Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Merayakan Hari Valentine dengan Belajar Seni Mencintai

13 Februari 2023   18:16 Diperbarui: 14 Februari 2023   04:30 1143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cinta memanglah anugerah, tapi kita harus menumbuhkan dan memeliharanya sendiri | Ilustrasi oleh Michaela via Pixabay

Saya ingat pernah melihat sebuah spanduk iklan dengan slogan kira-kira begini: "Hidup akan manis dengan cinta dan ice cream." Kemunculan kata "cinta" dalam pemasaran produk sudah bukan lagi fenomena langka, bahkan tema cinta telah mendominasi berbagai industri.

Lagu dan film, cincin dan sweater, novel dan drama; hampir semuanya bertemakan cinta. Saya pikir ada dua kemungkinan mengapa ini terjadi: kita tengah mengalami semacam "demam cinta", atau justru kita tengah kekurangan cinta (kalaupun masih ada yang tersisa).

Saya cenderung pada kemungkinan yang kedua. Itu berarti, dominasi tema cinta dalam banyak aspek kehidupan kita merupakan sebentuk ekspresi kerinduan dan penghiburan diri atas sesuatu yang tidak lagi kita miliki.

Cinta pada kenyataannya adalah gejala yang relatif jarang terjadi di masyarakat kita sekarang. Kebanyakan dari kita tak mampu mencintai dengan benar, kendati rasanya sudah. Pada dasarnya, kita (sering) keliru memaknai cinta sejak awal.

Padahal, mengingat sekarang kemanusiaan kita semakin terkikis, cintalah yang kita butuhkan.

Aneka bencana yang belakangan terjadi, entah gejala alam atau sosial, seperti Gempa Turki-Suriah dan perang di Ukraina, menguji kemanusiaan kita, menagih cinta kita terhadap sesama. Tanpa cinta, kemanusiaan tak mungkin ada barang sehari pun.

Sayangnya, masyarakat kita adalah pewaris dari individualisme kompetitif yang menggejala sejak lima abad sebelumnya. Setiap orang nyaris selalu digerakkan oleh motivasinya untuk menguasai orang lain.

Apa yang kita klaim sebagai "cinta" sering kali berorientasi pada pasar. Kita menggunakan cinta dalam rangka membeli dan menjual: jika saya mampu meluangkan waktu untuk Anda, maka Anda harus mampu membuat saya bahagia; kalau tidak, enyahlah dari saya.

Ringkasnya, cinta belakangan ini kerap dirasuki setan kapitalisme.

Tak heran kita merasakan begitu banyak kecemasan, keterkucilan, dan kehampaan personal. Namun, alih-alih menerima atau bersikap pasrah tanpa melawan, situasi inilah yang mesti kita jadikan momentum untuk belajar bagaimana mencintai (dengan benar).

Cinta sebagai sebuah seni

Dalam bukunya "The Art of Loving" (1956), psikolog dan filsuf Jerman Erich Fromm berpendapat bahwa bahwa cinta bukanlah sekadar emosi yang terjadi begitu saja pada kita, melainkan sesuatu yang harus kita upayakan dan pelihara secara aktif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun