Lihatlah Venezuela di bawah kepemimpinan Hugo Chavez.Â
Pada malam pemilihan, seorang perempuan berkata, "Demokrasi telah terinfeksi, dan Chavez adalah satu-satunya antibiotik yang kita miliki." Sayangnya, sejarah membuktikan Chavez-lah virus yang mereka khawatirkan.
Erosi demokrasi terjadi selangkah demi selangkah sampai-sampai orang menilainya sebagai sepele. Kementerian perlahan dirombak dan hakim secara diam-diam ditunjuk oleh kubu pimpinan eksekutif. Segalanya tampak normal.
Namun, tatkala momen menggetarkan itu tiba, semuanya sudah terlambat. Inilah mengapa saya khawatir bahwa klaim demokrasi yang melatarbelakangi (dan kemudian menjustifikasi) putusan MK hanyalah kosmetik belaka.
Kedua, saya juga agak mengerutkan dahi pada mereka yang menganggap putusan MK sebagai upaya untuk memberdayakan kaum muda. Katanya, kaum muda harus diberi jalan untuk menjangkau tampuk kekuasaan nasional.
Dukungan terhadap kaum muda patut diapresiasi, tapi mengaitkannya dengan putusan MK terdengar aneh buat saya. Pada dasarnya, batas usia capres dan cawapres tetap 40 tahun, kecuali jika mereka pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu.
Itu berarti, tak semua kaum muda memenuhi syarat, melainkan hanya mereka yang sudah "berpengalaman" menjadi kepala daerah. Katakanlah saat ini ada sekitar 30 kepala daerah yang berusia kurang dari 40 tahun.
Pertanyaannya, apakah mereka semua punya peluang untuk diusung menjadi capres atau cawapres? Sangat kecil, kalaupun ada. Jalan untuk bisa maju ke politik nasional jauh lebih berat, dan nyatanya sangat berbeda, dibandingkan jalan menuju politik lokal.
Prestasi mungkin bisa menjadi modal, tapi lebih penting lagi privilese politik: publisitas yang bagus di mata publik, memiliki koneksi dengan mesin penyandang dana, dan, tanpa maksud menyinggung siapa pun, punya ikatan darah dengan petahana.
Jadi, saya tak melihat putusan MK sebagai karpet merah bagi kaum muda, terutama mereka yang berasal dari kalangan akar rumput. Mungkin akan lebih tepat untuk melihatnya sebagai pemberdayaan kaum muda "yang sekaligus putra mahkota".
Ketiga, saya spontan tepuk jidat saat orang menganggap putusan MK sebagai konsekuensi dari prinsip persamaan hak. Semua warga negara, katanya, memiliki hak yang sama untuk dipilih, entah dia anak petani atau anak presiden. Biarkan rakyat yang memilih.