Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Persahabatan Pria Cenderung Lebih Dangkal Dibanding Persahabatan Wanita, Mengapa?

30 Juni 2023   15:10 Diperbarui: 8 Juli 2023   03:22 1016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelembutan yang saya temukan dalam persahabatan masa kecil saya terus memudar. Hampir setiap persahabatan yang saya coba sebagai orang dewasa hanya semakin menyadarkan saya tentang betapa terasingnya saya dari masa kecil saya.

Percakapan saya dengan teman-teman lelaki biasanya berkisar pada bagaimana rencana kami setelah kuliah. Jika ada satu hal yang menyamakan kami, itu adalah harapan bahwa kekayaan dan prestise datang kepada kami sebelum kami beruban.

Sejujurnya saya kecewa. Saya juga punya harapan yang kurang-lebih sama, tapi terlalu sering membicarakannya bikin saya muak. Saya ingin membicarakan bintang-bintang di langit malam kemarin, atau pohon besar yang meneduhi kami selagi kami mengobrol.

Namun, obrolan seperti itu jarang diapresiasi. "Siapa yang peduli?" balas seorang teman saat saya memberitahunya bahwa biru pada kupu-kupu Blue Morpho adalah sejenis ilusi. Kami lama mengobrol, tapi saya merasa sangat berjarak dan terisolasi.

Ada semacam kode etik yang tak terucapkan dalam interaksi kami, bahwa laki-laki tak boleh terlalu ekspresif atau membahas persoalan kupu-kupu, bahwa laki-laki harus bersikap dingin dan membicarakan sepak bola atau suasana politik baru-baru ini.

Demikianlah, secara umum, saya pikir persahabatan pria perlu perhatian segera. Ini bukan berarti persahabatan wanita tak punya celah. Namun, perasaan saya, persahabatan pria membutuhkan lebih banyak perancah sosial daripada persahabatan wanita.

Persahabatan pria dan wanita itu berbeda

Walau sulit mempercayainya, persahabatan pria dan wanita itu berbeda. Persahabatan wanita biasanya lebih personal: siapa diri Anda adalah hal terpenting. Sebaliknya, persahabatan pria cenderung berpusat pada aktivitas atau keanggotaan.

Artinya persahabatan pria lebih mementingkan apa yang Anda lakukan daripada siapa Anda. Inilah mengapa pria masih bisa akrab dengan seorang anonim, asalkan keduanya punya satu-dua ketertarikan yang sama. Wanita juga bisa, tentu saja, tapi pria jarang terusik olehnya.

Dalam konteks ini, kebanyakan pria tampaknya tak masalah dengan siapa mereka berteman, tapi akan lebih mudah kalau kenalannya juga menyukai sepak bola atau badminton atau pajak atau apa pun itu.

Lewat pengalaman bersama seperti itu, laki-laki mengembangkan hubungan mendalam yang tak didasarkan pada komunikasi antar-pribadi, tapi pada pengalaman emosional bersama. Ini membuat persahabatan pria lebih sederhana, tapi mungkin lebih dangkal pula.

Selain itu, persahabatan wanita biasanya juga mengarah pada kedekatan dan koneksi melalui berbagi pikiran, perasaan, dan pemahaman. Mereka suka berbicara tentang saat-saat bahagia mereka, dan kekesalan mereka pada orang-orang yang mereka kenal.

Persahabatan pria, di sisi lain, cenderung terbentuk dalam hierarki kompetitif, sehingga kerap dipenuhi gelagat pamer pencapaian pribadi bahwa "aku lebih berani ketimbang kamu" atau "aku menuai pujian lebih banyak daripada kamu".

Itulah mengapa pria jarang mengekspresikan kesedihan atau sisi lemahnya kepada temannya.

Sebuah studi oleh Survey Center on American Life menemukan bahwa 48 persen perempuan telah berbagi perasaan pribadi kepada teman dalam seminggu terakhir, sedangkan pria hanya 30 persen. Pria ternyata cenderung menyembunyikan perasaan pribadinya.

Gejala itu sebagian menjelaskan mengapa persahabatan pria menurun selama masa-masa sulit seperti pandemi Covid-19. Namun, jika kita ingin meniliknya lebih dalam lagi, saya pikir ada satu akar yang dapat kita persoalkan: maskulinitas yang beracun (toxic masculinity).

Toxic masculinity merusak persahabatan pria

Tekanan sosial untuk menyesuaikan diri dengan model maskulinitas tertentu dapat menahan perkembangan keintiman. Kita, kaum Adam, diberi pesan sejak muda bahwa kita sebaiknya tak mengekspresikan perasaan kita kepada anak laki-laki lain.

Kita belajar arti menjadi "pria" dari orang-orang sekitar kita dan konteks sosial-budaya yang lebih luas. Kita diajari bahwa "pria betulan" itu harus tangguh, mandiri, dan bersikap dingin. Di mana pun dan kapan pun, bersama teman atau keluarga, kita harus begitu.

Tadinya, sebagai anak-anak yang masih lugu dan tak terlalu paham, kita merasa biasa untuk bermain-main dan terbuka tentang perasaan kita kepada teman. Jika saya agak kesal pada kakak saya di rumah, saya akan menceritakan itu kepada dua sahabat saya.

Seiring waktu, bagi pria, saya tak terkecuali, bisa terasa aneh atau canggung untuk bercerita kepada teman tentang perasaan pribadi, sekalipun benak berteriak minta bantuan, karena itu bertentangan dengan mitologi pria yang ada.

Mitologi itu adalah bahwa lelaki dikagumi karena menjadi "tipe yang kuat dan pendiam" atau pahlawan tunggal dalam masyarakat kita. Intinya, pria harus tampil kuat (atau setidaknya memberi kesan begitu) untuk bisa dihargai, walau akibatnya adalah kesepian.

Stereotip beracun ini terus diromantisasi dalam pop culture, terutama film-film aksi dan laga, membuatnya tampak sangat normal dan dikejar-kejar. Pria seolah harus tampil dengan dada membusung, tangan mengepal, dan tak boleh ada pelukan sesama pria.

Semua itu, secara bersamaan, juga merupakan upaya tak sadar untuk menghindari feminitas, atau menahan diri dari perbuatan yang mencitrakan laki-laki seperti perempuan. Dalam hal ini, pelajaran pertama seorang laki-laki adalah "jangan seperti perempuan".

Kita lelaki diminta untuk menghindari perasaan dan mengabaikan tanggung jawab terhadap perasaan orang lain. Kita tak diajari untuk mendengarkan, hanya sibuk berusaha memperbaiki keadaan. Kita ditekan untuk tak menangis, tapi boleh marah-marah.

Dalam budaya kita, karenanya, lelaki selalu menemukan cara untuk dekat satu sama lain, tapi tak pernah berpusat pada perasaan. Pria harus menunjukkan diri sebagai orang yang tak terluka, tak terkekang, dan memegang kendali atas situasi mereka sendiri.

Pendeknya, kita lelaki diajari bahwa "perasaan adalah urusan perempuan".

Itu menjelaskan mengapa pria lebih kecil kemungkinannya dibanding wanita untuk mencari bantuan kesehatan mental. Bahkan begitu mereka melakukannya, mereka merasa kesulitan untuk mengekspresikan emosinya.

Hal terburuknya adalah, cara pria mengekspresikan dan melampiaskan perasaannya mungkin jadi siklus kebiasaan buruk. Beberapa studi menunjukkan bahwa persahabatan pria yang didasarkan pada toxic masculinity kerap diwarnai konsumsi alkohol dan rokok.

Saya punya sepupu laki-laki sebaya. Kami tumbuh dewasa bersama; saya mengenalnya dan begitu pula sebaliknya. Saat kami masuk kuliah, dia ujug-ujug jadi pecandu rokok. "Aku tak tahan duduk tanpa berbuat apa pun di sekeliling teman yang merokok," katanya.

Bagi saya, alasannya lebih rumit dari itu. Saya punya lingkaran pertemanan yang kira-kira serupa, dan saya (masih) tak merokok. Ini bukan karena saya punya kekebalan mental lebih daripada sepupu saya. Persoalannya adalah toxic masculinity. 

Sepupu saya, sadar ataupun tidak, menilai pria sejati itu harus merokok. Teman-temannya memperlihatkan "kebenaran" keyakinan itu. Saya, di sisi lain, ketika dikelilingi perokok, santai bermain batu atau memerhatikan gerak awan.

Perasaan malu, menurut Brene Brown dalam penelitiannya selama bertahun-tahun, adalah penyebab terbesar toxic masculinity. Perempuan merasa malu saat mereka gagal memenuhi ekspektasi, laki-laki merasa malu saat tanda-tanda kelemahannya muncul.

Pria, dengan demikian, jarang paham bahwa mereka membutuhkan bantuan. Tak heran kalau pria menyembunyikan rasa sakit dan penyakit pada tingkat yang jauh lebih tinggi ketimbang wanita, dan tiga kali lebih mungkin meninggal karena bunuh diri.

Dengan imajinasi yang terbatas dan mengekang ini, kita telah menciptakan maskulinitas yang kesepian sekali. Ini bikin pria dewasa sulit memulai dan/atau mempertahankan persahabatan. Saya mengerti karena ini juga terjadi pada saya.

Namun, bagaimanapun, maskulinitas itu rapuh karena ia tak ada sebagai realitas biologis. Ia ada sebagai sebuah ideologi, sebuah perilaku yang tertulis. Jadi, mengingat betapa pentingnya persahabatan, kita bisa menulis ulang naskah persahabatan kita.

Cara memperkuat persahabatan pria

Penelitian menunjukkan bahwa laki-laki akan memperoleh keuntungan jika mengadopsi gaya perempuan yang lebih intim, dalam arti saling berbagi perasaan pribadi, tapi laki-laki jarang melakukannya karena diasosiasikan dengan perilaku feminin.

Apakah ini berarti lelaki tak mungkin saling mengungkapkan perasaannya kepada orang lain dan tetap dianggap maskulin? Jawabannya, pria dapat menampilkan perilaku feminin selama penampilan maskulin mereka menutupi sisi femininnya.

Jadi, dalam persahabatan, pria sebenarnya dapat menjadi ekspresif selama hubungan tersebut ditandai oleh aspek yang lebih maskulin. Persahabatan semacam ini dapat sangat memuaskan, bahkan bisa melebihi kepuasan hubungan romantis dengan wanita.

Bagaimana caranya?

Sebelum ini saya sudah bilang bahwa persahabatan pria lebih mementingkan apa yang Anda lakukan daripada siapa Anda. Kita lelaki adalah tipikal yang suka berkumpul dan melakukan sesuatu bersama. Jadi mengapa kita tak memperdalam topografi ini?

Pikirkan tentang menonton pertandingan, nongkrong di warkop, memancing, atau bepergian ke suatu tempat dengan truk. Dalam momen-momen ini, kita lelaki mengobrol. Walau lelaki sering tak nyaman bertatap muka, tapi kita juga berhadapan dengan voli, sungai, atau jalanan.

Terkadang keintiman bisa tumbuh dari situ, karena kalau kita melakukan aktivitas itu secara rutin, peluang untuk berbagi perasaan dan masalah pribadi makin besar. Di tengah jeda paruh babak, kita mungkin membicarakan topik yang lebih pribadi, lalu tumpahlah perasaan.

Setiap Kamis sore, jika senggang, saya dan sahabat saya biasanya jogging bersama. Mulanya kami fokus pada langkah kami sendiri, tapi kemudian dia bilang, "Aku kesal sekali pagi ini. Nilai kuliah keluar dan tak terlalu bagus. Pacarku juga sedang sakit. Rasanya seperti ..."

Itu adalah tanda pintu terbuka. Setelah mendengarkannya dengan penuh empati, saya merasa dia bilang begini: "Aku sudah terbuka tentang perasaanku. Aku melakukannya karena aku percaya padamu. Kuharap kau juga berbuat hal yang sama."

Dan saya pun menceritakan kisah saya. 

Ini adalah cara pria memecahkan kebekuan; berawal dari sebuah kisah yang tak terlalu pribadi atau menceritakan lelucon atau berbicara tentang hasil pertandingan sepak bola semalam, tembok-tembok toxic masculinity bisa runtuh.

Di luar olahraga, lelaki dapat menemukan (atau membentuk) kelompok yang memiliki minat yang sama. Sebuah temuan menunjukkan partisipasi pria dalam komunitas membuat mereka lebih percaya diri dan menolak kebiasaan yang tak sehat.

Intinya, jika Anda menginginkan persahabatan yang intim, Anda harus membayar harganya, yaitu mengungkapkan lebih banyak tentang diri Anda, bagaimanapun caranya. Seperti yang dikatakan Gandhi: "Jadilah perubahan yang ingin kau lihat di dunia."

Jika Anda menginginkan lebih banyak keterbukaan dalam sebuah persahabatan, hal terbaik yang mesti dilakukan adalah lebih terbuka pada diri sendiri dan pada sahabat Anda tanpa harus melebihi batas wajar. Jangan menunggu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun