Tapi di balik tengkorak kita, sebetulnya kita masih beroperasi dengan otak dasar yang pada awalnya cocok untuk nenek moyang pemburu-pengumpul. Para peneliti percaya bahwa bias negatif telah berevolusi sebagai mekanisme bertahan hidup. Ini sudah jadi insting kita.
Dalam hal ini, bias negatif membantu nenek moyang kita menghindari bahaya dan ancaman. Bayangkan Anda berjalan di tengah hutan sendirian, menjelang malam, untuk berburu. Anda tiba-tiba mendengar gemerisik di semak-semak. Apa yang bakal Anda lakukan?
Percayalah, lebih baik perhatikan dan berhati-hati ketimbang mengabaikan bunyi itu dan lanjut berburu. Bias negatif, dengan demikian, mendorong kita untuk memerhatikan potensi bahaya dan menyerap informasi sebanyak mungkin tentang rangsangan yang ambigu.
Jika konsekuensi yang kita bayangkan cukup buruk, sekalipun kemungkinan hasil seperti itu kecil, otak kita cenderung fokus pada risiko dan bukannya hadiah. Ini bahkan berlaku ketika bencana yang dibayangkan sama sekali tak sesuai dengan kenyataan.
Kapasitas imajinasi manusia untuk membayangkan bencana tampaknya tak terbatas.
Otak kita, kenyataannya, memang lebih suka merespons rangsangan negatif daripada positif, bahkan sejak kita bayi berumur 3 bulan. Rangsangan negatif dianggap punya nilai informasi yang lebih besar, dan karenanya membutuhkan perhatian yang lebih besar pula.
Tendensi itu juga berlaku dalam pembentukan kesan. Sebuah penelitian menemukan bahwa kesan kita terhadap orang lain lebih dipengaruhi oleh informasi negatif tentangnya ketimbang informasi positif, sekalipun keduanya sama kuat.
Bahkan, orang membutuhkan lebih sedikit informasi buruk untuk membuat kesimpulan soal sifat orang lain. Ini bikin kita salah mengenali atau mempersepsi orang lain, karena menilai sifatnya secara keseluruhan dari satu-satunya kekurangan yang dia miliki.
Jadi, kalau Anda ingin diakui sebagai orang "pintar", mungkin menunjukkan gelar doktor yang Anda peroleh masih belum cukup. Tapi, satu kecerobohan saja tampaknya sudah cukup untuk membuat Anda dikenali sebagai "bodoh" atau "tolol".
Saya, terus terang, pernah diam-diam melabeli seorang teman sebagai "munafik" ketika dia mengingkari satu janjinya pada saya. Kebalikannya, seorang teman lain juga melabeli saya sebagai "tukang ngaret" saat suatu waktu saya terlambat menghadiri undangannya.
Demikianlah, negativity bias memengaruhi persepsi, pemikiran, dan pengambilan keputusan kita. Selanjutnya kita akan melihat lebih jauh bagaimana bias ini begitu mengakar di generasi kita dan, dalam istilah kekinian, bikin kita "overthinking".