Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Tak Ada Persahabatan yang Sempurna, dan Itu Bukan Masalah

9 Juli 2023   08:32 Diperbarui: 12 Juli 2023   20:20 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Persahabatan tak perlu menjadi sempurna untuk membuat kita bahagia | Ilustrasi oleh Rachel Claire via Pexels

Pada tahun 1970-an, psikolog Daniel Kahneman dan Amos Tversky menulis serangkaian penelitian orisinal yang meruntuhkan asumsi kita tentang proses pengambilan keputusan. Mereka lantas disebut sebagai bapak ekonomi perilaku.

Makalah mereka menunjukkan bahwa otak manusia bergantung pada jalan pintas mental dan bias dalam pengambilan keputusan, yang acapkali membawa orang ke tujuan yang tak masuk akal. Tahun 2002, sekitar 6 tahun setelah Amos meninggal, Kahneman mendapat Hadiah Nobel.

Amos dan Kahneman adalah salah satu kemitraan terhebat dalam sejarah ilmu pengetahuan. Keduanya mengeksplorasi cara kerja pikiran manusia, tapi mereka sendiri sebenarnya punya kepribadian yang sangat berbeda sehingga tak terlihat seperti teman atau kolega.

Amos merupakan seorang pejuang yang brilian, percaya diri, dan ekstrover. Sementara itu, Kahneman, seorang buronan Nazi di masa kecilnya, adalah seorang introver yang senantiasa mencari tahu tentang dirinya sendiri - sumber ide-idenya.

Bagaimanapun, mereka mampu bekerja sama dengan sangat erat sampai-sampai mereka tak bisa mengingat otak siapa yang melahirkan ide yang mana, atau siapa yang harus mengklaim temuan dan pujian.

Mereka melempar koin untuk menentukan penulis utama pada makalah pertama yang mereka tulis, dan hanya bergantian setelahnya. Mereka mungkin telah mengubah, untuk selamanya, bagaimana manusia melihat pikirannya sendiri.

Saya pikir itulah jenis persahabatan yang kita impikan. Kita dan sahabat kita bertemu dalam gairah yang sama. Mereka bukan hanya mendukung kita, tapi juga mendorong potensi kita. Satu waktu, lama dan penuh kegembiraan, kita mencapai mimpi bersama mereka.

Kenyataannya, begitu pula persahabatan Kahneman dan Amos, keseharian persahabatan lebih dipenuhi oleh hal-hal sepele daripada pencapaian mengagumkan. Bahkan tak semua ikatan persahabatan berakhir memuaskan. Tak ada persahabatan yang sempurna.

Persahabatan tak pernah sempurna

Gambaran kita tentang persahabatan yang ideal biasanya diromantisasi oleh industri hiburan. Dua remaja bertemu di kelas, keduanya memiliki kepribadian yang sangat kontras. Konflik muncul, berpisah sejenak, tapi akhirnya mereka mencapai impian bersama.

Dalam tradisi intelektual, topik persahabatan juga cenderung ditampilkan sisi cerahnya saja. "Apa itu teman? Satu jiwa yang tinggal di dalam dua tubuh," kata Aristoteles. Dia melihat persahabatan sebagai hubungan yang ideal, bahkan tergolong sebuah kebajikan (virtue).

Namun, saat memuji persahabatan, kita sering lupa bahwa interaksi sehari-hari para sahabat jauh lebih sering bersifat biasa dan sepele. Kita jarang mengungkit fakta bahwa persahabatan terkadang bisa sangat berbahaya.

Kita berpaling dari sisi persahabatan yang lebih gelap, lebih menyakitkan, dan lebih banyak berkompromi. Bahkan sahabat yang paling kita cintai dan hargai, ironisnya, juga merupakan benih rasa sakit terbesar yang mungkin pernah kita alami.

Persahabatan, dengan demikian, memiliki wajah ganda. Persahabatan dapat menjadi sumber kebahagiaan dan keamanan kita, tapi secara bersamaan juga dapat menyakiti kita, bahkan mungkin lebih sakit dari yang ditimbulkan hubungan romantis kita.

Karena setiap orang punya kepribadian dan perspektif yang unik, maka ikatan persahabatan selalu matang untuk konflik. Harapan ideal kita terhadap sahabat, yang ditempa oleh berbagai kesibukan dan hubungan kita yang lain, bikin persahabatan sangat rentan.

Alih-alih sukses bersama, seperti yang diromantisasi film-film, sebuah persahabatan mungkin malah berakhir sebagai persaingan pribadi dan profesional, walaupun masing-masing masih saling membutuhkan. Begitulah lagu-lagu rumit persahabatan.

Sekarang taruhlah kita bersahabat. Kita berbagi cerita selama berjam-jam, dan rasanya waktu tak pernah bergerak secepat ini. Dengan keterbukaan dan kesetaraan ini, Anda mengeluarkan versi terbaik diri Anda. Saya semakin mengenal Anda, dan sebaliknya.

Tapi jika Anda bisa mengeluarkan yang terbaik, Anda juga bisa mengeluarkan yang terburuk. Dan terkadang Anda memang begitu. Kemungkinan kesalahan dan kegagalan yang selalu ada merupakan penyebab dari hal terbaik dan terburuk dalam persahabatan.

Katakanlah saya seorang perokok berat. Satu waktu saya bercerita kepada Anda bahwa rokok itu membuat saya lebih berdaya dan, entah benar atau tidak secara ilmiah, memudahkan saya untuk berkonsentrasi. Saya tak mengajak Anda untuk ikut merokok. Tak niat sama sekali.

Apa yang Anda lakukan, tentu saja, tak hanya tunduk pada interpretasi Anda sendiri. Sebagai sahabat Anda, salah satu orang yang paling Anda hargai, Anda mulai memikirkan cerita saya. Anda punya pendapat sendiri, dan sekarang saya ikut andil di dalamnya.

Lalu esok hari, Anda mulai merokok.

Itulah mengapa kita diminta untuk berhati-hati dalam memilih teman: mereka memengaruhi apa yang kita lakukan dan bagaimana kita memahaminya, bagaimana kita memahami diri kita sendiri, dan seperti apa kita nantinya.

Teman (atau sahabat, saya tak terlalu membedakan kedua istilah ini) bukanlah satu-satunya yang melakukan hal tersebut; ada orang tua, guru, rekan kerja, dan banyak orang lain yang berperan dalam proses pembentukan diri seumur hidup.

Namun, pada umumnya, teman punya pemahaman yang lebih mendalam mengenai karakter kita, dan mereka dapat memengaruhi aspek-aspek yang lebih dalam dan lebih penting dari diri kita. Demikianlah, kadang-kadang, teman dapat menjadi bibit yang buruk.

Di samping itu, seperti yang sudah saya katakan, persahabatan bisa menyakiti kita. Rasanya saya pernah mendengar sebuah pepatah yang bilang begini: "Apa yang membuatmu paling bahagia, juga dapat menjadi sumber rasa sakit terbesarmu."

Ada banyak cara bagaimana seorang sahabat menyakiti kita. Pengkhianatan mungkin adalah jenis yang paling sering terjadi, tapi saya punya versi saya sendiri: rasa sakit terbesar dalam sebuah persahabatan adalah kemungkinan kehilangan persahabatan itu sendiri.

Saya seorang introver. Saya tak keberatan jika hanya memiliki satu-dua teman dekat. Bahkan faktanya memang selalu begitu. Tapi mereka bukanlah orang yang sama. Dalam setiap fase kehidupan saya, satu sahabat rasanya harus pergi untuk mendapatkan satu sahabat baru.

Dan tak peduli seberapa seringnya saya kehilangan sahabat, rasa sakitnya selalu sama. Saya masih bisa mengingat dengan baik setiap kenangan bersama mereka, dan kadang saya harus mengingat nama lengkap mereka untuk yakin bahwa saya sudah jadi teman yang baik.

Kehilangan teman bermain atau sekutu di sekolah adalah satu hal; kehilangan seorang teman dekat adalah hal lain. Mereka menarik segala aspek dari diri kita yang terdalam, dan mereka turut mengambil bagian ketika kita menentukan siapa kita.

Kata pepatah Yunani Kuno: "Tunjukkan padaku teman-temanmu, dan aku akan menunjukkan siapa dirimu." Kehilangan sahabat, dengan demikian, hampir sama artinya seperti duka atas kehilangan diri sendiri.

Interaksi yang bergantung pada rasa cinta tak punya akhir yang bisa ditentukan. Tak ada yang tahu ke mana persahabatan akan mengarah. Kita hanya tahu ketika kita telah dibawa ke sana.

Persahabatan tak perlu menjadi sempurna

Tetap saja, "tanpa teman, tak ada yang akan memilih untuk hidup, meskipun dia mempunyai semua barang lainnya," seperti yang ditulis Aristoteles. Dalam hal ini, persahabatan memang tak selalu baik secara moral, tapi itu selalu indah.

Dalam bukunya "On Friendship", Alexander Nehamas berpendapat bahwa persahabatan sama sekali bukan tentang moralitas, dan kita menghargainya bukan karena persahabatan itu selalu baik, tapi karena persahabatan itu indah.

Sesuatu biasanya disebut indah jika itu berbeda dari segala sesuatu yang ada di sekitarnya, jika ia menonjol, jika ia memiliki sesuatu yang tak dimiliki oleh benda-benda lain. Hubungan persahabatan adalah nilai seperti itu.

Jadi, meskipun persahabatan berwajah ganda, keindahannya tetap merupakan fitur-fitur nilai yang tanpanya kehidupan tak akan ada gunanya, tanpa variasi, kerumitan, keintiman, atau kegembiraan.

Demikianlah, sebagaimana pendapat Nehamas, persahabatan harusnya tak bergantung pada manfaatnya dan fitur-fitur moral atau tidak bermoralnya, dan terlepas dari rasa sakit, bahaya, dan kekecewaan yang menyertainya.

Ini mungkin terdengar liar dan bukan panduan bagus untuk mencapai kesuksesan, kebaikan, atau kebahagiaan. Lalu apa yang benar? Beberapa orang kuno berpikir bahwa persahabatan mengikat seluruh alam semesta. Kita lebih sederhana.

Persahabatan tak lebih dari sekadar mengikat beberapa orang bersama, tempat di mana orang bisa berkata satu sama lain, "Aku mencintaimu karena itu kamu, karena ini aku." Ikatan ini adalah barang rapuh, karenanya butuh perhatian dan penanganan ekstra.

Karena persahabatan adalah sebuah petualangan (dan kadang romansa), hal yang tak terduga akan selalu terjadi. Kita semua akan punya saat-saat yang pahit. Namun, seperti semua petualangan lainnya, bahaya-bahaya seperti itulah yang membuatnya jadi menarik.

Itu berarti, bukan kurangnya konflik yang menentukan kesuksesan sebuah persahabatan, tapi bagaimana konflik tersebut diselesaikan. Keretakan yang dijahit adalah jalinan persahabatan dan bukan tambalan di atasnya.

Kita mungkin tak selalu tahu bagaimana cara menjaga sahabat kita, dan kita tak bisa begitu saja mengembalikannya ke toko atau meminta pengembalian uang. Terkadang kita membuat mereka kecewa, atau mereka mengecewakan kita.

Kita mungkin tak bisa memperbaiki satu sama lain, tapi kita tetap bisa menerima satu sama lain. Barangkali kita harus menghentikan sementara persahabatan, memberinya ruang baru yang lebih luas untuk bernapas, dan saya pikir itu bukan masalah.

Saya harap, terlepas dari ketidakpastian konsekuensi moralnya, kita semua bisa hidup dengan menganggap penting persahabatan. Hidup adalah tempat yang mengerikan dan sulit diterima jika kita tak punya sahabat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun