Dalam beberapa minggu terakhir, dan tampaknya memuncak baru-baru ini, semangka telah muncul di mana-mana, terutama media sosial. Para pengguna mengunggah emoji, gambar, dan karya seni semangka sebagai simbol solidaritas terhadap warga Palestina.
Secara historis, mengibarkan bendera Palestina di Israel merupakan sebuah kejahatan. Jadi semangka, yang melimpah secara lokal dan berwarna serupa, telah puluhan tahun menjadi simbol subversif Palestina.
Di media sosial, mengingat isu Palestina-Israel adalah salah satu isu yang paling terpolarisasi dalam sejarah, semangka muncul sebagai upaya untuk menghindari penyensoran online. Tagar seperti #freepalestine kerap dianggap melanggar ketentuan.
Saya pikir, melihat krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung, simbol semangka memang harus mencuat lagi. Rasanya ini adalah momen ketika solidaritas ada dalam benak setiap orang, dan semangka bisa menjadi representasi dari keprihatinan kita semua.
Sejauh ini, penderitaan dan kematian terus bertambah. Sekitar sepertiga dari mereka yang tewas merupakan anak-anak. Unicef bahkan menyebut Gaza sebagai "kuburan bagi ribuan anak-anak". Kita juga harus memikirkan mereka yang bertahan dan trauma.
Sementara itu, air bersih yang tersisa cepat habis, membuat warga Gaza tak punya banyak pilihan selain mengandalkan sumur yang tercemar. Kalaupun mereka selamat dari konflik senjata, mereka berisiko mengalami wabah penyakit yang ditularkan melalui air.
Pengiriman pasokan kemanusiaan untuk menyelamatkan jiwa telah berdatangan, tapi hal ini masih belum cukup guna memenuhi kebutuhan yang terus melonjak. Pasokan makanan, air, obat-obatan, dan bahan bakar kian terkuras.
Presiden Amerika Serikat Joe Biden, demi memungkinkan pengiriman bantuan dan evakuasi secara cepat dan aman, meminta Israel untuk "jeda kemanusiaan". Tapi, menurut kabar terbaru, Israel menolak gencatan senjata dengan alasan bahwa itu menguntungkan Hamas.
Baca juga: Menyoal Politik Dinasti di IndonesiaYa, saya pikir ini memang waktu yang tepat untuk meluapkan kemarahan kita tentang krisis kemanusiaan yang terjadi di sana. Kita prihatin dan, sebagian karena letak geografis, merasa tak berdaya untuk melakukan apa pun.
Kemarahan, dalam arti terbaiknya, mungkin akan mendorong kita untuk bertindak. Apa pun itu, termasuk semangka. Ini mungkin adalah gerakan yang lebih sukses dibandingkan seruan politisi dalam hal memengaruhi khalayak di seluruh dunia.
Tapi, saya khawatir bahwa gambar atau emoji semangka saja sama sekali tak cukup.
Sejarah (dan mitos) semangka sebagai simbol protes Palestina
Pada Juni 1967, usai Perang Enam Hari dan pendudukan Tepi Barat, Israel melarang bendera Palestina di dalam perbatasannya untuk menghalangi nasionalisme Palestina. Siapapun yang melanggar pelarangan tersebut, mereka akan dipenjara.
Pada tahun 1980-an, tiga seniman yang berada di Ramallah ditangkap karena menggunakan warna bendera Palestina dalam karya seni mereka. Seorang petugas Israel memberitahu bahwa bendera Palestina dan warna-warnanya dilarang oleh pemerintah Israel.
Kemudian salah satu seniman bertanya bagaimana jika yang digambar adalah bunga dengan warna merah, hitam, putih, dan hijau. Petugas tersebut menjawab, "Itu akan disita. Bahkan jika kau melukis semangka, itu akan disita."
Dari situlah para seniman mulai melukis semangka, yang seiring waktu menjadi simbol dari upaya subversif Palestina. Saya sekarang menantikan hari di mana Israel memutuskan untuk melarang semangka. Mereka pasti bercanda jika itu benar-benar terjadi.
Larangan pengibaran bendera Palestina berlaku setidaknya sampai tahun 1993, ketika Perjanjian Oslo melonggarkan pembatasan terhadap warga Palestina di Israel. Dan memang, bendera-bendera Palestina mulai bermunculan di seluruh Jalur Gaza dan Tepi Barat.
Bagaimanapun, para pemimpin terkemuka Israel tak menyukai pengibaran bendera tersebut sehingga, mudah ditebak, berusaha melarangnya kembali. Perdana Menteri Israel Banjamin Netanyahu menyebut kemunculan bendera itu sebagai "hasutan".
Pada Januari 2023, menteri keamanan nasional Israel memberikan wewenang pada polisi untuk menyita bendera Palestina. Ada upaya untuk menindaklanjuti pelarangan itu menjadi undang-undang, tapi sebelum benar-benar terjadi, semangka telah menyebar luas.
Di media sosial, sejak peluncuran emoji semangka tahun 2015, emoji ini banyak menghiasi unggahan tentang budaya, olahraga, dan politik Palestina. Setiap kali gejolak konflik di Gaza meningkat, simbol semangka rutin muncul di berbagai platform.
Biarpun terdengar masuk akal, ditambah begitu seringnya media-media memaparkan narasi sejarah tersebut, asal mula penggunaan semangka sebagai simbol subversif Palestina telah banyak diragukan para ahli.
Ada dugaan bahwa cerita yang kini beredar di media massa sebenarnya bercampur dengan mitos dan kisah-kisah lainnya yang sulit dikonfirmasi keasliannya.
Pada Oktober 1993, hanya beberapa minggu setelah Perjanjian Oslo, The New York Times melaporkan bahwa para pemuda pernah ditahan karena membawa irisan semangka, yang berarti menunjukkan warna merah, hitam, putih, dan hijau Palestina.
Beberapa bulan kemudian, sebuah catatan editor menyatakan bahwa laporan tersebut tak bisa mengonfirmasi klaimnya, tapi di sisi lain pihak Israel pun tak bisa menyangkal peristiwa penangkapan tersebut.
Terlepas dari adanya keraguan akan keaslian sejarah simbol semangka, saya pikir kebenaran narasi ini telah menjadi nomor dua. Para seniman dan aktivis, serta warga dunia secara keseluruhan, terlanjur telah mengadopsi buah ini sebagai simbol solidaritas Palestina.
Apakah aktivisme semangka ampuh untuk menekan Israel?
Saya tak melihat media sosial sebagai pohon busuk yang hanya menghasilkan buah beracun, tapi saya juga tak mau naif terhadapnya. Tentu saja, orang merasa senang bisa mengunggah semangka di akun mereka, membuat mereka merasa terlibat dalam gerakan.
Dan tak ada keraguan bahwa gambar semangka telah meningkatkan kesadaran. Seorang teman bertanya pada saya mengapa orang-orang mengganti foto profilnya jadi semangka, dan ia menelusuri sendiri hingga akhirnya merasa bergidik dan gemetar.
Bagaimanapun, patut dipertanyakan apakah sekadar meningkatkan kesadaran benar-benar dapat memengaruhi apa yang terjadi di sana. Beberapa pihak, dan saya salah satunya, agak cemas bahwa tren ini berakhir sia-sia.
Terlebih, meskipun sebagian (saya yakin, sebagian besar orang) melakukannya karena motif murni, beberapa orang mungkin melakukannya demi kepentingan pribadi dan kurang peduli dengan tujuannya. Orang-orang ini hanya ingin tampil trendi dan tampak seolah peduli.
Hanya karena seluruh dunia menyadari adanya masalah dan mendesak penyelesaiannya, ini bukan berarti masalah tersebut telah teratasi. Isu-isu seperti kelaparan di Afrika telah lama mengundang simpati, terbukti dari jumlah tagar, tapi warga Afrika tetap kelaparan.
Di samping itu, pemerintah dan korporat yang punya kekuasaan lebih besar daripada masyarakat jarang terpengaruh oleh tren seperti ini. Misalnya, saat pemerintah Iran menganggap Twitter (sekarang X) terlalu merepotkan, mereka mematikannya begitu saja.
Biarpun begitu, terlepas dari pesimisme yang ada, saya pikir sangat tak produktif menyerang pengguna media sosial yang sebagian besar memiliki niat murni. Entah orang mengunggah gambar semangka karena peduli atau sekadar tren, itu tak terlalu jadi masalah.
Setidaknya, masyarakat tak tinggal diam.
Ketika orang-orang seperti kita hanya bisa memantau dari jauh, berkicau di X atau Instagram terasa seperti satu-satunya pilihan dan, jika dilakukan dengan benar, bisa memberikan efek penyembuhan (sedikit atau banyak) bagi mereka yang terkena dampaknya.
Siapa yang tak menginginkan dukungan dari orang lain, apalagi warga global?
Ya, aktivisme semangka tak akan ampuh untuk menekan Israel. Seruan dari Presiden AS Joe Biden saja, sebagaimana saya sebutkan di awal, diabaikan begitu mudahnya oleh Israel. Apa yang bisa kita harapkan dari serbuan emoji semangka untuk menghentikan perang?
Tapi, memang bukan itu tujuan intinya.
Saat ini, simbol semangka merupakan sesuatu yang mendasar dalam menggerakkan banyak orang, ribuan atau ratusan ribu orang, untuk memasuki kehidupan satu sama lain di sekitar ide dan visi bersama. Ini diperlukan guna mendorong solidaritas.
Perubahan itu sendiri tak akan terjadi melalui cuitan. Tetap saja, bukan berarti media sosial tak punya tempat dalam perjuangan dan pemulihan kemanusiaan. Perubahan, cepat atau lambat, harus dimulai dari suatu tempat.
Bagi banyak orang, ini kemungkinan besar dimulai dengan buah semangka.
Memutar mata dan mencerca mereka yang mengikuti tren ini bukanlah hal yang produktif. Respons yang lebih bermanfaat adalah mendorong orang untuk berbuat lebih banyak. Jadi, sambil mengganti foto profil menjadi semangka, mari kita dorong lebih jauh lagi.
Luangkan waktu secara sukarela untuk tetap mengawal apa yang terjadi di Gaza. Bagi yang mampu, sumbangkan uang atau bentuk-bentuk material lainnya ke badan amal. Minimal, kirimkan doa kepada mereka yang tengah histeris bertahan hidup di sana.
Saya punya teman seorang influencer di Instagram, dan ia rutin menarik perhatian orang pada apa yang terjadi di Gaza. Saya sangat mengagumi upayanya itu. Dan saya juga berharap agar mereka yang memiliki pengikut banyak juga melakukan hal serupa.
Bagi penulis yang punya kemampuan mumpuni di bidang politik internasional, saya pikir ini adalah waktu yang tepat untuk menulis tentang dukungan kemanusiaan di Gaza, melawan narasi media yang merugikan, dan mengungkit konteks yang jarang dibahas.
Lakukan apa pun, secara konkret, untuk membantu warga Gaza. Saya tak menyebut khusus warga Palestina atau Israel. Apa pun kewarganegaraan mereka, terutama warga sipil dan anak-anak, mereka membutuhkan bantuan kita.
Intinya, jangan pernah hanya mengandalkan emoji semangka untuk menyelamatkan dunia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI