Buku itu laris keras, puluhan juta kopi di seluruh dunia, dan merupakan bukti optimisme orang-orang yang menandai tahun-tahun menjelang krisis keuangan. Orang bermimpi besar dan, pada hari ketika uang mudah, mendapati impian mereka bisa jadi kenyataan.
Kemudian ekonomi global ambruk dan kita terguncang hebat. Buku itu tak terasa ajaib lagi.
Pada akhirnya, semua alasan itu bukan berarti kita tak boleh membaca buku-buku self-help. Keinginan untuk perbaikan diri adalah motivator intrinsik yang kuat untuk mencapai pertumbuhan maksimal.
Namun, penting juga untuk mempertimbangkan mengapa kita ingin mengejar tujuan-tujuan tertentu, dan apakah buku self-help dapat membantu kita mencapai tujuan itu. Ingatlah bahwa untuk menjadi lebih baik bukan berarti berbuat salah itu terkutuk.
Kuncinya adalah memiliki pandangan yang sehat, menyadari apa yang bisa kita capai secara realistis dengan kemampuan kita sendiri. Saya menganggap ini sebagai trial-and-error. Baru-baru ini saya membaca sebuah buku tentang mindfulness dan meditasi.
Saya tak akan membaca buku lain sebelum saya bisa memastikan bahwa metode itu cocok buat saya. Kalau ternyata cocok dan sangat membantu, buat apa saya menghabiskan waktu untuk membaca buku lain, sebab tujuan saya adalah praktik dan perbaikan.
Apa yang keliru dari kebanyakan orang adalah, mereka menjadikan buku-buku self-help itu sendiri sebagai tujuan akhir, bukan sarana, yang akhirnya membuat mereka merasa senang dan puas hanya dengan membaca. Kenyataannya, mereka tetap jadi orang yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H