Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Negativity Bias, Alasan Mengapa Kita Suka Mendramatisasi Keadaan

19 Mei 2023   07:19 Diperbarui: 19 Mei 2023   12:52 1358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Negativity bias bikin kita overthinking dan mendramatisasi keadaan | Ilustrasi oleh Lechenie Narkomanii via Pixabay

Secara naluriah, kita tampaknya lebih condong memerhatikan keburukan daripada kebaikan. Kita mengklik berita negatif lebih banyak ketimbang berita positif. Kita merenungkan satu kritik kecil dari atasan kita, terlepas betapa banyaknya pencapaian kita.

Ketika kita mengalami banyak kejadian menyenangkan dalam satu hari, kita biasanya fokus pada satu-satunya hal buruk yang terjadi. Ini bikin kita cemas seolah semua kesenangan yang kita alami tak pernah ada. Satu komentar negatif saja sudah bisa menghancurkan mood kita.

Kecenderungan semacam itu bukanlah pengalaman sesekali, melainkan keseharian. Manusia mengingat pengalaman negatif dengan lebih jelas daripada pengalaman positif. Psikologi punya istilah khusus untuk itu: bias negatif (negativity bias atau negativity instinct).

Apa itu bias negatif?

Bias negatif merujuk pada kecenderungan kita untuk lebih memerhatikan hal-hal yang buruk ketimbang hal-hal yang baik. Sekalipun intensitasnya sama, atau bahkan hal-hal positif lebih banyak, bias negatif tetap membuat kita berfokus pada pengalaman dan peristiwa buruk.

Ada sedikitnya empat jenis bias negatif.

Pertama, negative potency. Jenis ini bikin kita lebih terpengaruh oleh peristiwa negatif secara emosional, sekalipun kita telah mengalami jauh lebih banyak peristiwa positif. Contoh, satu komentar negatif bisa merusak mood kita begitu lama meski kita menerima banyak pujian.

Kedua, greater stepness of negative gradients. Dalam pengertian ini, peristiwa negatif yang kita alami, sekecil apa pun, lebih cepat berubah jadi pengalaman emosional yang besar, dan sebaliknya, peristiwa positif biasanya tak punya dampak langsung atau intensitas yang sama.

Ketiga, negativity dominance. Jenis ini bilang bahwa pikiran dan persepsi kita cenderung didominasi informasi negatif, sekalipun informasi positif juga ada (dan lebih banyak). Misal, kita lebih menyoroti satu skandal seorang publik figur ketimbang semua pencapaiannya.

Keempat, negative differentiation. Jenis ini biasanya bikin orang trauma: kejadian negatif cenderung diingat dengan lebih detail dan jelas ketimbang peristiwa positif. Saya, misalnya, masih bisa merasakan satu pengalaman pahit minggu lalu, dan saya lupa tentang sisanya.

Mengapa kita mengalami bias negatif?

Jika kita bertemu nenek moyang kita di zaman purba, sebagian besar dari kita mungkin akan bangga untuk menunjukkan semua teknologi mengkilap yang dimiliki generasi kita. Mereka menatap bingung, dan kita masih berbicara dengan angkuh.

Tapi di balik tengkorak kita, sebetulnya kita masih beroperasi dengan otak dasar yang pada awalnya cocok untuk nenek moyang pemburu-pengumpul. Para peneliti percaya bahwa bias negatif telah berevolusi sebagai mekanisme bertahan hidup. Ini sudah jadi insting kita.

Dalam hal ini, bias negatif membantu nenek moyang kita menghindari bahaya dan ancaman. Bayangkan Anda berjalan di tengah hutan sendirian, menjelang malam, untuk berburu. Anda tiba-tiba mendengar gemerisik di semak-semak. Apa yang bakal Anda lakukan?

Percayalah, lebih baik perhatikan dan berhati-hati ketimbang mengabaikan bunyi itu dan lanjut berburu. Bias negatif, dengan demikian, mendorong kita untuk memerhatikan potensi bahaya dan menyerap informasi sebanyak mungkin tentang rangsangan yang ambigu.

Jika konsekuensi yang kita bayangkan cukup buruk, sekalipun kemungkinan hasil seperti itu kecil, otak kita cenderung fokus pada risiko dan bukannya hadiah. Ini bahkan berlaku ketika bencana yang dibayangkan sama sekali tak sesuai dengan kenyataan.

Kapasitas imajinasi manusia untuk membayangkan bencana tampaknya tak terbatas.

Otak kita, kenyataannya, memang lebih suka merespons rangsangan negatif daripada positif, bahkan sejak kita bayi berumur 3 bulan. Rangsangan negatif dianggap punya nilai informasi yang lebih besar, dan karenanya membutuhkan perhatian yang lebih besar pula.

Tendensi itu juga berlaku dalam pembentukan kesan. Sebuah penelitian menemukan bahwa kesan kita terhadap orang lain lebih dipengaruhi oleh informasi negatif tentangnya ketimbang informasi positif, sekalipun keduanya sama kuat.

Bahkan, orang membutuhkan lebih sedikit informasi buruk untuk membuat kesimpulan soal sifat orang lain. Ini bikin kita salah mengenali atau mempersepsi orang lain, karena menilai sifatnya secara keseluruhan dari satu-satunya kekurangan yang dia miliki.

Jadi, kalau Anda ingin diakui sebagai orang "pintar", mungkin menunjukkan gelar doktor yang Anda peroleh masih belum cukup. Tapi, satu kecerobohan saja tampaknya sudah cukup untuk membuat Anda dikenali sebagai "bodoh" atau "tolol".

Saya, terus terang, pernah diam-diam melabeli seorang teman sebagai "munafik" ketika dia mengingkari satu janjinya pada saya. Kebalikannya, seorang teman lain juga melabeli saya sebagai "tukang ngaret" saat suatu waktu saya terlambat menghadiri undangannya.

Demikianlah, negativity bias memengaruhi persepsi, pemikiran, dan pengambilan keputusan kita. Selanjutnya kita akan melihat lebih jauh bagaimana bias ini begitu mengakar di generasi kita dan, dalam istilah kekinian, bikin kita "overthinking".

Dunia jadi lebih buruk?

Sebelumnya kita telah mengetahui kegunaan bias negatif buat nenek moyang kita, tapi seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat, kecenderungan yang sudah tertanam ini kelihatannya tak lagi seberguna dulu.

Dalam masyarakat modern seperti kita, insting ini bisa mengarah pada pandangan yang salah tentang realitas, meningkatkan kecemasan dan stres, serta rasa pesimis yang berlebihan ketika keadaan sebenarnya relatif baik-baik saja.

Bias ini membuat kebanyakan orang mengira dunia hari ini lebih mengerikan, lebih banyak kekerasan, lebih suram, dan lebih dramatis daripada yang senyatanya. Kita akhirnya dibuat khawatir, takut, dan putus asa.

Problemnya bukan semata-mata karena kita semua kekurangan pengetahuan, tapi seringnya pengetahuan yang kita miliki sudah kadaluwarsa, bahkan usang sejak beberapa dekade lalu. Orang-orang tahu sesuatu saat mereka lulus sekolah, padahal dunia sudah banyak berubah.

Apakah berarti pembaruan pengetahuan dan informasi di masyarakat bisa menyelesaikan masalah? Tak segampang itu. Selain orang lebih suka mempertahankan pandangan lamanya, mereka juga merasa tak ada jaminan sama sekali bahwa dunia akan terus membaik.

Terlebih, media lebih suka memberitakan kabar-kabar buruk, sesuatu yang dapat memikat perhatian publik, ketimbang mewartakan (atau menyelidiki) kabar-kabar baik. Mereka ingin memainkan emosional audiens, bukan membuat audiens berpikir.

Apakah Anda tahu bahwa kemiskinan dan kelaparan, setidaknya sejak tahun 1990, telah menurun secara drastis, jumlah perokok global menurun sekitar 20 persen, angka kematian ibu per kelahiran hidup menurun 40 persen, akses air bersih meningkat 100 persen?

Secara keseluruhan, orang biasanya memandang laporan kemajuan manusia semacam itu sebagai promosi penjualan dari orang-orang yang naif. Namun, kendati benar bahwa dunia masih mengalami serangkaian peristiwa buruk, kita mestinya tetap adil dalam menilai.

Pesannya adalah, hal-hal buruk telah terjadi, tapi hal-hal baik juga terjadi (bahkan secara matematis lebih banyak). Kita semua, sesuai setting bias negatif, memang cenderung untuk overthinking dalam menilai realitas. Kini, setelah menyadari itu, kita perlu menuntunnya.

Apa yang bisa kita lakukan?

Jangan salah paham. Kita masih memerlukan naluri dramatis tersebut untuk memberi makna pada dunia kita. Apabila kita menyaring setiap masukan dan menganalisis setiap keputusan secara rasional, selain teramat sulit, kehidupan normal tak akan mungkin terjadi.

Kita tak boleh menghilangkan semua gula dan lemak, dan kita tak boleh meminta ahli bedah untuk mengangkat bagian otak kita yang berhubungan dengan emosi. Sebaliknya, kita perlu belajar mengendalikan asupan drama kita.

Latihan mindfulness adalah salah satu cara yang baik untuk jadi lebih selaras dengan emosi kita sendiri. Dengan cara ini kita dapat mulai mengamati perasaan dan pikiran kita secara lebih objektif.

Mindfulness sendiri merupakan praktik mental yang melibatkan pemusatan perhatian secara sengaja pada momen saat ini, tanpa menghakimi. Kita seolah masuk ke dalam pikiran kita sendiri dan mengamati semua emosi di dalamnya tanpa bereaksi apa pun (kecuali senyum).

Kendati mindfulness mungkin tak sepenuhnya menghilangkan bias negatif, apalagi ini sudah jadi insting tersendiri dalam kinerja psikologis kita, mindfulness setidaknya dapat membantu kita jadi lebih sadar akan pola pikir negatif kita tanpa terjebak di dalamnya.

Siklus pemikiran negatif, dengan demikian, bisa diputus, dan ini memungkinkan kita untuk merespons situasi secara lebih jernih.

Contohnya, jika seseorang merasa cemas tentang presentasi esok hari, dia bisa menggunakan teknik mindfulness untuk menyadari pikiran dan perasaan cemas yang memenuhi kepalanya, tanpa menjadi terbebani olehnya.

Demikianlah, alih-alih gigit kuku tak jelas atau mondar-mandir tanpa guna, dia merespons kekhawatirannya dengan cara yang lebih produktif, seperti mempersiapkan presentasi dengan lebih matang atau mencari dukungan dari rekan-rekannya.

Tentu itu bukan perkara mudah. Ketika orang merasa cemas, pikirannya terdistorsi pada satu-satunya hal yang dicemaskannya. Tapi siapa bilang ini cara gampangan. Agar berhasil, kita perlu melatih kemampuan mindfulness kita.

Ada banyak cara untuk melatihnya. Salah satu yang paling populer, dan saya juga berusaha mengaplikasikan ini secara rutin, adalah meditasi. Metode meditasi juga ada banyak, jadi mungkin Anda memerlukan panduan khusus tentang itu.

Intinya, sebagai penutup, bias negatif memang "terjadi begitu saja" pada otak kita, tapi bukan berarti kita tak bisa mengendalikannya. Lagi pula, sebagaimana sudah kita lihat, insting ini juga berguna dalam beberapa hal.

Bagaimanapun, kita seharusnya tak mengingkari tragedi perubahan iklim dan gizi buruk yang terjadi saat ini. Namun pada saat yang sama, kita pun perlu sadar bahwa bias ini mendorong kita untuk mendramatisasi keadaan, yang ujung-ujungnya bikin kita depresi tanpa alasan.

Jadi apa selanjutnya? Redam ramalan malapetaka, beralih dari mode panik ke mode bingung. Panik adalah salah satu bentuk keangkuhan karena berasal dari perasaan sombong bahwa "saya tahu persis dunia akan jadi lebih buruk".

Kebingungan lebih rendah hati. Alih-alih berteriak "Kiamat segera datang!", seorang yang bingung lebih mungkin untuk berkata pada dirinya sendiri: "Sebenarnya aku tak mengerti apa yang sedang terjadi. Aku akan mencari tahu."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun