Ya, kita mungkin membutuhkan kata yang lebih baik daripada "beracun" (toxic).
Tapi, penolakan spontan terhadap pemahaman maskulinitas beracun, menurut saya, sama saja dengan mengabaikan masalah kesehatan masyarakat yang mematikan, memunculkan kerugian yang menyedihkan bagi kita semua, pria maupun perempuan.
Demikianlah, perlu dijelaskan bahwa maskulinitas itu sendiri tak beracun. Toxic masculinity adalah fenomena budaya di mana maskulinitas diartikan secara ekstrem. Tak masalah untuk menjadi pria maskulin dan tak masalah menjadi perempuan feminin.
Saya pikir itu tak perlu dikatakan lagi, tapi saya tahu jika saya tak menjelaskannya sekarang, maka setidaknya satu orang akan berpikir bahwa tujuan saya di sini adalah membuat lelaki menjadi lebih feminin atau apa pun. Tidak.
Konsep yang saya kritik saat ini bukanlah maskulinitas secara keseluruhan dalam arti yang abstrak dan tak bisa dijelaskan, melainkan maskulinitas yang beracun, sebuah konsep yang mudah dijelaskan dan terbukti telah melanggengkan kerugian sosial yang serius.
Maskulinitas beracun tak menguntungkan siapa pun
Maskulinitas beracun, sekali lagi, merugikan semua orang, laki-laki maupun perempuan. Tak ada yang diuntungkan olehnya. Di sini saya mengidentifikasi tiga masalah utama dari doktrin maskulinitas beracun.
Pertama, kekerasan seksual. Maskulinitas beracun, tentu saja, bukan penyebab dari semua kasus kekerasan seksual, tapi hal ini merupakan faktor yang mendasari banyak kasus. Lelaki, menurut stereotipnya, harus lebih agresif dibandingkan perempuan.
Penekanan tersebut, yang pada dasarnya menegaskan dominasi dan kekuasaan, mendorong lelaki untuk melakukan agresi seksual. Norma maskulin tak mengajari lelaki bagaimana cara memperlakukan perempuan dengan baik; lelaki diajari untuk menaklukkannya.
Jika itu terdengar tak asing, itu karena salah satu prinsip penting dari maskulinitas beracun adalah aspirasi ekstrem untuk dominasi seksual. Prinsip ini membuat lelaki merasa berhak atas tubuh perempuan hanya karena mereka adalah "lelaki yang baik".
Hak semacam itu yang akhirnya kerap berkontribusi pada budaya pemerkosaan dan misogini. Dengan percaya atau menganggap diri mereka tak "cukup maskulin", lelaki dapat menggunakan kekerasan seksual untuk memenuhi ekspektasi gender.
Selain memotivasi pelaku, maskulinitas beracun juga bisa menjadi penghalang sistemik dan penghalang internal bagi laki-laki penyintas kekerasan seksual. Lelaki biasanya dikondisikan untuk berpikir bahwa mereka tak berisiko mengalami pelecehan seksual.