Industri self-help adalah bisnis bernilai miliaran dolar, dan banyak pemasar menggunakan teknik persuasif untuk menarik keinginan orang dalam memperbaiki diri. Mereka menjajakan janji perbaikan cepat dan instan, meskipun tak realistis.
Masalahnya, jika semua buku self-help sama memikatnya, buku mana yang harus kita baca? Ini bisa membuat orang mengalami paradoks pilihan: kita memiliki banyak pilihan, bahkan terlalu banyak, sampai-sampai kita tak mampu membuat keputusan.
Banyaknya pilihan itu otomatis meningkatkan harapan kita. Entah bagaimana kita percaya bahwa di antara sekian banyak buku itu, ada satu yang "terbaik" atau setidaknya cocok buat kita. Lantas kita membeli satu buku. Tak cocok, beli lagi. Terus begitu.
Saya juga sempat mengalami paradoks itu. Saya sepenuhnya memahami ada kemungkinan bahwa beberapa buku self-help yang saya baca mungkin tak masuk akal, tapi itu membuat petualangan saya dalam memperbaiki diri jadi lebih menarik.
Dalam setiap buku baru yang saya baca, saya berpikir apakah buku ini benar dan saya bakal belajar sesuatu yang luar biasa untuk mengubah hidup saya, atau buku ini ternyata keliru dan saya masih belajar sesuatu dengan cara yang berbeda.
Para pecandu self-help percaya bahwa kita harus membaca lebih banyak buku, termasuk tema berbeda, dan memeriksa semua masalah dari setiap sudut pandang yang memungkinkan.
Itu mungkin berguna kalau kita sedang riset, yang berarti kita memiliki proyek tertentu yang mengharuskan kita begitu, tapi jadi berbahaya kalau kita hanya sebatas mengonsumsi. Itu tak menjadikan kita bijak; itu hanya menjadikan kita terinformasi.
Dan ketika otak manusia menyerap terlalu banyak informasi (acak) tanpa tahu harus diapakan semua informasi itu, otak jatuh tertidur. Di sini saya bertanya lebih lanjut tentang mengapa buku-buku self-help begitu memikat, selain karena taktik pemasarannya.
Saya berpendapat bahwa nasihat self-help cenderung mencerminkan keyakinan dan prioritas zaman yang melahirkannya. Ini membuat buku-buku self-help terasa begitu relevan dan harus cepat-cepat kita baca.
Misal, juara bertahan genre self-help "The Secret" (2006) karangan Rhonda Byrne tampaknya mengambil interpretasi literal dari keyakinan religius: "Apa pun yang kamu minta dalam doa, kamu akan menerimanya."
Gagasan itu disebut law of attraction: jika kita mengirim keinginan ke jagad raya dengan keyakinan penuh, katanya itu bisa terwujud. Ingin mencari suami? Bersihkan lemari untuk pasangan impianmu dan bayangkan dia menggantungkan pakaiannya, dan seterusnya.