Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Toxic Masculinity Menyakiti Saya (dan Kita Semua)

3 November 2023   13:39 Diperbarui: 5 November 2023   14:00 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tak ada yang diuntungkan oleh toxic masculinity | Ilustrasi oleh Viktor Ristic via Pixabay

Jika mereka mengalaminya, dengan demikian, mereka cenderung merasa lemah atau kurang "jantan", malu dan stigma. Ini berarti, mereka menunggu lama sebelum akhirnya mencari bantuan, atau bahkan tak mengungkapkannya sama sekali.

Gerakan-gerakan seperti #MeToo telah menciptakan iklim yang lebih aman bagi perempuan untuk maju dan menerima dukungan, tapi tampaknya efek seperti itu belum tentu berlaku bagi laki-laki penyintas.

Kedua, gangguan kesehatan mental. Premis toxic masculinity dalam beberapa hal mengacu pada gagasan isolasi: lelaki seharusnya menjadi otonom, mandiri, dan dengan demikian tak menunjukkan banyak emosi (sedih, depresi, kesepian).

Bagaimana mungkin seseorang bisa bertahan dengan cara itu?

Sebagai manusia, apa pun jenis kelaminnya, kita punya kombinasi berbagai sifat. Terkadang kita kuat dan tangguh, dan terkadang kita sensitif dan berkulit tipis. Pandangan tradisional tentang maskulinitas sebagian besar menghilangkan keragaman ini.

Hal itu menolak segala sesuatu yang berbau "feminin": kelembutan, empati, dan pengertian terhadap orang lain. Lelaki, dalam stereotipnya, harus menekan emosi agar terlihat kuat dan tegar. Mencari bantuan untuk tekanan emosional adalah tanda kelemahan.

Lalu apa hasilnya?

Baik pria maupun wanita menghadapi masalah yang sama dengan depresi, kecemasan, dan penyakit mental, tapi pria lebih rentan melakukan bunuh diri ketika mengalami seluruh masalah ini. Alasannya, kebanyakan lelaki takut untuk mencari bantuan.

Penelitian menunjukkan bahwa cita-cita maskulinitas beracun merupakan penghalang besar bagi lelaki dalam mencari bantuan psikologis. Alhasil, karena mereka melewati masa-masa sulit sendirian, kesehatan mental mereka cenderung lebih rentan.

Ketiga, merusak hubungan. Maskulinitas beracun membuat kaum Adam memasuki sebuah hubungan dalam mode bertahan hidup. Ketertutupan ini menyulitkan lelaki untuk menjalin ikatan dengan teman, keluarga, dan pasangan romantisnya.

Dulu, setidaknya sampai usia 18 tahun, saya lebih dekat dengan ibu daripada ayah. Dengan ayah, topik obrolan tak pernah jauh dari persoalan sepak bola, ikan hias, dan peristiwa baru di kampung. Dengan ibu, saya curhat tentang sekolah dan pertemanan. Apa pun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun