Saya ingin mengakui sesuatu: (toxic) masculinity telah mengacaukan masa remaja saya, dan mungkin masih begitu. Tak ada yang tahu saya terkadang menangis hingga tertidur. Tak ada yang tahu betapa saya sangat merindukan rumah (home, bukan house).
Dunia memberitahu saya bahwa saya harus memendamnya. Terkadang suara dari dalam diri saya sendiri yang mengatakan bahwa keterbukaan dan kejujuran itu "sangat tak laki-laki, tak jantan". Seorang lelaki, katanya, harus mandiri dan tangguh.
Itu membuat saya seperti keracunan Talium. Tak berwarna, tak berbau, dan tak berasa. Saya merasa semuanya baik-baik saja. Tapi, berkat gejalanya yang lambat, rasa sakitnya mulai menjalar, dan saya akhirnya terbunuh oleh sesuatu yang bahkan tak saya mengerti.
Tentu saja, saya bukan satu-satunya.
Ekspektasi masyarakat yang tak realistis telah menghancurkan kehidupan banyak lelaki. Hal ini sering berujung pada kekerasan terhadap diri mereka sendiri (depresi, konsumsi narkoba, bunuh diri) dan orang lain (pelecehan, homofobia, seksisme, agresi).
Masalahnya, sebagian lelaki tak menyadari bahwa mereka sedang melanggengkan ekspektasi berbahaya tersebut. Masyarakat telah menjadikannya semacam norma, dan kita bisa menemukan hal itu di sekolah, tempat kerja, media, atau singkatnya, di mana-mana.
Atas dasar itu, meskipun saya bukanlah orang pertama yang menyerukan perubahan dalam jenis maskulinitas yang kita hargai, saya percaya bahwa seruan itu perlu dilakukan berulang kali dan tanpa rasa malu jika kita ingin perubahan besar-besaran.
Saya akan mengawalinya dengan konsep dari toxic masculinity itu sendiri, mengingat banyak orang masih salah kaprah terhadapnya. Lalu saya akan menunjukkan bagaimana itu merugikan semua orang, laki-laki maupun perempuan, serta alternatif solusinya.
Apa itu toxic masculinity?
Maskulinitas mengacu pada peran, perilaku, dan atribut yang dianggap pantas bagi laki-laki dalam masyarakat tertentu. Mudahnya, maskulinitas merupakan ekspektasi masyarakat terhadap laki-laki.
Di banyak masyarakat, laki-laki diharapkan menjadi kuat, aktif, agresif, tangguh, berani, dan kalem secara emosional. Orang mungkin akan senang membayangkan Sherlock Holmes atau Thomas Shelby dalam serial Peaky Blinders.
Sementara itu, istilah "maskulinitas beracun" (toxic masculinity) merujuk pada karakteristik yang bertahan lama dan sering kali tak sehat tentang apa artinya menjadi "pria sejati". Jadi, istilah ini menekankan aspek terburuk dari atribut stereotip maskulin.
Semua orang sudah familier dengan doktrin-doktrinnya.
Lelaki, agar dianggap jantan, jangan menunjukkan emosi selain keberanian atau kemarahan. Jangan bergantung pada siapa pun, selamanya. Jangan melakukan apa pun yang bisa dianggap sebagai kelemahan. Diam dan tahanlah rasa sakit. Jadilah unggul dalam segalanya.
Semua itu memberitahu lelaki tentang bagaimana cara berpakaian, cara berbicara, hal-hal yang harus diminati, cara memperlakukan perempuan, dan pada dasarnya "cara membawa diri sendiri". Jika lelaki tak memenuhi kriteria ini, ia dianggap lemah atau banci.
Itu bukan berarti laki-laki secara alamiah tak peduli, penyayang, atau emosional. Hanya saja, sebagai masyarakat, kita tak menghargai sifat-sifat ini pada laki-laki. Konsekuensinya, lelaki dikondisikan untuk percaya bahwa sifat-sifat ini tak berharga.
Meskipun terkesan gamblang, beberapa pihak telah menentang penggunaan istilah "toxic masculinity". Menurut mereka, istilah ini seolah mencoba meyakinkan para pria untuk tak usah repot-repot menjadi jantan.
Jurnalis Fox News Todd Starnes bahkan berkomentar bahwa upaya sejumlah kampus untuk memerangi maskulinitas beracun adalah cara "meyakinkan para pria untuk menumbuhkan organ kewanitaan".
Singkatnya, istilah "toxic masculinity" dianggap menegaskan bahwa menjadi lelaki itu salah, bodoh, dan beracun. Dengan mengkritik maskulinitas beracun, kita dianggap mengkritik laki-laki itu sendiri. Katanya, ini sama seperti membunuh maskulinitas sepenuhnya.
Namun, jika dipahami dengan benar, istilah toxic masculinity tak bertujuan untuk melarang seorang lelaki untuk menjadi "lelaki". Istilah ini justru menyoroti maskulinitas tertentu dan serangkaian ekspektasi sosial yang tak sehat atau berbahaya.
Dengan pendekatan ini, kita mengakui bahwa masalahnya bersifat sosial dan bukan individu. Kita ingin mengungkapkan bagaimana lelaki dikonstruksi dan diatur sedemikian rupa, hingga akhirnya merugikan mereka sendiri dan orang lain.
Salah kaprah itu perlu diluruskan karena menyalahartikan apa yang sebenarnya merupakan masalah serius dan masalah berbasis gender yang dikonstruksi secara kultural adalah sikap yang picik dan rabun.
Ya, kita mungkin membutuhkan kata yang lebih baik daripada "beracun" (toxic).
Tapi, penolakan spontan terhadap pemahaman maskulinitas beracun, menurut saya, sama saja dengan mengabaikan masalah kesehatan masyarakat yang mematikan, memunculkan kerugian yang menyedihkan bagi kita semua, pria maupun perempuan.
Demikianlah, perlu dijelaskan bahwa maskulinitas itu sendiri tak beracun. Toxic masculinity adalah fenomena budaya di mana maskulinitas diartikan secara ekstrem. Tak masalah untuk menjadi pria maskulin dan tak masalah menjadi perempuan feminin.
Saya pikir itu tak perlu dikatakan lagi, tapi saya tahu jika saya tak menjelaskannya sekarang, maka setidaknya satu orang akan berpikir bahwa tujuan saya di sini adalah membuat lelaki menjadi lebih feminin atau apa pun. Tidak.
Konsep yang saya kritik saat ini bukanlah maskulinitas secara keseluruhan dalam arti yang abstrak dan tak bisa dijelaskan, melainkan maskulinitas yang beracun, sebuah konsep yang mudah dijelaskan dan terbukti telah melanggengkan kerugian sosial yang serius.
Maskulinitas beracun tak menguntungkan siapa pun
Maskulinitas beracun, sekali lagi, merugikan semua orang, laki-laki maupun perempuan. Tak ada yang diuntungkan olehnya. Di sini saya mengidentifikasi tiga masalah utama dari doktrin maskulinitas beracun.
Pertama, kekerasan seksual. Maskulinitas beracun, tentu saja, bukan penyebab dari semua kasus kekerasan seksual, tapi hal ini merupakan faktor yang mendasari banyak kasus. Lelaki, menurut stereotipnya, harus lebih agresif dibandingkan perempuan.
Penekanan tersebut, yang pada dasarnya menegaskan dominasi dan kekuasaan, mendorong lelaki untuk melakukan agresi seksual. Norma maskulin tak mengajari lelaki bagaimana cara memperlakukan perempuan dengan baik; lelaki diajari untuk menaklukkannya.
Jika itu terdengar tak asing, itu karena salah satu prinsip penting dari maskulinitas beracun adalah aspirasi ekstrem untuk dominasi seksual. Prinsip ini membuat lelaki merasa berhak atas tubuh perempuan hanya karena mereka adalah "lelaki yang baik".
Hak semacam itu yang akhirnya kerap berkontribusi pada budaya pemerkosaan dan misogini. Dengan percaya atau menganggap diri mereka tak "cukup maskulin", lelaki dapat menggunakan kekerasan seksual untuk memenuhi ekspektasi gender.
Selain memotivasi pelaku, maskulinitas beracun juga bisa menjadi penghalang sistemik dan penghalang internal bagi laki-laki penyintas kekerasan seksual. Lelaki biasanya dikondisikan untuk berpikir bahwa mereka tak berisiko mengalami pelecehan seksual.
Jika mereka mengalaminya, dengan demikian, mereka cenderung merasa lemah atau kurang "jantan", malu dan stigma. Ini berarti, mereka menunggu lama sebelum akhirnya mencari bantuan, atau bahkan tak mengungkapkannya sama sekali.
Gerakan-gerakan seperti #MeToo telah menciptakan iklim yang lebih aman bagi perempuan untuk maju dan menerima dukungan, tapi tampaknya efek seperti itu belum tentu berlaku bagi laki-laki penyintas.
Kedua, gangguan kesehatan mental. Premis toxic masculinity dalam beberapa hal mengacu pada gagasan isolasi: lelaki seharusnya menjadi otonom, mandiri, dan dengan demikian tak menunjukkan banyak emosi (sedih, depresi, kesepian).
Bagaimana mungkin seseorang bisa bertahan dengan cara itu?
Sebagai manusia, apa pun jenis kelaminnya, kita punya kombinasi berbagai sifat. Terkadang kita kuat dan tangguh, dan terkadang kita sensitif dan berkulit tipis. Pandangan tradisional tentang maskulinitas sebagian besar menghilangkan keragaman ini.
Hal itu menolak segala sesuatu yang berbau "feminin": kelembutan, empati, dan pengertian terhadap orang lain. Lelaki, dalam stereotipnya, harus menekan emosi agar terlihat kuat dan tegar. Mencari bantuan untuk tekanan emosional adalah tanda kelemahan.
Lalu apa hasilnya?
Baik pria maupun wanita menghadapi masalah yang sama dengan depresi, kecemasan, dan penyakit mental, tapi pria lebih rentan melakukan bunuh diri ketika mengalami seluruh masalah ini. Alasannya, kebanyakan lelaki takut untuk mencari bantuan.
Penelitian menunjukkan bahwa cita-cita maskulinitas beracun merupakan penghalang besar bagi lelaki dalam mencari bantuan psikologis. Alhasil, karena mereka melewati masa-masa sulit sendirian, kesehatan mental mereka cenderung lebih rentan.
Ketiga, merusak hubungan. Maskulinitas beracun membuat kaum Adam memasuki sebuah hubungan dalam mode bertahan hidup. Ketertutupan ini menyulitkan lelaki untuk menjalin ikatan dengan teman, keluarga, dan pasangan romantisnya.
Dulu, setidaknya sampai usia 18 tahun, saya lebih dekat dengan ibu daripada ayah. Dengan ayah, topik obrolan tak pernah jauh dari persoalan sepak bola, ikan hias, dan peristiwa baru di kampung. Dengan ibu, saya curhat tentang sekolah dan pertemanan. Apa pun.
Bagi banyak pria, vulnerable adalah musuh yang harus dihindari bagaimanapun caranya.
Hal itu juga sangat terasa dalam pertemanan. Ketika saya nongkrong dengan teman-teman lelaki saya, kami menunjukkan sebuah pose yang penuh lakon jaga image. Kata-kata seperti "bro" sangat berguna. Sentuhan diperbolehkan, tapi jangan pelukan.
