Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

New World Pilihan

Artificial Intelligence (AI) dan Masa Depan Penulis

18 Januari 2023   09:30 Diperbarui: 18 Januari 2023   09:43 1742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Itu adalah pembicaraan besar. Paling tidak, poin saya cukup jelas: baik-buruknya tulisan AI tetap tak bisa terlepas dari unsur manusia.

Kedua, karena menulis adalah seni, dalam arti terdalamnya, maka ini masih akan menjadi pekerjaan manusia. Seni agaknya terlalu acak untuk dikerjakan oleh sebuah mesin (canggih) yang kerjanya didasarkan pada pola-pola.

Mungkin AI bisa mendekati keindahan, tapi saya pikir keindahan sejati tetap milik manusia. Mungkin AI bisa dikembangkan untuk mencapai tingkat penulisan Shakespeare modern, tapi kita tetap harus mengarahkannya ke arah yang hendak kita tulis.

Itu karena model bahasa yang dirangkai AI tak punya rasa dan intensionalitas. AI mungkin pandai untuk berimprovisasi, tapi AI tak punya agenda naratifnya sendiri, yang akhirnya memunculkan banyak klise dan kiasan umum.

Sebaliknya, seorang penulis terampil sering kali merasa geli terhadap kiasan-kiasan umum, dan begitu pula dengan pembaca. Dengan kata lain, mereka punya selera, kemampuan untuk memutuskan mengapa satu kalimat memikat sementara yang lain tidak.

Demikianlah, AI akan jarang, kalau memang mungkin, menghasilkan jenis tulisan yang membuat pembaca terhenti dan memerhatikan, mengernyitkan dahi untuk selintas bingung, memikirkan makna kalimat, lalu lanjut membaca dalam kelegaan yang nikmat.

Ketiga, AI tak akan pernah mengacaukan kaum penulis yang memandang aktivitas menulis sebagai ekspresi, dan kadang terapi, diri. Alasan ini sangat subjektif, tapi saya mengenal beberapa orang yang memiliki pandangan ini, dan saya bersama mereka.

Memang pada saat yang sama, ada pula penulis profesional yang melihat aktivitas menulis sebagai sumber pendapatan, seperti pengarang naskah film atau teater. Namun, saya yakin mereka pun memperoleh kepuasan tertentu dalam proses penciptaan.

Ini adalah aktivitas berselimutkan cinta, bukan kebencian. Jika saya melihat karya saya dan hanya membenci diri sendiri dari waktu ke waktu karenanya, serpihan-serpihan karya yang tengah saya garap sebaiknya dibuang saja. Semuanya selesai sampai di sini.

Dalam arti ini, tindakan menulis lebih dari sekadar menyelesaikan tugas. AI mungkin mampu menghasilkan seabrek tulisan bagus dan aktual dalam beberapa detik, tapi seorang penulis yang mencintai proses menulis itu sendiri tak akan bahagia dengan itu.

Menulis memang merupakan tugas yang sulit dan kadang menyakitkan. Ini merobek bahasa dari pikiran kita dengan cara yang kasar. Tapi ada nilai-nilai emosional yang tak bisa diganti oleh kerja mesin. Kesulitan inilah yang ujung-ujungnya memberi kebahagiaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten New World Selengkapnya
Lihat New World Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun