Saya suka berjalan kaki dan saya merasa sangat beruntung karena masih bisa melakukannya. Saya tak bisa membayangkan hidup tanpa berjalan kaki. Kebiasaan ini berakar pada masa kecil saya.
Saat SD, saya pulang-pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Ini memakan waktu sekitar 15 menit. Saya melakukannya karena saya tak punya cukup uang untuk ongkos angkot. Kebiasaan ini berlanjut sampai SMP, dengan waktu tempuh sekitar 10 menit.
Kebiasaan itu mulai memudar saat SMA. Jarak rumah dan sekolah terlampau jauh, tak masuk akal kalau saya harus berjalan kaki, jadi saya terbiasa naik angkot. Ini membawa saya ke dalam pola yang akrab bagi kebanyakan dari kita: jauh atau dekat, naiklah mobil atau motor.
Hari-hari saya dihabiskan dengan menatap layar ponsel, malam hari hanya berbaring di sofa. Kombinasi antara kemalasan dan mengendarai motor menjadikan tubuh saya lebih bulat, lebih pegal, lebih kaku, lebih bungkuk. Pikiran saya jadi gampang cemas.
Ketika masuk kuliah, terutama setahun setelahnya, karena jarak kos dan kampus bisa ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 10 menit, saya bertekad untuk menghidupkan kembali cinta lama saya. Hasilnya, saya jatuh cinta lagi dengan berjalan kaki.
Kala itu, tinggal di lingkungan yang serba asing, berjalan kaki terasa lebih memikat dan mendebarkan. Tanahnya basah. Jenuh. Rasanya begitu lambat. Tapi, di hadapan wajah-wajah dan lanskap baru, saya meresapi semua itu. Saya menyusurinya dengan riang.
Kenyataannya, jalan kaki punya seabrek manfaat bagi kesehatan fisik maupun mental: meningkatkan fungsi kekebalan tubuh, menurunkan berat badan, menambah kebugaran, dan berjalan kaki hanya 11 menit sehari dapat menghentikan 10% kematian dini.
Tetap saja, sekalipun daftarnya lebih panjang lagi, itu semua tak menambah atau mengurangi kecintaan saya pada jalan kaki. Bagi saya, jalan kaki adalah cara untuk terhubung dengan berbagai tempat, sebuah alat transportasi. Saya jarang memikirkan manfaatnya.
Maksud saya, meski saya sering merasakan manfaatnya, saya jarang memikirkan bagaimana dampak jalan kaki terhadap saya. Dalam benak saya, satu-satunya alasan adalah bahwa jalan kaki sering membuat saya merasa lebih baik. Kemudian saya melangkah keluar.
Baru-baru ini, saya mendapati hubungan aneh antara kesukaan saya dalam berjalan kaki dan menulis. Ini adalah cara yang sempurna untuk memulai sebuah proyek kreatif yang sudah ada dalam pikiran saya, atau untuk mengumpulkan berbagai hal menarik untuk nanti.
Berjalan kaki sambil "menulis"
Minggu lalu, saya mencoba menyelesaikan sebuah esai yang telah lama menguras waktu dan pikiran saya. Dua minggu berlalu sejak pertama saya mengerjakannya secara serius, kendati ide mentahnya sudah menggantung di benak saya selama berminggu-minggu.
Saya mentok. Argumen saya benar-benar monoton dan saya tak terlalu yakin dengan apa yang saya katakan. Pandangan saya beralih-alih dari jendela ke layar laptop. Beberapa menit saya hanya memainkan pensil dan kertas. Pada dasarnya, saya menyerah.
Saat itu Sabtu pertama di bulan September. Setelah enam jam duduk dan membungkuk tanpa hasil memuaskan, saya pikir jalan-jalan adalah hal yang paling baik untuk dilakukan. Saya pergi ke luar dan mendapati diri terpapar sinar matahari sore yang keemasan.
Saya menyusuri trotoar kampus menuju Gerbang Lama Unpad. Saya menemukan pohon favorit saya: entah apa namanya, tinggi pohon ini sekitar dua kali tinggi badan saya, dahannya dipenuhi bunga-bunga merah muda dan daun-daun hijau tua.
Saya mendongakkan kepala, memandang gugusan daunnya yang kasar. Suasana agak sepi karena akhir pekan. Saya menarik napas dalam-dalam. Saya terobsesi dan ingin berdiri di bawah pohon ini setiap hari. Dia adalah teman ideal untuk menikmati aura sore seperti ini.
Tak lama, saya berbelok ke jalan setapak yang mengikuti Danau Arboretum Unpad. Kilauan sinar matahari membias di permukaan danau. Dengan cahaya lebih banyak, dorongan serotonin juga lebih banyak. Kebahagiaan saya telah meningkat berkali-kali lipat.
Saya mulai menyadari hal-hal yang biasa terlewatkan ketika berjalan cepat. Saya mencium aroma tajam dari kayu coklat kemerah-merahan, mendengar kicauan burung-burung, menyadari betapa miripnya suara angin pepohonan dengan deburan ombak di pantai.
Jalan setapak dan saya; kami memiliki hubungan yang istimewa. Entah menendang debu dari hamparan tanah yang terpanggang matahari atau terperosok ke dalam lumpur yang basah kuyup karena hujan, kaki saya telah meninggalkan jejaknya.
Di tepi danau, saya agak bergidik oleh semilir angin yang menghasilkan ombak-ombak kecil di danau. Rambut saya berantakan, tapi saya tak peduli. Pada momen yang tenang itu, saya merasa diri saya seperti perangkat yang baru saja mengalami restart.
Kemudian saya memikirkan sesuatu yang telah saya tinggalkan di belakang: sebuah esai dan beberapa tugas kuliah. Saya memikirkan Hannah Arendt dan kemungkinan relevansi teorinya ke dalam persoalan yang tengah menyibukkan pikiran saya.
Kata Arendt, kesepian dan isolasi, bukan kesendirian, yang memungkinkan adanya totalitarianisme. Bagaimana mungkin kesepian bisa menjadi masalah politik? Apakah Hitler dan para pengikutnya adalah orang-orang yang kesepian? Beberapa letupan muncul; ini pertanda bagus.
Ketika matahari meluncur turun dan kendaraan-kendaraan mulai menyalakan lampunya, saya memutuskan untuk pulang dengan jalan memutar ke jalan raya utama. Saya tahu suasananya akan lebih bising, tapi saya memang menyukai aura perkotaan di sore hari.
Bisa Anda lihat, berjalan kaki, bagi saya, adalah kebebasan, sebuah pelarian bagi pikiran dan tubuh. Ada sesuatu yang menggelegak di antara kedua telinga saya, solusi baru untuk pertanyaan-pertanyaan yang saat itu mengganggu saya.
Begitu tiba di kamar kos, selepas mandi, saya merapikan meja dan mulai fokus kembali ke tulisan saya yang masih ompong. Tiba-tiba saya menemukan sejumlah kejelasan, dan satu petunjuk kecil telah menuntun saya ke petunjuk-petunjuk lainnya yang lebih besar.
Saya menyelesaikan esai saya malam itu juga.
Jalan kaki membantu kita berpikir jernih
Hubungan antara berjalan kaki dan menulis, tentu saja, bukan pengalaman unik saya. Kesadaran akan hubungan keduanya bahkan terbilang kuno. Mundur ke zaman Yunani Kuno, Hippocrates menyatakan bahwa "berjalan kaki adalah obat terbaik bagi manusia."
Sebagai seorang dokter, Hippocrates juga tahu bahwa berjalan kaki memberikan lebih dari sekadar manfaat fisik ketika dia menyarankan, "Jika suasana hati Anda buruk, berjalan kakilah. Jika suasana hati Anda masih buruk, berjalan kakilah lagi."
Dia menyinggung apa yang dibuktikan oleh banyak orang setelahnya bahwa jalan kaki tak hanya menyehatkan tubuh, tapi juga menenangkan pikiran, membakar ketegangan, dan membuat masalah kita surut ke dalam perspektif yang lebih mudah dikelola.
Jean-Jacques Rousseau mengakui, "Ada sesuatu tentang berjalan kaki yang menghidupkan dan mengaktifkan ide-ide saya." Bahkan Friedrich Nietzsche yang terkenal pesimis pun mengakui, "Semua pemikiran yang sungguh hebat dikandung saat berjalan kaki."
William Wordsworth bersumpah untuk berjalan kaki, begitu pula Virginia Woolf. Thomas Mann meyakinkan kita, "Pikiran akan muncul dengan jelas ketika kita berjalan kaki." Kata J.K. Rowling, "Tak ada yang lebih baik daripada jalan-jalan di malam hari untuk mendapatkan ide."
Cerita saya sebelumnya adalah gambaran keberuntungan. Pada banyak kasus, efek berjalan kaki tak sebesar itu, tapi sesederhana membuat saya tenang dan kadang-kadang membantu saya melepaskan emosi yang lama terpendam dalam benak saya.
Itu karena, sebagai sejenis hobi, jalan kaki tak terlalu diganggu oleh seruan untuk mengalahkan rekor pribadi kita, untuk saling mengungguli satu sama lain saat kita berjalan-jalan pada hari Minggu di alun-alun atau trotoar kota.
Ketika berjalan kaki, kita tak ditekan untuk produktif, bahkan pada waktu luang. Tak pernah saat berjalan kaki saya merasa harus berusaha lebih keras atau menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk tugas kuliah saya, dan inilah mengapa saya menyukainya.
Jalan kaki menjernihkan kepala dari pikiran-pikiran yang sibuk, setiap langkah membentuk ritme untuk berpikir dengan tenang. Saat kaki saya mulai bergerak, pikiran saya mulai mengalir bebas. Di momen-momen seperti ini, saya paling menyukai diri saya sendiri.
Selain penenang dan pelarian pikiran, jalan kaki juga terkadang dapat menjadi jalan bagi masuknya inspirasi. Duduk di depan meja sepanjang hari bisa bikin otak kita "korslet", tapi berjalan kaki sambil mengagumi lanskap sekitar bisa bikin pikiran kita mendesis.
Sistem sensorik kita bekerja paling baik saat kita bergerak di dunia. Dengan kata lain, berjalan kaki dapat membuat indera kita menjadi lebih tajam. Saya paling baik memerhatikan detail pepohonan, dedaunan, aroma, dan suara adalah ketika saya berjalan kaki.
Di momen itu, saya membuka diri terhadap dunia, membuat kulit saya berpori-pori, dan membiarkan semua kesan mengalir begitu saja. Saya menyadari rasa kesepian saya, terkadang depresi saya. Tapi, seperti bermeditasi, saya menerima tanpa menghakiminya.
Karena saya tak usah mencurahkan banyak usaha sadar untuk berjalan, perhatian saya bebas mengembara; dunia di hadapan saya terhampar seperti parade gambar-gambar dari teater pikiran. Kondisi mental seperti inilah yang oleh berbagai penelitian dikaitkan dengan kreativitas.
Mari hidupkan (kembali) budaya jalan kaki
Sebagian besar artikel ini disusun saat saya sedang berjalan kaki. Terkadang saya sengaja menyendiri, berharap ide-ide saya akan menyatu. Di lain waktu, saya mendapati diri saya merenungkan paragraf seperti ini saat saya berjalan ke kedai kopi atau kantin.
Ketika saya bilang bahwa pikiran-pikiran tergerak, yang mengarah pada ide-ide inovatif dan kreatif, pada sebuah bait atau paragraf, tentu saja saya sedang menggoda Anda untuk ikut menyukai kebiasaan berjalan kaki.
Tapi, sebaiknya Anda tak usah berharap sebanyak itu. Kita harus memanfaatkan karunia berjalan kaki untuk berhenti memikirkan hal-hal ruwet dan rumit, dan justru mulai melakukan apa yang diminta oleh berjalan kaki: memerhatikan hal-hal di sekitar.
Katakan, "Sekarang aku berjalan kaki." Bunyikan lonceng dalam pikiran untuk bersiap-siap. Bernapaslah dalam-dalam. Rasakan kerikil berderak di bawah kaki dan bagaimana daun-daun tersenyum pada kita. Dunia serasa menjadi lebih muda, ditinggikan.
Orang lain mungkin berjalan bersama Anda, tapi tak ada yang bisa berjalan untuk Anda. Ini gratis, seperti matahari di siang hari dan bintang-bintang di malam hari. Yang harus kita lakukan hanyalah berdiri; sisanya, jalanan akan membawa kita ke mana-mana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H