Sebelumnya kita telah mengetahui kegunaan bias negatif buat nenek moyang kita, tapi seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat, kecenderungan yang sudah tertanam ini kelihatannya tak lagi seberguna dulu.
Dalam masyarakat modern seperti kita, insting ini bisa mengarah pada pandangan yang salah tentang realitas, meningkatkan kecemasan dan stres, serta rasa pesimis yang berlebihan ketika keadaan sebenarnya relatif baik-baik saja.
Bias ini membuat kebanyakan orang mengira dunia hari ini lebih mengerikan, lebih banyak kekerasan, lebih suram, dan lebih dramatis daripada yang senyatanya. Kita akhirnya dibuat khawatir, takut, dan putus asa.
Problemnya bukan semata-mata karena kita semua kekurangan pengetahuan, tapi seringnya pengetahuan yang kita miliki sudah kadaluwarsa, bahkan usang sejak beberapa dekade lalu. Orang-orang tahu sesuatu saat mereka lulus sekolah, padahal dunia sudah banyak berubah.
Apakah berarti pembaruan pengetahuan dan informasi di masyarakat bisa menyelesaikan masalah? Tak segampang itu. Selain orang lebih suka mempertahankan pandangan lamanya, mereka juga merasa tak ada jaminan sama sekali bahwa dunia akan terus membaik.
Terlebih, media lebih suka memberitakan kabar-kabar buruk, sesuatu yang dapat memikat perhatian publik, ketimbang mewartakan (atau menyelidiki) kabar-kabar baik. Mereka ingin memainkan emosional audiens, bukan membuat audiens berpikir.
Apakah Anda tahu bahwa kemiskinan dan kelaparan, setidaknya sejak tahun 1990, telah menurun secara drastis, jumlah perokok global menurun sekitar 20 persen, angka kematian ibu per kelahiran hidup menurun 40 persen, akses air bersih meningkat 100 persen?
Secara keseluruhan, orang biasanya memandang laporan kemajuan manusia semacam itu sebagai promosi penjualan dari orang-orang yang naif. Namun, kendati benar bahwa dunia masih mengalami serangkaian peristiwa buruk, kita mestinya tetap adil dalam menilai.
Pesannya adalah, hal-hal buruk telah terjadi, tapi hal-hal baik juga terjadi (bahkan secara matematis lebih banyak). Kita semua, sesuai setting bias negatif, memang cenderung untuk overthinking dalam menilai realitas. Kini, setelah menyadari itu, kita perlu menuntunnya.
Apa yang bisa kita lakukan?
Jangan salah paham. Kita masih memerlukan naluri dramatis tersebut untuk memberi makna pada dunia kita. Apabila kita menyaring setiap masukan dan menganalisis setiap keputusan secara rasional, selain teramat sulit, kehidupan normal tak akan mungkin terjadi.
Kita tak boleh menghilangkan semua gula dan lemak, dan kita tak boleh meminta ahli bedah untuk mengangkat bagian otak kita yang berhubungan dengan emosi. Sebaliknya, kita perlu belajar mengendalikan asupan drama kita.