Semua itu, secara bersamaan, juga merupakan upaya tak sadar untuk menghindari feminitas, atau menahan diri dari perbuatan yang mencitrakan laki-laki seperti perempuan. Dalam hal ini, pelajaran pertama seorang laki-laki adalah "jangan seperti perempuan".
Kita lelaki diminta untuk menghindari perasaan dan mengabaikan tanggung jawab terhadap perasaan orang lain. Kita tak diajari untuk mendengarkan, hanya sibuk berusaha memperbaiki keadaan. Kita ditekan untuk tak menangis, tapi boleh marah-marah.
Dalam budaya kita, karenanya, lelaki selalu menemukan cara untuk dekat satu sama lain, tapi tak pernah berpusat pada perasaan. Pria harus menunjukkan diri sebagai orang yang tak terluka, tak terkekang, dan memegang kendali atas situasi mereka sendiri.
Pendeknya, kita lelaki diajari bahwa "perasaan adalah urusan perempuan".
Itu menjelaskan mengapa pria lebih kecil kemungkinannya dibanding wanita untuk mencari bantuan kesehatan mental. Bahkan begitu mereka melakukannya, mereka merasa kesulitan untuk mengekspresikan emosinya.
Hal terburuknya adalah, cara pria mengekspresikan dan melampiaskan perasaannya mungkin jadi siklus kebiasaan buruk. Beberapa studi menunjukkan bahwa persahabatan pria yang didasarkan pada toxic masculinity kerap diwarnai konsumsi alkohol dan rokok.
Saya punya sepupu laki-laki sebaya. Kami tumbuh dewasa bersama; saya mengenalnya dan begitu pula sebaliknya. Saat kami masuk kuliah, dia ujug-ujug jadi pecandu rokok. "Aku tak tahan duduk tanpa berbuat apa pun di sekeliling teman yang merokok," katanya.
Bagi saya, alasannya lebih rumit dari itu. Saya punya lingkaran pertemanan yang kira-kira serupa, dan saya (masih) tak merokok. Ini bukan karena saya punya kekebalan mental lebih daripada sepupu saya. Persoalannya adalah toxic masculinity.Â
Sepupu saya, sadar ataupun tidak, menilai pria sejati itu harus merokok. Teman-temannya memperlihatkan "kebenaran" keyakinan itu. Saya, di sisi lain, ketika dikelilingi perokok, santai bermain batu atau memerhatikan gerak awan.
Perasaan malu, menurut Brene Brown dalam penelitiannya selama bertahun-tahun, adalah penyebab terbesar toxic masculinity. Perempuan merasa malu saat mereka gagal memenuhi ekspektasi, laki-laki merasa malu saat tanda-tanda kelemahannya muncul.
Pria, dengan demikian, jarang paham bahwa mereka membutuhkan bantuan. Tak heran kalau pria menyembunyikan rasa sakit dan penyakit pada tingkat yang jauh lebih tinggi ketimbang wanita, dan tiga kali lebih mungkin meninggal karena bunuh diri.