Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menyoal Politik Dinasti di Indonesia

24 Oktober 2023   06:30 Diperbarui: 24 Oktober 2023   08:08 1451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya memandang politik dinasti seperti makan buah simalakama: serba salah, maju kena mundur kena. Konstitusi tak melarangnya, tapi politik dinasti terkesan sangat mengganggu secara etika dan tampak mencerminkan nepotisme.

Terlepas dari dilema tersebut, saya sendiri cenderung pesimis, terutama menilik situasi saat ini. Dan saya pikir, lebih baik menjadi pesimis tapi waspada daripada optimis tapi naif dalam menghadapi kenyataan yang ada.

Bicara tentang politik berarti bicara tentang kepentingan semua orang. Ini berarti, lebih baik mengatakan "Hari ini mungkin akan hujan" daripada mengatakan "Hari ini tak hujan". Meski pernyataan pertama hanya spekulasi, itu berguna buat masa depan kita.

Tentu saja, kita semua tak mau menjadi seperti umat Nabi Nuh yang menertawakan seruan banjir besar, hingga akhirnya banjir besar itu benar-benar datang.

Putusan MK, Gibran, dan (potensi) politik dinasti

Pada Minggu, 22 Oktober 2023, Koalisi Indonesia Maju resmi mengusung Gibran Rakabuming Raka sebagai bacawapres mendampingi Prabowo Subianto. Pengumuman ini cukup mengejutkan, mengingat putusan Mahkamah Konstitusi masih menjadi polemik.

Hal ini menguatkan dugaan publik bahwa putusan MK terkait batas usia capres dan cawapres merupakan taktik politis untuk memberi jalan kepada keluarga istana atau elite tertentu. Terlebih, putusan MK tersebut juga dipandang memiliki sejumlah cacat hukum.

Secara pribadi, saya punya tiga kekhawatiran.

Pertama, saya agak mengernyitkan alis pada orang-orang yang mengatakan bahwa putusan MK mengenai batas usia capres dan cawapres belum tentu mendukung politik dinasti. Tentu saja itu betul, tapi hampa nilai, tautologi, seperti bilang lingkaran itu bundar.

Saya khawatir mereka lupa (atau mungkin tak tahu) bahwa demokrasi modern sering kali mati dalam kegelapan, kesenyapan, dan sangat terukur. Pemilu tetap dilaksanakan secara rutin, pemilih datang berbondong-bondong ke tempat pemungutan suara.

Segalanya tampak baik-baik saja. Namun, semua itu memang merupakan bagian dari sebuah rencana. Demokrasi digerogoti pelan-pelan, bagaikan setitik virus yang pada waktu tertentu tiba-tiba membuat penderitanya meninggal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun