Pada Oktober 1993, hanya beberapa minggu setelah Perjanjian Oslo, The New York Times melaporkan bahwa para pemuda pernah ditahan karena membawa irisan semangka, yang berarti menunjukkan warna merah, hitam, putih, dan hijau Palestina.
Beberapa bulan kemudian, sebuah catatan editor menyatakan bahwa laporan tersebut tak bisa mengonfirmasi klaimnya, tapi di sisi lain pihak Israel pun tak bisa menyangkal peristiwa penangkapan tersebut.
Terlepas dari adanya keraguan akan keaslian sejarah simbol semangka, saya pikir kebenaran narasi ini telah menjadi nomor dua. Para seniman dan aktivis, serta warga dunia secara keseluruhan, terlanjur telah mengadopsi buah ini sebagai simbol solidaritas Palestina.
Apakah aktivisme semangka ampuh untuk menekan Israel?
Saya tak melihat media sosial sebagai pohon busuk yang hanya menghasilkan buah beracun, tapi saya juga tak mau naif terhadapnya. Tentu saja, orang merasa senang bisa mengunggah semangka di akun mereka, membuat mereka merasa terlibat dalam gerakan.
Dan tak ada keraguan bahwa gambar semangka telah meningkatkan kesadaran. Seorang teman bertanya pada saya mengapa orang-orang mengganti foto profilnya jadi semangka, dan ia menelusuri sendiri hingga akhirnya merasa bergidik dan gemetar.
Bagaimanapun, patut dipertanyakan apakah sekadar meningkatkan kesadaran benar-benar dapat memengaruhi apa yang terjadi di sana. Beberapa pihak, dan saya salah satunya, agak cemas bahwa tren ini berakhir sia-sia.
Terlebih, meskipun sebagian (saya yakin, sebagian besar orang) melakukannya karena motif murni, beberapa orang mungkin melakukannya demi kepentingan pribadi dan kurang peduli dengan tujuannya. Orang-orang ini hanya ingin tampil trendi dan tampak seolah peduli.
Hanya karena seluruh dunia menyadari adanya masalah dan mendesak penyelesaiannya, ini bukan berarti masalah tersebut telah teratasi. Isu-isu seperti kelaparan di Afrika telah lama mengundang simpati, terbukti dari jumlah tagar, tapi warga Afrika tetap kelaparan.
Di samping itu, pemerintah dan korporat yang punya kekuasaan lebih besar daripada masyarakat jarang terpengaruh oleh tren seperti ini. Misalnya, saat pemerintah Iran menganggap Twitter (sekarang X) terlalu merepotkan, mereka mematikannya begitu saja.
Biarpun begitu, terlepas dari pesimisme yang ada, saya pikir sangat tak produktif menyerang pengguna media sosial yang sebagian besar memiliki niat murni. Entah orang mengunggah gambar semangka karena peduli atau sekadar tren, itu tak terlalu jadi masalah.
Setidaknya, masyarakat tak tinggal diam.