Saya ingat pernah melihat sebuah spanduk iklan dengan slogan kira-kira begini: "Hidup akan manis dengan cinta dan ice cream." Kemunculan kata "cinta" dalam pemasaran produk sudah bukan lagi fenomena langka, bahkan tema cinta telah mendominasi berbagai industri.
Lagu dan film, cincin dan sweater, novel dan drama; hampir semuanya bertemakan cinta. Saya pikir ada dua kemungkinan mengapa ini terjadi: kita tengah mengalami semacam "demam cinta", atau justru kita tengah kekurangan cinta (kalaupun masih ada yang tersisa).
Saya cenderung pada kemungkinan yang kedua. Itu berarti, dominasi tema cinta dalam banyak aspek kehidupan kita merupakan sebentuk ekspresi kerinduan dan penghiburan diri atas sesuatu yang tidak lagi kita miliki.
Cinta pada kenyataannya adalah gejala yang relatif jarang terjadi di masyarakat kita sekarang. Kebanyakan dari kita tak mampu mencintai dengan benar, kendati rasanya sudah. Pada dasarnya, kita (sering) keliru memaknai cinta sejak awal.
Padahal, mengingat sekarang kemanusiaan kita semakin terkikis, cintalah yang kita butuhkan.
Aneka bencana yang belakangan terjadi, entah gejala alam atau sosial, seperti Gempa Turki-Suriah dan perang di Ukraina, menguji kemanusiaan kita, menagih cinta kita terhadap sesama. Tanpa cinta, kemanusiaan tak mungkin ada barang sehari pun.
Sayangnya, masyarakat kita adalah pewaris dari individualisme kompetitif yang menggejala sejak lima abad sebelumnya. Setiap orang nyaris selalu digerakkan oleh motivasinya untuk menguasai orang lain.
Apa yang kita klaim sebagai "cinta" sering kali berorientasi pada pasar. Kita menggunakan cinta dalam rangka membeli dan menjual: jika saya mampu meluangkan waktu untuk Anda, maka Anda harus mampu membuat saya bahagia; kalau tidak, enyahlah dari saya.
Ringkasnya, cinta belakangan ini kerap dirasuki setan kapitalisme.
Tak heran kita merasakan begitu banyak kecemasan, keterkucilan, dan kehampaan personal. Namun, alih-alih menerima atau bersikap pasrah tanpa melawan, situasi inilah yang mesti kita jadikan momentum untuk belajar bagaimana mencintai (dengan benar).
Cinta sebagai sebuah seni
Dalam bukunya "The Art of Loving" (1956), psikolog dan filsuf Jerman Erich Fromm berpendapat bahwa bahwa cinta bukanlah sekadar emosi yang terjadi begitu saja pada kita, melainkan sesuatu yang harus kita upayakan dan pelihara secara aktif.