Teman (atau sahabat, saya tak terlalu membedakan kedua istilah ini) bukanlah satu-satunya yang melakukan hal tersebut; ada orang tua, guru, rekan kerja, dan banyak orang lain yang berperan dalam proses pembentukan diri seumur hidup.
Namun, pada umumnya, teman punya pemahaman yang lebih mendalam mengenai karakter kita, dan mereka dapat memengaruhi aspek-aspek yang lebih dalam dan lebih penting dari diri kita. Demikianlah, kadang-kadang, teman dapat menjadi bibit yang buruk.
Di samping itu, seperti yang sudah saya katakan, persahabatan bisa menyakiti kita. Rasanya saya pernah mendengar sebuah pepatah yang bilang begini: "Apa yang membuatmu paling bahagia, juga dapat menjadi sumber rasa sakit terbesarmu."
Ada banyak cara bagaimana seorang sahabat menyakiti kita. Pengkhianatan mungkin adalah jenis yang paling sering terjadi, tapi saya punya versi saya sendiri: rasa sakit terbesar dalam sebuah persahabatan adalah kemungkinan kehilangan persahabatan itu sendiri.
Saya seorang introver. Saya tak keberatan jika hanya memiliki satu-dua teman dekat. Bahkan faktanya memang selalu begitu. Tapi mereka bukanlah orang yang sama. Dalam setiap fase kehidupan saya, satu sahabat rasanya harus pergi untuk mendapatkan satu sahabat baru.
Dan tak peduli seberapa seringnya saya kehilangan sahabat, rasa sakitnya selalu sama. Saya masih bisa mengingat dengan baik setiap kenangan bersama mereka, dan kadang saya harus mengingat nama lengkap mereka untuk yakin bahwa saya sudah jadi teman yang baik.
Kehilangan teman bermain atau sekutu di sekolah adalah satu hal; kehilangan seorang teman dekat adalah hal lain. Mereka menarik segala aspek dari diri kita yang terdalam, dan mereka turut mengambil bagian ketika kita menentukan siapa kita.
Kata pepatah Yunani Kuno: "Tunjukkan padaku teman-temanmu, dan aku akan menunjukkan siapa dirimu." Kehilangan sahabat, dengan demikian, hampir sama artinya seperti duka atas kehilangan diri sendiri.
Interaksi yang bergantung pada rasa cinta tak punya akhir yang bisa ditentukan. Tak ada yang tahu ke mana persahabatan akan mengarah. Kita hanya tahu ketika kita telah dibawa ke sana.
Persahabatan tak perlu menjadi sempurna
Tetap saja, "tanpa teman, tak ada yang akan memilih untuk hidup, meskipun dia mempunyai semua barang lainnya," seperti yang ditulis Aristoteles. Dalam hal ini, persahabatan memang tak selalu baik secara moral, tapi itu selalu indah.
Dalam bukunya "On Friendship", Alexander Nehamas berpendapat bahwa persahabatan sama sekali bukan tentang moralitas, dan kita menghargainya bukan karena persahabatan itu selalu baik, tapi karena persahabatan itu indah.