Walau saya bisa menerima batasan-batasan itu untuk sementara waktu, tapi itu merupakan pertunjukan sosial yang melelahkan, dan pertemanan yang terjalin di dalamnya sangat dangkal. Saya merasa seperti alien yang diajari bahasa manusia laki-laki.
Saya tak pernah fasih.
Di sisi lain, saya agak iri dengan pertemanan perempuan. Saya sering menyimak bagaimana teman-teman kakak perempuan saya saling bertukar cerita satu sama lain, meluapkan perasaan masing-masing. Setiap dari mereka akan berkata, "Ya ampun. Kenapa?"
Saya menghargai percakapan dengan teman laki-laki, tapi terkadang saya merindukan sesuatu yang lebih kaya: berbicara tentang pengalaman dan emosi, menawarkan dukungan timbal-balik. Saya ingin bisa bilang pada mereka bahwa saya sedih dan kesepian.
Dan saya telah memulainya.
Dalam setahun terakhir, saya coba menginisiasi sikap vulnerable dengan beberapa sahabat. Ini berjalan baik, bahkan sangat baik. Kami mulai mengakui tekanan yang kami alami selama ini, entah dari keluarga, dosen, atau masyarakat secara keseluruhan.
Kini kami menyadari sesuatu yang penting: kami telah dikondisikan sebagai "laki-laki" untuk menyembunyikan ketakutan, rasa sakit, atau kecemasan. Kami banyak memendam karena takut ditertawakan. Sekarang kami menertawakan stereotip tersebut.
Memerangi toxic masculinity
Saya sama sekali tak bermaksud untuk menyalahkan individu lelaki atas penderitaan mereka sendiri, meskipun sebagian memang merupakan tanggung jawab pribadi. Tapi, lewat istilah maskulinitas beracun, saya juga menekankan masalah struktural.
Jadi saya tak bilang jika lelaki mengalami depresi, itu semata-mata karena mereka tak mau mengungkapkan perasaannya. Jika mereka sakit, itu karena mereka enggan berobat. Jika mereka meninggal muda, itu karena mereka merokok dan makan sembarangan.
Maskulinitas beracun lebih merupakan masalah struktural ketimbang karakter individu laki-laki. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki mengubah perilaku mereka seiring dengan perubahan masyarakat dan ekonomi-politik yang melatarbelakanginya.
Dengan demikian, ini adalah masalah kita bersama, bukan individu lelaki semata.
Kita harus mendekonstruksi maskulinitas beracun dan menggantinya dengan maskulinitas yang sehat. Menjadi lelaki bukan berarti harus menundukkan perempuan. Menjadi pria kuat bukan berarti tak boleh menangis atau curhat, dan seterusnya.
Kita lelaki mungkin dikhianati, dibohongi. Terkadang kita lelaki menangis atau merasa sangat sedih. Bahkan terkadang mengalami depresi. Terkadang kita akan merasa luar biasa. Semua ini normal, dan kita memang normal.
Ya, kita perlu mendefinisikan ulang norma-norma kejantanan. Tapi saya pikir kita juga perlu mendorong lelaki untuk mengurangi investasi pada identitas dan batasan gender, berhenti mengkhawatirkan kejantanan. Kita semua adalah manusia.
Sebagai manusia, apa pun jenis kelaminnya, kita memiliki kombinasi sifat maskulin dan feminin. Kepemimpinan, menafkahi keluarga, menuntaskan tanggung jawab, dan keberanian cenderung diidentikkan dengan sifat maskulin.
Tapi, apa salahnya jika perempuan juga memiliki sifat-sifat tersebut?
Kita membutuhkan pria dewasa untuk menjadi teladan bagi generasi baru. Semuanya dapat dimulai dengan mengajari anak laki-laki kita bahwa hal terpentingnya bukanlah bagaimana menjadi "laki-laki" yang baik, melainkan menjadi manusia yang baik.
Begitu kita menjadikan ini masalah kemanusiaan, maskulinitas beracun akan memudar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H