Pilpres 2019, yang selama prosesnya berjalan relatif lancar dan damai, tiba-tiba berubah menjadi mencekam dan penuh kekerasan. Kubu yang kalah menolak kekalahannya karena menduga terdapat kecurangan pemilu. Dugaan ini saja, dan bukannya fakta, sudah cukup untuk mendorong para pendukungnya menggelar aksi protes di jalanan Jakarta.Â
Dengan motif kemarahan, tak heran kalau aksi itu berujung pada kekerasan. Demonstran terlibat bentrok dengan polisi, terkadang demonstran menyerang sesama demonstran. Dalam kondisi tak keruan itu, tak jelas lagi siapa relawan, aparat, atau provokator.
Semua orang tampaknya hanya berusaha mempertahankan diri; menyerang atau diserang.
Gubernur DKI Jakarta saat itu, Anies Baswedan, melaporkan sedikitnya ada enam orang yang tewas dalam kerusuhan di malam pertama. Namun, laporan di kemudian hari oleh Komnas HAM menunjukkan bahwa korban tewas sebenarnya berjumlah 10 orang, termasuk satu orang yang tewas di Pontianak. Korban luka-luka, menurut beberapa laporan, tak kurang dari 200 orang.
Peristiwa tersebut merupakan kerusuhan politik terburuk di Jakarta sejak aksi 1998.Â
Saking merusaknya, pihak berwenang sampai mengerahkan lebih dari 40.000 personel, menangkap ratusan orang yang dianggap perusuh, menutup akses media sosial selama beberapa waktu untuk mencegah penyebaran berita bohong.
Mahkamah Konstitusi pada Juni 2019 memutuskan bahwa bukti kecurangan pemilu, sebagaimana diklaim pihak Prabowo-Sandiaga, tak ditemukan.Â
Meski kecewa berat, Prabowo akhirnya menyatakan bahwa pihaknya menghormati keputusan pengadilan dan meminta para pendukungnya untuk melakukan hal yang sama.
Kita bisa memperdebatkan penyebab peristiwa tragis tersebut.Â
Mungkin tensi pemilu teramat tinggi, mengingat selisih hasil pilpres tak terlalu mencolok. Mungkin polarisasi partisan terlalu tajam. Mungkin Pemilu Serentak 2019 memang kurang berintegritas, entah faktanya begitu atau hanya sekadar dugaan.
Tapi, perspektif mana pun yang kita ambil ujung-ujungnya tetap akan mengarahkan kita pada satu faktor pasti: keengganan untuk menerima kekalahan.Â
Padahal, prinsip menerima kekalahan adalah ciri fundamental yang membedakan masyarakat demokratis dari rezim otokratis.
Prinsip itulah yang menandakan komitmen warga negara terhadap supremasi hukum dan konstitusi, serta bentuk penghormatan terhadap kehendak rakyat dan nilai transisi kekuasaan secara damai. Demokrasi, pada intinya, mewujudkan prinsip menerima kekalahan sebagai bagian integral dari proses politik.
Itu bukan berarti menggugat hasil pemilu tak diperbolehkan. Konstitusi kita mengizinkannya.Â
Namun, saat gugatan tersebut hanya didasarkan pada keengganan untuk menerima kekalahan, misalnya mengkhawatirkan nasib politik dan aneka kepentingannya sendiri di masa depan, bukan alasan lain yang lebih vital dan berbasis bukti, demokrasi akan mati.
Kita perlu membicarakan ini untuk preseden Pemilu 2024 mendatang.
Menerima kekalahan adalah bentuk komitmen terhadap aturan main demokrasi
"Saya berjanji dan berikrar," kata Donald Trump kepada para pendukungnya di Ohio beberapa hari menjelang pemungutan suara Pemilu 2016, "bahwa saya akan menerima sepenuhnya hasil pemilihan presiden yang hebat dan bersejarah ini - jika saya menang."Â
Demikian pula, pada Pemilu 2020, Trump menolak berjanji untuk menerima hasil pemilu kalau pihaknya kalah. Dan Trump benar-benar "menepati" janjinya.Â
Dia dan para sekutunya menggugat hasil Pemilu 2020 ke pengadilan, bersikeras bahwa kekalahannya disebabkan oleh kecurangan serta berbagai kejanggalan lainnya selama proses pemilu. Akan tetapi, para pejabat kepemiluan, baik dari partai lawan maupun partainya sendiri, berterus-terang tak menemukan adanya kecurangan besar-besaran.
Orang-orang seperti Trump jelas berbahaya untuk kelangsungan hidup demokrasi: mereka ikut bermain di dalamnya, tapi, jika tak membuat aturan sendiri, mereka menolak hasil permainan yang ada kalau mereka kalah. Trump berterus-terang, yang lainnya mungkin bermain lebih halus.
Setiap kali mereka menang, mereka akan mengatakan bahwa itu adalah kemenangan bagi demokrasi dan rakyat secara keseluruhan. Sebaliknya, andai mereka kalah, mereka akan selalu berusaha mencari alasan untuk menyalahkan semua orang atau apa pun selain diri mereka sendiri.Â
Selayaknya orang yang kalah tinju, mereka membingkai diri sebagai korban yang terus-menerus kena pukul. Mereka cemas tiada henti tentang berbagai kemungkinan yang terjadi dari suatu pemilu.Â
Dalam kondisi normal, sebenarnya wajar jika politisi merasa cemas dan takut akan kalah dalam pemilihan (atau harus berhenti menjabat). Sampai batas tertentu, itulah inti dari demokrasi. Demokrasi memang penuh risiko.Â
Ritual formal demokrasi seperti pemilu memiliki terlalu banyak hal yang tak diketahui dan risiko yang tak terhitung. Bahkan pemain politik yang paling ahli sekalipun tak pernah bisa memastikan kemenangan sampai hasilnya keluar.
Pemilih dapat bergoyang dan berayun ke segala arah. Peraturan bisa berubah, dan parameter yang menentukan kemenangan atau kekalahan bisa berubah dengan variabel-variabel yang tak terduga.Â
Jadi, meski kemenangan dalam pemilu tetap menjadi hak istimewa, kemungkinan kekalahan dan kerugian adalah kenyataan yang selalu ada, mirip seperti bayangan kita sendiri. Seperti ajang kompetisi apa pun, pemilu akan selalu punya pemenang dan pecundang.
Masalahnya, kenyataan tersebut jarang diterima dengan baik oleh para politisi kita. Sebagian besar dari mereka tetap paranoia terhadap hasil akhir pemilu, takut ongkos dan modal politik yang telah mereka keluarkan berakhir sia-sia.Â
Alhasil, tak sedikit dari mereka yang termotivasi untuk "menang dengan cara apa pun", menghalalkan jalan-jalan curang demi menghindari kerugian.
Tentu saja, menerima kekalahan politik bukanlah hal mudah. Mereka yang kalah akan merasa jengkel dan frustrasi, kemudian menerima lebih sedikit manfaat dari sistem.Â
Sejumlah studi empiris telah mendokumentasikan bagaimana pihak yang kalah dalam pemilu cenderung meragukan, bahkan menolak, keputusan-keputusan politik dibandingkan dengan pihak yang menang. Namun demikian, inilah tantangan demokrasi.
Setiap politisi mengharapkan kemenangan, tapi, pada malam pemilihan, ketika mereka dipastikan kalah dan mungkin harus menyerahkan jabatan yang telah lama dipegangnya kepada yang lain, mereka seharusnya naik ke atas panggung untuk mengakui kekalahan dan meminta para pendukungnya untuk melakukan hal serupa.
Dalam pengertian ini, demokrasi bergantung pada pecundang-pecundang politik yang bersedia mengakui keabsahan dari kekalahan mereka. Walau terasa berat dan pahit, itulah harga yang harus dibayar oleh mereka yang berkomitmen pada permainan demokrasi.Â
Dalam sistem seperti ini, pada ajang pemilihan atau debat warga negara atau pembuatan kebijakan publik, kekalahan adalah hal biasa dan bagian penting yang membuat sistem itu sendiri bekerja.
Sebagaimana ungkap Presiden Nigeria, Bola Tinubu, "Mereka yang mencari posisi elektoral tapi tak bisa bertahan dan menerima rasa sakit karena kekalahan dalam pemilihan, tak pantas memperoleh sukacita kemenangan saat tiba giliran mereka untuk menang."
Secara konkret, mereka yang kalah menunjukkan komitmennya terhadap demokrasi dengan membentuk oposisi yang setia.Â
Ikrarnya kira-kira begini: "Kami tak merendahkan sistem hanya karena kami kalah. Kami mematuhi hukum, walau lawan kami yang membuatnya. Itu karena kami yakin bahwa program politik kami tetap jauh lebih unggul daripada program mereka."
Dengan begitu, kandidat yang kalah dan para pendukungnya memiliki kekuatan untuk memastikan bahwa terpilihnya lawan mereka tak menandakan akhir zaman, selama mereka tak menyerah pada kepahitan dan keterasingan.Â
Tanpa kesediaan untuk mengambil tanggung jawab ini, demokrasi kemungkinan besar akan berbelok ke arah yang salah.
Ketika Donald Trump menang, Hillary Clinton dan timnya bertanggung jawab untuk memastikan bahwa pemerintahan Trump tak akan menghasilkan berbagai kekacauan.Â
Begitu pula ketika Prabowo-Sandiaga dinyatakan kalah dalam Pilpres 2019: mereka seharusnya menerima hasil tersebut dan menyatakan komitmen serta kesetiaannya pada prinsip-prinsip demokrasi, yaitu dengan menjadi oposisi.
Pada titik ini, mereka bukan hanya berlapang dada atas kekalahannya, tapi juga bersedia untuk terus bermain. Mereka tak memahami kekalahan sebagai akhir dari segalanya.Â
Justru, andaikan mereka terus bermain, salah satunya dengan menjadi oposisi, mereka sebenarnya sedang membuka jalan menuju kemenangan di periode mendatang.
Itu karena jika mereka berhasil menjadi oposisi yang baik, rakyat kemungkinan besar juga akan percaya bahwa mereka bisa menjadi pemerintah yang baik. Dalam konteks ini, oposisi adalah investasi politik.Â
Oposisi yang demokratis mengkritik pemerintah, tapi tak boleh menyangkal legitimasi pemerintah. Jika kritik-kritik ini menjadi alternatif bernilai lebih, rakyat akan terpikat.
Jadi, sama pentingnya dengan bagaimana seseorang menang, bagaimana seseorang kalah juga sangat penting. Jika dilakukan dengan benar, hal ini bisa membantu nasib politik pihak yang kalah.Â
Keindahan demokrasi adalah bahwa mereka yang menang hari ini bisa saja kalah besok, dan mereka yang kalah hari ini selalu punya kesempatan untuk berkompetisi dan menang di putaran berikutnya.
Jangan biarkan demokrasi mati di kotak suara
Kebenaran tragis tentang kerusuhan pasca Pemilu 2019 adalah bahwa itu akan menjadi preseden yang selamanya menghantui politik Indonesia.Â
Pada Pemilu 2024 mendatang, mungkin kubu yang kalah (atau siapa pun) akan kembali menolak hasil pemilu, lalu menghancurkan demokrasi sembari mereka berjuang untuk mempertahankan kekuasaan dan martabatnya.
Dengan demikian, upaya untuk mencekalnya terulang lagi harus masuk ke dalam prioritas peserta dan penyelenggara pemilu. Jika peserta yang kalah tak mau menerima kekalahan, seluruh usaha demokrasi kita selesai.Â
Kompetisi yang adil berarti pemenang berkuasa atas dasar kehendak dan pilihan rakyat, bukan memaksakan kemauan sendiri.
Terlebih, secara teori, pemungutan suara seharusnya menghasilkan perdamaian. Seorang realis sekeras ilmuwan politik Adam Przeworski menggambarkan pemilu sebagai sarana untuk menjawab pertanyaan siapa yang lebih kuat tanpa harus ada baku tembak.
Spesifiknya lagi, warga negara yang demokratis haruslah pecundang yang baik, yaitu bersedia menerima kekalahan dengan lapang dada karena menyadari bahwa permainan demokrasi tak akan selalu berjalan sesuai dengan harapan mereka.Â
Demokrasi bukanlah sebuah permainan yang bisa dimainkan sesuka hati.
Tak pelak lagi, memenangkan pemilu di setiap tingkatan sangatlah penting. Namun pada akhirnya, memenangkan pemilu saja tak pernah cukup.Â
Pada Pemilu 2024 nanti, ketika surat suara telah dihitung, kita berharap kandidat yang kalah akan menelepon pemenang untuk mengucapkan selamat dan kemudian secara terbuka mengakui kehendak para pemilih.
Jika pemilu tahun depan mengakibatkan korban jiwa lagi, demokrasi kita akan ikut mati bersama mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H