Saya memandang politik dinasti seperti makan buah simalakama: serba salah, maju kena mundur kena. Konstitusi tak melarangnya, tapi politik dinasti terkesan sangat mengganggu secara etika dan tampak mencerminkan nepotisme.
Terlepas dari dilema tersebut, saya sendiri cenderung pesimis, terutama menilik situasi saat ini. Dan saya pikir, lebih baik menjadi pesimis tapi waspada daripada optimis tapi naif dalam menghadapi kenyataan yang ada.
Bicara tentang politik berarti bicara tentang kepentingan semua orang. Ini berarti, lebih baik mengatakan "Hari ini mungkin akan hujan" daripada mengatakan "Hari ini tak hujan". Meski pernyataan pertama hanya spekulasi, itu berguna buat masa depan kita.
Tentu saja, kita semua tak mau menjadi seperti umat Nabi Nuh yang menertawakan seruan banjir besar, hingga akhirnya banjir besar itu benar-benar datang.
Putusan MK, Gibran, dan (potensi) politik dinasti
Pada Minggu, 22 Oktober 2023, Koalisi Indonesia Maju resmi mengusung Gibran Rakabuming Raka sebagai bacawapres mendampingi Prabowo Subianto. Pengumuman ini cukup mengejutkan, mengingat putusan Mahkamah Konstitusi masih menjadi polemik.
Hal ini menguatkan dugaan publik bahwa putusan MK terkait batas usia capres dan cawapres merupakan taktik politis untuk memberi jalan kepada keluarga istana atau elite tertentu. Terlebih, putusan MK tersebut juga dipandang memiliki sejumlah cacat hukum.
Secara pribadi, saya punya tiga kekhawatiran.
Pertama, saya agak mengernyitkan alis pada orang-orang yang mengatakan bahwa putusan MK mengenai batas usia capres dan cawapres belum tentu mendukung politik dinasti. Tentu saja itu betul, tapi hampa nilai, tautologi, seperti bilang lingkaran itu bundar.
Saya khawatir mereka lupa (atau mungkin tak tahu) bahwa demokrasi modern sering kali mati dalam kegelapan, kesenyapan, dan sangat terukur. Pemilu tetap dilaksanakan secara rutin, pemilih datang berbondong-bondong ke tempat pemungutan suara.
Segalanya tampak baik-baik saja. Namun, semua itu memang merupakan bagian dari sebuah rencana. Demokrasi digerogoti pelan-pelan, bagaikan setitik virus yang pada waktu tertentu tiba-tiba membuat penderitanya meninggal.
Lihatlah Venezuela di bawah kepemimpinan Hugo Chavez.Â
Pada malam pemilihan, seorang perempuan berkata, "Demokrasi telah terinfeksi, dan Chavez adalah satu-satunya antibiotik yang kita miliki." Sayangnya, sejarah membuktikan Chavez-lah virus yang mereka khawatirkan.
Erosi demokrasi terjadi selangkah demi selangkah sampai-sampai orang menilainya sebagai sepele. Kementerian perlahan dirombak dan hakim secara diam-diam ditunjuk oleh kubu pimpinan eksekutif. Segalanya tampak normal.
Namun, tatkala momen menggetarkan itu tiba, semuanya sudah terlambat. Inilah mengapa saya khawatir bahwa klaim demokrasi yang melatarbelakangi (dan kemudian menjustifikasi) putusan MK hanyalah kosmetik belaka.
Kedua, saya juga agak mengerutkan dahi pada mereka yang menganggap putusan MK sebagai upaya untuk memberdayakan kaum muda. Katanya, kaum muda harus diberi jalan untuk menjangkau tampuk kekuasaan nasional.
Dukungan terhadap kaum muda patut diapresiasi, tapi mengaitkannya dengan putusan MK terdengar aneh buat saya. Pada dasarnya, batas usia capres dan cawapres tetap 40 tahun, kecuali jika mereka pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu.
Itu berarti, tak semua kaum muda memenuhi syarat, melainkan hanya mereka yang sudah "berpengalaman" menjadi kepala daerah. Katakanlah saat ini ada sekitar 30 kepala daerah yang berusia kurang dari 40 tahun.
Pertanyaannya, apakah mereka semua punya peluang untuk diusung menjadi capres atau cawapres? Sangat kecil, kalaupun ada. Jalan untuk bisa maju ke politik nasional jauh lebih berat, dan nyatanya sangat berbeda, dibandingkan jalan menuju politik lokal.
Prestasi mungkin bisa menjadi modal, tapi lebih penting lagi privilese politik: publisitas yang bagus di mata publik, memiliki koneksi dengan mesin penyandang dana, dan, tanpa maksud menyinggung siapa pun, punya ikatan darah dengan petahana.
Jadi, saya tak melihat putusan MK sebagai karpet merah bagi kaum muda, terutama mereka yang berasal dari kalangan akar rumput. Mungkin akan lebih tepat untuk melihatnya sebagai pemberdayaan kaum muda "yang sekaligus putra mahkota".
Ketiga, saya spontan tepuk jidat saat orang menganggap putusan MK sebagai konsekuensi dari prinsip persamaan hak. Semua warga negara, katanya, memiliki hak yang sama untuk dipilih, entah dia anak petani atau anak presiden. Biarkan rakyat yang memilih.
Persamaan hak sangatlah penting dalam demokrasi. Betul sekali. Tapi asumsi di balik anggapan itu perlu dikoreksi. Anak petani dan anak presiden memang punya hak untuk dipilih, hanya saja, secara empiris, lapangan permainan bagi keduanya sangat timpang.
Ungkapan "biarkan rakyat yang memilih" juga sama sekali tak menyelesaikan masalah dan justru mengaburkan masalah sebenarnya. Hasil pemilu memang berada di tangan rakyat, tapi hasil pemilu (pertama-tama dan terutama) ditentukan oleh partai politik.
Itu karena rakyat hanya memilih siapa yang ada dalam menu, dan menu itu ditentukan oleh partai politik. Masalahnya, mengingat pemilu membutuhkan ongkos yang mahal dan popularitas yang tinggi, partai lebih memilih anak petani atau anak presiden?
Mari saya jelaskan lebih jauh tentang poin ketiga ini.
Privilese pencalonan
Kekhawatiran saya bukanlah hal baru. Mosca (1896) berpendapat bahwa setiap kelas punya kecenderungan untuk menjadi turun-temurun, bahkan jika hukum melarangnya. Sekalipun jabatan terbuka buat semua orang, anak presiden lebih diuntungkan daripada anak petani.
"Hukum besi oligarki" juga menyatakan bahwa bahkan dalam organisasi demokratis, pemimpin, setelah terpilih, akan mengukuhkan dirinya dalam kekuasaan, merusak prinsip demokrasi tentang lapangan permainan yang setara.
Dengan demikian, keluarga dinasti akan lebih mudah untuk memenangkan pemilu daripada talenta baru, karena di dalam dinasti terdapat mesin politik yang tangguh, dana yang besar, serta berbagai keuntungan lainnya dari menjadi petahana.
Lapangan permainannya condong ke arah dinasti.
Sejumlah temuan mendukung asumsi tersebut. Geys (2017), misalnya, menemukan bahwa politisi dinasti dengan pendidikan yang lebih rendah daripada politisi non-dinasti cenderung memenangkan pemilu di Italia dari tahun 1985-2012.
Keuntungan yang tak setara ini membuat para kandidat baru, terutama mereka yang berasal dari akar rumput, enggan untuk maju. Hal ini sejalan dengan teori industri: ketika sunk cost terlalu tinggi, perusahaan-perusahaan baru enggan masuk ke dalam pasar.
Akibatnya, tingkat partisipasi politik masyarakat berkurang, seolah siapa yang berkuasa dan sampai kapan kekuasaan tersebut berlangsung hanyalah urusan keluarga-keluarga tertentu saja.
Dalam sistem semacam ini, pencalonan dibuat seolah terbuka untuk semua orang, tapi sebenarnya para pejabat senior partai hanya tertarik pada pelamar yang sudah memiliki privilese tertentu: dana, publisitas, serta jejaring dan koneksi.
Orang mungkin bilang tak ada yang salah dengan hal itu; memilih dinasti politik bisa menjadi keputusan rasional individu, dan kehadiran politisi dinasti sah-sah saja. Siapa pun yang telah memenuhi syarat boleh mencalonkan diri.
Faktanya, politik dinasti juga terjadi di negara-negara yang demokrasinya sudah mapan.
Situasi ini, dalam kasus Indonesia, bukanlah masalah hak, tapi masalah lapangan permainan yang tak setara dan efektivitas pemerintahan dalam jangka panjang. Politik dinasti memang terjadi di negara-negara maju, tapi tak seburuk yang kita alami.
Kita telah membiarkan dinasti politik jadi norma, bukan pengecualian. Terlebih, kondisi sosial-ekonomi dan kebiasaan para politisi kita sangat kontras dengan negara-negara maju. Jadi, dengan konteks yang berbeda, apa yang baik di sana belum tentu baik di sini.
Saya ambil contoh Amerika Serikat.
Edward Kennedy dan John McCain merupakan senator yang menjabat sekian lama di negara bagian mereka masing-masing, dan mereka selalu terpilih kembali bukan karena kekuatan politik keluarga mereka, tapi keberhasilan mereka sebagai pemimpin politik.
Di sana, petahana yang preferensi kebijakannya lebih sesuai dengan pemilih lebih mungkin untuk dipilih lagi. Hasilnya, seiring waktu, pemilu akan menyaring petahana yang buruk. Tak ada urusannya dengan ikatan darah; jika kinerjanya buruk, mereka gagal.
Saya tak membela pemilu di Amerika Serikat, atau negara mana pun. Pada dasarnya, pemilu mengandung cacat yang serius. Pemilu di Amerika bahkan beberapa kali menghasilkan demagog, sebut saja Donald Trump.
Namun, setidaknya dalam banyak kasus, peluang kemenangan kandidat dinasti tak berbeda jauh dengan kandidat-kandidat biasa; bukan karena hukum, tapi karena prevalensi pemilih dan budaya etika politik di sana sudah cukup kuat.
Sebaliknya, dalam kasus Indonesia, sebuah dinasti politik memiliki (hampir) semua hal yang dibutuhkan untuk memenangkan pemilu.
Fungsi partai sebagai kendaraan politik telah merosot sampai ke tahap formalitas semata. Mereka yang ingin mencalonkan diri harus mengumpulkan dana sendiri, mencari publisitas yang baik, memperoleh peringkat yang bagus dalam jajak pendapat.
Dalam hal ini, politisi dinasti memiliki dua hal yang diperlukan untuk menang dalam sistem "tanpa partai" seperti Indonesia (dan negara-negara berkembang lainnya seperti Filipina): nama yang telah dikenal dan mesin pengumpulan dana.
Dengan kekuatan jaringan keluarga dan besarnya akumulasi kekayaan yang diperoleh lewat statusnya sebagai petahana, politisi dinasti menghasilkan arena persaingan yang tak setara dan secara serius menghalangi oposisi untuk merebut jabatan politik penting.
Selain itu, pada banyak kasus, meski mereka membangun dan memperkuat basis kekuasaan mereka melalui proses demokratis, mereka melakukannya dengan cara-cara yang kurang (atau bahkan sama sekali tak) demokratis.
Jaringan keluarga berguna untuk melakukan berbagai bentuk "menu manipulasi", misalnya jual-beli suara, politisasi lembaga negara dan penyelewengan keuangan negara, serta intimidasi melalui aparat negara.
Jadi, tak seperti politik dinasti di negara demokrasi maju, politik dinasti di negara kita sering kali mengeksploitasi pemilih, terutama mereka yang miskin dan kurang terinformasi, melalui aneka manipulasi dan mobilisasi yang merongrong bawah sadar mereka.
Menuju Pemilu 2024
Saya khawatir bahwa putusan MK membuat sebagian (besar) pemilih menghadapi Pemilu 2024 dalam keadaan marah. Mahasiswa di berbagai daerah masih melakukan aksi, dan para pakar telah menunjukkan kekecewaannya melalui berbagai cara.
Elite-elite di sana mungkin beranggapan bahwa kemarahan ini, seperti kasus-kasus dahulu, akan segera reda. Semua akan membaik dan Pemilu 2024, dengan begitu, bakal berjalan lancar dan damai. Saya juga berharap begitu, tapi sulit untuk mempercayainya.
Kemarahan, meskipun sesaat, selalu menimbulkan bekas: kekecewaan, ketidakpercayaan, dan yang paling buruk, keputusasaan terhadap sistem. Jika sudah begitu, polarisasi politik kemungkinan akan semakin mengental dan lebih sulit untuk diredakan.
Kini politik dinasti bukan hanya bertambah banyak, tapi juga menggemuk.
Di Eropa pada Abad Pertengahan, putra tertua mewarisi wilayah keluarga, sementara putra-putra yang lebih muda harus pergi dan mencari peruntungan di tempat lain. Kondisinya agak serupa tapi tak sama dengan politik Indonesia.
Di sini, keluarga dapat membantu memilih kerabatnya untuk menduduki jabatan di wilayah yang sama ataupun berbeda, sehingga dinasti menjadi gemuk, atau mengamankan tempat di cabang-cabang pemerintahan lainnya.
Dengan semakin gemuknya politik dinasti, kita sebenarnya punya kumpulan "monarki mini", yang memerintah kita secara terus-menerus untuk waktu yang sangat lama. Terkadang, sebuah dinasti runtuh hanya untuk digantikan oleh dinasti yang baru.
Dalam konteks ini, kita masih hidup di Abad Pertengahan. Apakah ini masa depan yang kita inginkan untuk negara kita?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H