Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Alasan Mengapa Berjalan Kaki Membantu Saya Menulis Lebih Baik

12 September 2023   20:14 Diperbarui: 13 September 2023   14:01 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minggu lalu, saya mencoba menyelesaikan sebuah esai yang telah lama menguras waktu dan pikiran saya. Dua minggu berlalu sejak pertama saya mengerjakannya secara serius, kendati ide mentahnya sudah menggantung di benak saya selama berminggu-minggu.

Saya mentok. Argumen saya benar-benar monoton dan saya tak terlalu yakin dengan apa yang saya katakan. Pandangan saya beralih-alih dari jendela ke layar laptop. Beberapa menit saya hanya memainkan pensil dan kertas. Pada dasarnya, saya menyerah.

Saat itu Sabtu pertama di bulan September. Setelah enam jam duduk dan membungkuk tanpa hasil memuaskan, saya pikir jalan-jalan adalah hal yang paling baik untuk dilakukan. Saya pergi ke luar dan mendapati diri terpapar sinar matahari sore yang keemasan.

Saya menyusuri trotoar kampus menuju Gerbang Lama Unpad. Saya menemukan pohon favorit saya: entah apa namanya, tinggi pohon ini sekitar dua kali tinggi badan saya, dahannya dipenuhi bunga-bunga merah muda dan daun-daun hijau tua.

Saya mendongakkan kepala, memandang gugusan daunnya yang kasar. Suasana agak sepi karena akhir pekan. Saya menarik napas dalam-dalam. Saya terobsesi dan ingin berdiri di bawah pohon ini setiap hari. Dia adalah teman ideal untuk menikmati aura sore seperti ini.

Tak lama, saya berbelok ke jalan setapak yang mengikuti Danau Arboretum Unpad. Kilauan sinar matahari membias di permukaan danau. Dengan cahaya lebih banyak, dorongan serotonin juga lebih banyak. Kebahagiaan saya telah meningkat berkali-kali lipat.

Saya mulai menyadari hal-hal yang biasa terlewatkan ketika berjalan cepat. Saya mencium aroma tajam dari kayu coklat kemerah-merahan, mendengar kicauan burung-burung, menyadari betapa miripnya suara angin pepohonan dengan deburan ombak di pantai.

Jalan setapak dan saya; kami memiliki hubungan yang istimewa. Entah menendang debu dari hamparan tanah yang terpanggang matahari atau terperosok ke dalam lumpur yang basah kuyup karena hujan, kaki saya telah meninggalkan jejaknya.

Di tepi danau, saya agak bergidik oleh semilir angin yang menghasilkan ombak-ombak kecil di danau. Rambut saya berantakan, tapi saya tak peduli. Pada momen yang tenang itu, saya merasa diri saya seperti perangkat yang baru saja mengalami restart.

Kemudian saya memikirkan sesuatu yang telah saya tinggalkan di belakang: sebuah esai dan beberapa tugas kuliah. Saya memikirkan Hannah Arendt dan kemungkinan relevansi teorinya ke dalam persoalan yang tengah menyibukkan pikiran saya.

Kata Arendt, kesepian dan isolasi, bukan kesendirian, yang memungkinkan adanya totalitarianisme. Bagaimana mungkin kesepian bisa menjadi masalah politik? Apakah Hitler dan para pengikutnya adalah orang-orang yang kesepian? Beberapa letupan muncul; ini pertanda bagus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun