Biarpun begitu, jika digunakan secara efektif, teori-teori ini bisa sangat mengganggu.

Lihatlah kembali Pemilu 2019.

Tak lama usai surat suara dihitung, kandidat presiden yang kalah dan para pendukungnya bersikeras bahwa pemilu telah dicurangi. Mereka menuduh adanya konspirasi tersembunyi, entah membuang suara sah atau membuat suara ilegal yang akhirnya merugikan mereka.

Pemikiran konspiratif ini, dan bukannya fakta, sudah cukup untuk mendorong kubu mereka menggelar aksi protes di jalanan Jakarta. Hasilnya, menurut laporan Komnas HAM, terdapat korban tewas setidaknya 10 orang dan korban luka-luka lebih dari 200 orang.

Asumsi bahwa teori konspirasi seperti itu tak akan muncul lagi pada Pemilu 2024 benar-benar naif. Kita telah mendengar sebagian darinya: lembaga survei berusaha menjatuhkan calon A, koalisi B bersekongkol dengan hakim, agen negara diam-diam ikut campur.

Saya tak menuduh semua itu salah, dan saya juga tak mengatakannya sebagai benar.

Apa yang tepatnya ingin saya katakan adalah bahwa teori konspirasi, sekonyol apa pun itu, memiliki konsekuensi yang sama sekali tak lucu. Sekalipun jumlahnya kecil, dampaknya bisa merugikan orang-orang baik dan masyarakat secara keseluruhan.

Pemikiran konspiratif, terutama pada masa ketidakpercayaan dan keberpihakan yang sengit, sebagaimana kasus kekerasan Pemilu 2019, memotivasi orang untuk bertindak dengan cara-cara yang menyinggung atau bahkan kekerasan.

Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan? Benarkah teori konspirasi dapat merusak demokrasi dan, khususnya, mengacaukan proses pemilu? Adakah manfaat tertentu yang kita lewatkan dari teori-teori konspirasi bagi demokrasi, terutama pemilu?

Saya akan mulai dari pertanyaan terakhir.

Demokrasi memasok teori konspirasi?

Teori konspirasi berisi kisah-kisah menegangkan, bahkan banyak di antaranya yang mungkin layak dijadikan film blockbuster. Inilah salah satu alasan mengapa teori konspirasi senantiasa memikat banyak orang: otak kita menyukai cerita-cerita bombastis.

Sekarang apa jadinya jika warga negara yang demokratis, alih-alih dibekali kumpulan fakta yang membosankan, justru mengantongi teori-teori konspirasi ketika berdebat atau memilih dalam pemilu?

Sebelum menjawab apakah teori konspirasi memang berbahaya bagi demokrasi, saya ingin memeriksa dulu apakah teori konspirasi itu sendiri merupakan harga yang harus dibayar untuk publik yang kritis dan demokrasi yang sehat.

Agar demokrasi bisa berjalan, kita membutuhkan warga negara yang mempertanyakan dan menantang keputusan pemimpinnya, dan teori konspirasi melakukan peran ini sampai tingkat tertentu, bahkan jika teori konspirasi tersebut tak masuk akal.

Itu berarti, teori konspirasi mungkin merupakan bagian yang tak terpisahkan dari demokrasi yang berfungsi dengan baik, dan bukannya tak mungkin berfungsi sebagai katup pengaman demokrasi.

Perhatikan, misalnya, kasus Mahkamah Konstitusi. Sejak Putusan MK tentang batas usia capres dan cawapres disahkan, pemikiran konspiratif telah berseliweran di mana-mana bahwa para hakim bersekongkol untuk memuluskan jalan Gibran, dan seterusnya.

Hal yang patut diapresiasi adalah bahwa pemikiran konspiratif tersebut tak berhenti di sana. Sebagian pihak melakukan penyelidikan lebih jauh, hingga akhirnya MKMK memberhentikan Anwar Usman dari jabatan Ketua MK.

Dalam kasus itu, teori konspirasi bukan sekadar ekspresi dari mereka yang frustrasi dengan cara kerja sistem politik, menawarkan penjelasan alternatif yang sangat menenangkan, tapi juga menjadi sarana bagi publik yang kritis untuk mengawal demokrasi.

Jadi, apakah teori konspirasi adalah produk demokrasi yang tak bisa dihindari, di mana setiap orang bebas mengemukakan penjelasan mereka sendiri tentang peristiwa-peristiwa besar yang terjadi? Mungkin iya, tapi teori konspirasi bukanlah endemik demokrasi.

Faktanya, teori konspirasi juga tersebar luas di negara-negara diktator dan rezim otoriter. Bedanya, dalam pengamatan saya, teori konspirasi di rezim otoriter cenderung berpola top-down, sedangkan di rezim demokratis cenderung berpola bottom-up.

Pemerintahan komunis di masa lalu biasanya memiliki musuh bersama, memberitakan kepada warganya sendiri bahwa kesengsaraan dan penderitaan mereka disebabkan adanya rencana rahasia yang jahat dari elite-elite luar negeri, misalnya pemerintahan Barat.

Dalam konteks negara demokrasi, teori konspirasi biasanya muncul dari rakyat yang, karena beberapa hal, mencurigai sekumpulan elite tengah berkomplot untuk melanggengkan aneka masalah yang ada demi keuntungan mereka sendiri.

Bayang-bayang teori konspirasi di Pemilu 2024

Saya telah menunjukkan bahwa terkadang teori konspirasi dapat berguna untuk kesehatan demokrasi, tapi saya khawatir itu hanya efek minornya saja. Pada banyak kesempatan, teori konspirasi bisa lebih rumit daripada kebohongan dan omong kosong.

Tentu saja, kebohongan (sengaja menyebarkan kepalsuan) dan misinformasi (menyebarkan kepalsuan tanpa sengaja) selalu menjadi elemen politik. Filsuf Harry Frankfurt memasukkan juga omong kosong, sebuah kategori yang tak memedulikan fakta-fakta.

Semuanya berbahaya bagi demokrasi, dan mendebat atau menyangkalnya tak akan pernah mudah karena semua itu mengaburkan batas antara benar dan salah, bahkan menyatukan keduanya. Apa yang tersisa kemudian hanyalah opini.

Teori konspirasi merupakan campuran dari semua itu. Ini adalah bentuk narasi emosional yang masuk akal bagi mereka yang mempercayai asumsi, argumentasi, dan implikasinya. Ini memperkuat perpecahan dalam masyarakat dan pandangan "kita versus mereka".

Masyarakat yang percaya pada teori konspirasi cenderung merasa tak terlibat secara politik dan bersikap sinis terhadap politisi, dan menganggap mereka tak bisa diandalkan dan korup. Sulit untuk memulihkan ketidakpercayaan dan kemarahan mereka.

Dengan pandangan yang antagonistis dan bersifat zero-sum seperti itu, bahwa keuntungan suatu kelompok hanya mungkin terjadi dengan mengorbankan kelompok lain, kepercayaan terhadap teori konspirasi akan semakin meningkat, begitu pula perpecahannya.

Sebuah penelitian menemukan bahwa kepercayaan konspirasi bisa meningkatkan dukungan terhadap otokrasi. Ini karena penganut konspirasi yakin bahwa sistem saat ini sudah busuk, jadi mereka menginginkan "sesuatu yang lain", lawan dari demokrasi.

Hilangnya kepercayaan terhadap lembaga-lembaga, dan terhadap satu sama lain, kemudian dikombinasikan dengan rasa keluhan dan rasa kesukuan yang mendalam, tak pelak lagi akan meningkatkan gejolak polarisasi politik.

Dalam hal ini, ada korelasi antara teori konspirasi dan ketidakpercayaan publik.

Memang, sebagaimana telah ditunjukkan, teori konspirasi bisa jadi merupakan hal yang baik dan berguna, sebagai jalur penyelidikan yang tak menjanjikan tapi mampu memastikan para elite tetap bertanggung jawab.

Namun, kebanyakan kasus menunjukkan bahwa kecurigaan dan ketidakpercayaan yang tak masuk akal terhadap elite bukanlah resep untuk meminta pertanggungjawaban kekuasaan. Jika ada, teori konspirasi cenderung memperdalam ketidakpercayaan satu sama lain.

Kita tahu bahwa, di negara demokrasi mana pun, polarisasi sering kali menjadi penyebab inti mengapa demokrasi membusuk. Dan itu benar: ketika polarisasi semakin memburuk, warga semakin terpecah belah, demokrasi lumpuh dan malah jadi sarang penyakit.

Polarisasi ditambah budaya pemikiran konspiratif adalah perpaduan yang mematikan. Teori konspirasi, ketika berseliweran pada masa kontestasi elektoral, berisiko mengubah disfungsi demokrasi yang biasa menjadi spiral kematian demokrasi.

Polarisasi dan teori konspirasi juga memiliki efek timbal balik yang mengerikan.

Ketika masyarakat terpolarisasi, daya pikat teori konspirasi akan semakin meningkat, apalagi jika teori itu menguntungkan kubunya sendiri. Sebaliknya, ketika teori konspirasi terasa jauh lebih memikat dan penganutnya semakin banyak, polarisasi bakal kian keruh.

Jika berdiri sendiri, polarisasi memang merusak, tapi masih bisa dikelola. Saat polarisasi menyatu dengan teori konspirasi yang gila, maka kehancuran demokrasi jadi jauh lebih mungkin terjadi. Perpaduan inilah yang kita saksikan pada tragedi di ujung Pemilu 2019.

Mari kita tarik bahaya-bahaya tersebut ke dalam konteks Pemilu 2024.

Berdasarkan temuan aneka penelitian, para penganut teori konspirasi lebih mungkin untuk golput. Kalaupun mereka memutuskan untuk pergi memilih, pilihan mereka mungkin bukan didasarkan pada alasan-alasan yang rasional. Dua-duanya jalan buntu.

Pertama, paparan teori konspirasi dapat meningkatkan perasaan tak berdaya di kalangan pemilih, karena mereka cenderung berpikir bahwa tak ada tindakan atas nama mereka yang akan membuat perbedaan dalam politik.

Seorang teman pernah berterus terang pada saya bahwa ia mungkin akan golput di Pemilu 2024 nanti. Alasannya bikin saya meringis: ia yakin bahwa suara rakyat, apalagi suaranya pribadi, tak akan berpengaruh karena para elite sudah menentukan hasil pemilu.

Jadi, mengapa repot-repot memberikan suara?

Kedua, kalaupun penganut konspirasi menggunakan hak pilihnya, putusan mereka memilih kandidat tertentu kemungkinan besar bukan didasarkan pada fakta atau alasan-alasan yang rasional, melainkan emosional semata.

Orang-orang ini tak akan terpengaruh oleh rekam jejak kandidat, mereka tak akan terbujuk oleh visi-misi kandidat, dan mereka tak akan peduli jika kandidat favoritnya pernah berbuat kesalahan fatal baru-baru ini. Mereka sesederhana tak mempercayainya.

Mereka kebal terhadap pesan, iklan, atau data. Mereka tak hanya terinfeksi konspirasi, tapi juga tampaknya telah disuntik untuk melawan kenyataan. Orang-orang ini biasanya adalah mangsa yang empuk bagi kandidat populis.

Demikianlah, semua kegilaan itu berkontribusi pada ketidakseimbangan politik. Taktik ini menimbulkan risiko serius yang mencekal pemilih untuk memberikan suara mereka, menghalangi sertifikasi hasil pemilu, dan akhirnya mengganggu pemilu secara keseluruhan.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Seperti halnya kebohongan dan omong kosong, melonggarkan cengkeraman teori konspirasi dalam politik sangatlah sulit, bahkan mungkin lebih rumit. Ini bukan sekadar masalah jumlah, mengingat buzzer politik ada di mana-mana, tapi jalan mana pun terkesan buntu.

Bantahan terhadap konspirasi biasanya dipelintir sebagai "bukti" adanya kekuatan yang ingin meredam kebenaran. Sementara itu, ketiadaan bukti hanya akan membuat konspirasi semakin awet: absence of evidence is not evidence of absence.

Bagaimanapun, upaya untuk menangkalnya harus tetap ada.

Beberapa pihak menyarankan cara yang tegas. Katanya, cara menghadapi takhayul bukanlah dengan bersikap sopan terhadapnya, tapi justru mengalahkannya, melumpuhkannya, serta mengekspos kekonyolannya dengan segala cara.

Teori bumi datar itu memang gila. Gagasan bahwa vaksin menyebabkan sendok menempel pada tubuh kita adalah bodoh. Siapa pun yang memberitahu kita bahwa alien sedang bereksperimen terhadap manusia adalah orang-orang konyol. Dan seterusnya.

Cara itu berusaha mengatakan sesuatu semacam, "Ya ampun, kok bisa orang mempercayai lelucon itu?" Dengan demikian, karena orang tak suka dirinya dianggap bodoh, maka orang tersebut perlahan akan melepaskan kepercayaannya.

Saya pikir cara itu terlalu percaya diri. 

Justru karena orang tak suka dirinya dianggap bodoh, bantahan yang keras seperti itu berpotensi membuat mereka menciptakan rasionalisasi dan justifikasi lebih jauh tentang mengapa kepercayaannya benar.

Saya khawatir bantahan yang keras hanya akan membuat konspirasi menjadi semakin mengeras. Jadi, saya pikir pendekatan yang lebih baik adalah dengan berdialog, mengingat, seperti yang sudah saya katakan, sekonyol apa pun teori konspirasi bisa berguna juga.

Sebagian besar penganut konspirasi menginginkan dunia yang lebih baik. Mereka mengira bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi, dan mereka ingin mengungkapkannya. Cara terbaik merespons ini adalah menjadikannya batu pijakan untuk penyelidikan lebih jauh.

Katakanlah sesuatu semacam, "Ya, aku mengerti, dan sejujurnya itu juga membuatku cukup khawatir. Tapi mungkin bukan itu yang sebenarnya terjadi. Mari kita kesampingkan berbagai prasangka buruknya dan mulai menyelidikinya bersama."

Saya pikir perbedaan pendapat yang paling ekstrem pun dapat dikelola selama masing-masing dari kita bersedia mendengarkan dan belajar. Intinya, ketika kita menginginkan penjelasan mudah atas peristiwa besar, jadikan prasangka sebagai awal mula penyelidikan.

Jangan hanya berhenti di prasangka dan kemudian menyalahkan pihak lain. Itu mungkin saja tak benar. Selalu begitu kemungkinannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun