Dalam sistem seperti ini, pada ajang pemilihan atau debat warga negara atau pembuatan kebijakan publik, kekalahan adalah hal biasa dan bagian penting yang membuat sistem itu sendiri bekerja.
Sebagaimana ungkap Presiden Nigeria, Bola Tinubu, "Mereka yang mencari posisi elektoral tapi tak bisa bertahan dan menerima rasa sakit karena kekalahan dalam pemilihan, tak pantas memperoleh sukacita kemenangan saat tiba giliran mereka untuk menang."
Secara konkret, mereka yang kalah menunjukkan komitmennya terhadap demokrasi dengan membentuk oposisi yang setia.Â
Ikrarnya kira-kira begini: "Kami tak merendahkan sistem hanya karena kami kalah. Kami mematuhi hukum, walau lawan kami yang membuatnya. Itu karena kami yakin bahwa program politik kami tetap jauh lebih unggul daripada program mereka."
Dengan begitu, kandidat yang kalah dan para pendukungnya memiliki kekuatan untuk memastikan bahwa terpilihnya lawan mereka tak menandakan akhir zaman, selama mereka tak menyerah pada kepahitan dan keterasingan.Â
Tanpa kesediaan untuk mengambil tanggung jawab ini, demokrasi kemungkinan besar akan berbelok ke arah yang salah.
Ketika Donald Trump menang, Hillary Clinton dan timnya bertanggung jawab untuk memastikan bahwa pemerintahan Trump tak akan menghasilkan berbagai kekacauan.Â
Begitu pula ketika Prabowo-Sandiaga dinyatakan kalah dalam Pilpres 2019: mereka seharusnya menerima hasil tersebut dan menyatakan komitmen serta kesetiaannya pada prinsip-prinsip demokrasi, yaitu dengan menjadi oposisi.
Pada titik ini, mereka bukan hanya berlapang dada atas kekalahannya, tapi juga bersedia untuk terus bermain. Mereka tak memahami kekalahan sebagai akhir dari segalanya.Â
Justru, andaikan mereka terus bermain, salah satunya dengan menjadi oposisi, mereka sebenarnya sedang membuka jalan menuju kemenangan di periode mendatang.
Itu karena jika mereka berhasil menjadi oposisi yang baik, rakyat kemungkinan besar juga akan percaya bahwa mereka bisa menjadi pemerintah yang baik. Dalam konteks ini, oposisi adalah investasi politik.Â