Saya pikir setiap hari adalah hari kasih sayang, sedangkan Hari Valentine (Valentine's Day) adalah sebentuk monumen yang mengingatkan kita tentang itu. Kita tak perlu menunggu Hari Valentine untuk mengungkapkan cinta kita. Cinta tak mengenal spesifikasi waktu.
Cinta merupakan kebutuhan mendasar manusia, di samping kebutuhan akan makanan, tempat tinggal, dan rasa aman. Cinta mengobati keterpisahan manusia, membantu kita meninggalkan penjara kesendirian.
Sebagaimana ujar Sophocles, cinta adalah satu kata yang membebaskan kita dari semua beban dan rasa sakit hidup. Namun, masih kata Sophocles, tak ada keagungan yang memasuki hidup manusia tanpa kutukan.
Besarnya kekuatan cinta membuat derita yang menyertainya juga begitu besar. Hampir tak ada aktivitas atau upaya yang dimulai dengan kerinduan dan pengharapan yang sedemikian dahsyat, kendati sering gagal, seperti cinta.
Para penyair, entah secara terang-terangan maupun melalui metafora yang rumit, berusaha memberitahu kita tentang kekuatan cinta. "Cinta adalah jembatan antara kau dan segalanya," tutur Rumi.
Pada saat yang sama, para pendongeng lainnya juga menyebut cinta sebagai pangkal dari suatu tragedi, seperti Majnun yang meninggal di atas makam Layla, atau Romeo dan Juliet yang masing-masing memutuskan untuk mati setelah kehilangan satu sama lain.
Sayangnya, orang jarang memahami penyebab kegagalan cinta. Mereka lebih tertarik untuk mempelajari kegagalan bisnis atau kekuasaan. Dalam kasus cinta, mereka mengobati lukanya dengan jatuh cinta lagi, dan sering kali jatuh di lubang yang sama tanpa tahu mengapa.
Terlepas dari aspek tragisnya, cinta tetap merupakan unsur penting dari pengalaman manusia dan komponen mendasar dari apa artinya menjadi manusia. Atau mungkin, nestapa dan derita memang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari semua itu.
Intinya, entah kita sedang mengalami cinta romantis atau cinta untuk dunia, cinta punya kekuatan untuk membawa makna dan orientasi hidup. Lewat cintalah kita dapat terhubung dengan orang lain, memahami diri kita sendiri, bahkan menciptakan dunia yang lebih baik.
Pendeknya, dalam tindakan mencintai, kita menemukan manusia.
Cinta di zaman kita
Saya ingat pernah melihat sebuah spanduk iklan dengan slogan kira-kira begini: "Hidup akan manis dengan cinta dan ice cream." Kemunculan kata "cinta" dalam pemasaran produk sudah bukan lagi fenomena langka, bahkan tema cinta telah mendominasi berbagai industri.
Lagu dan film, cincin dan sweater, novel dan drama; hampir semuanya bertemakan cinta. Saya pikir ada dua kemungkinan mengapa ini terjadi: kita tengah mengalami semacam "demam cinta", atau justru kita tengah kekurangan cinta (kalaupun masih ada yang tersisa).
Saya cenderung pada kemungkinan yang kedua. Itu berarti, dominasi tema cinta dalam banyak aspek kehidupan kita merupakan sebentuk ekspresi kerinduan dan penghiburan diri atas sesuatu yang tidak lagi kita miliki.
Cinta pada kenyataannya adalah gejala yang relatif jarang terjadi di masyarakat kita sekarang. Kebanyakan dari kita tak mampu mencintai dengan benar, kendati rasanya sudah. Pada dasarnya, kita (sering) keliru memaknai cinta sejak awal.
Padahal, mengingat sekarang kemanusiaan kita semakin terkikis, cintalah yang kita butuhkan.
Aneka bencana yang belakangan terjadi, entah gejala alam atau sosial, seperti Gempa Turki-Suriah dan perang di Ukraina, menguji kemanusiaan kita, menagih cinta kita terhadap sesama. Tanpa cinta, kemanusiaan tak mungkin ada barang sehari pun.
Sayangnya, masyarakat kita adalah pewaris dari individualisme kompetitif yang menggejala sejak lima abad sebelumnya. Setiap orang nyaris selalu digerakkan oleh motivasinya untuk menguasai orang lain.
Apa yang kita klaim sebagai "cinta" sering kali berorientasi pada pasar. Kita menggunakan cinta dalam rangka membeli dan menjual: jika saya mampu meluangkan waktu untuk Anda, maka Anda harus mampu membuat saya bahagia; kalau tidak, enyahlah dari saya.
Ringkasnya, cinta belakangan ini kerap dirasuki setan kapitalisme.
Tak heran kita merasakan begitu banyak kecemasan, keterkucilan, dan kehampaan personal. Namun, alih-alih menerima atau bersikap pasrah tanpa melawan, situasi inilah yang mesti kita jadikan momentum untuk belajar bagaimana mencintai (dengan benar).
Cinta sebagai sebuah seni
Dalam bukunya "The Art of Loving" (1956), psikolog dan filsuf Jerman Erich Fromm berpendapat bahwa bahwa cinta bukanlah sekadar emosi yang terjadi begitu saja pada kita, melainkan sesuatu yang harus kita upayakan dan pelihara secara aktif.
Seperti halnya bentuk seni yang lain, cinta juga merupakan keterampilan yang bisa dipelajari dan dikembangkan. Dengan begitu, cinta lebih dari sebatas perasaan yang datang dan pergi. Cinta memanglah anugerah, tapi kita harus menumbuhkannya sendiri.
"Mencintai bukanlah perasaan yang kuat semata," tulis Fromm, "ini adalah sebuah keputusan, penilaian, dan janji. Jika cinta hanya sebuah perasaan, tak akan ada basis bagi janji untuk saling mencintai selamanya."
Demikianlah, cinta melibatkan kemampuan untuk terhubung dengan orang lain pada tingkat yang mendalam dan bermakna, untuk memahami perasaan dan pengalaman mereka, serta untuk bertindak dengan cara yang mendukung kebahagiaan mereka.
Sebagai sebuah seni, seperti bentuk seni lainnya, cinta mensyaratkan pengetahuan dan upaya. Namun, karena masyarakat kita memikirkan cinta sebagai sesuatu yang otomatis, orang lantas memandang masalah cinta pertama-tama sebagai soal dicintai ketimbang mencintai.
Dalam budaya kita yang terkini, dicintai sering berarti kombinasi antara menjadi populer dan memiliki daya tarik seksual. Manakala kita mempunyai campuran dari keduanya, entah bagaimana kita (dibuat) yakin bahwa dengan sendirinya kita bakal dicintai.
Terlebih, kita sering terlalu fokus pada masalah objek dan bukannya perkara kemampuan. Kita terus sibuk memikirkan siapa yang harus kita cintai, tapi tak pernah barang sesaat pun bertanya tentang bagaimana caranya mencintai dengan benar.
Buntutnya, kita sering tanpa sadar memperlakukan cinta seperti sebuah transaksi: kita punya selera membeli dan apa pun yang kita beli haruslah menguntungkan. Cinta lantas mengemuka hanya sebagai suatu komoditas yang memungkinkan masing-masing melakukan pertukaran.
Seperti halnya membeli ponsel: saya bakal membelinya dengan harga sekian asal saya bisa terpuaskan oleh fungsinya; kalau tidak, saya mungkin ingin menawar harganya, atau malah batal membelinya sama sekali.
Cinta yang dewasa, dengan demikian, bukanlah "saya mencintai karena saya dicintai", melainkan "saya dicintai karena saya mencintai". Bukan "saya mencintaimu karena saya membutuhkanmu", tetapi "saya membutuhkanmu karena saya mencintaimu."
Itu karena karakter aktif dari cinta sebagai sebuah seni pertama-tama adalah tentang memberi, bukan menerima. Dan bilamana hakikat cinta adalah memberi, maka kita bakal selalu melibatkan kematangan perasaan-diri.
Persis seperti ungkap Spinoza bahwa cinta sejati pada Tuhan tak menyertakan tuntutan balik agar Tuhan juga mencintai kita, atau seniman Joseph Binder yang menyebut cinta sebagai memberi tanpa berpikir akan memperoleh balasan.
Namun, "memberi" di sini bukan berarti menyerahkan sesuatu sehingga kita tidak lagi punya sesuatu itu, atau menjual yang membuat pemberian kita semata-mata adalah demi menerima bayaran. Tindakan memberi ini bukanlah pemiskinan.
Justru, tindakan memberi merupakan wujud betapa kita berlimpah, berguna, bahagia, atau singkatnya, betapa kayanya hidup kita. Secara psikologis, hanya orang miskin dan melarat yang menimbun sesuatu dengan gelisah, tak peduli seberapa banyaknya yang dia miliki.
Dengan kata lain, kapasitas kita dalam mencintai akan senantiasa bergantung pada kapasitas kita untuk menjadi pribadi yang berdaulat atas diri kita sendiri. Cinta yang dewasa adalah penyatuan di mana integritas masing-masing individu tetap terpelihara.
Paradoksnya, dua insan jadi satu, tapi masih dua.
Jadi, sementara cinta meruntuhkan tembok-tembok pemisah manusia dari sesamanya serta mengatasi perasaan terisolasi dan keterpisahan, cinta juga harus memungkinkan manusia untuk menjadi dirinya sendiri, mempertahankan individualitasnya.
"Cinta adalah sebuah kesenangan yang timbul dari kehadiran orang lain," tulis Rollo May dalam bukunya Man's Search for Himself, "yang menegaskan nilai dan perkembangannya sejauh yang dia miliki sendiri."
Lewat cintalah kita menyerahkan diri sendiri sekaligus menemukan diri sendiri. Dengan bingkai begitu, bahwa saya dicintai karena saya mencintai, berarti cinta semestinya turut melahirkan cinta yang lain.
"Jika Anda mencintai tanpa melahirkan cinta," tulis Karl Marx, "bila melalui ekspresi vital diri Anda sebagai orang yang penuh kasih Anda gagal menjadi orang yang dicintai, maka cinta Anda impoten. Ini adalah kemalangan."
Jadi, sekali lagi, kita baru akan membuat kontribusi yang sangat berguna untuk dunia yang mencekam ini jika kepedulian kita kepada sesama dan orang asing bermula dari upaya kita menjadikan diri sendiri mampu mencintai.
Itulah benih kemanusiaan dan kebahagiaan.Â
"Kebahagiaan terbesar yang bisa kita punya adalah mengetahui bahwa kita tak membutuhkan kebahagiaan," kata William Saroyan. Dan, meniru slogan iklan yang saya sebut sebelumnya, hidup akan [bahagia] dengan cinta dan ice cream.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H