Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

New World Pilihan

Artificial Intelligence (AI) dan Masa Depan Penulis

18 Januari 2023   09:30 Diperbarui: 18 Januari 2023   09:43 1742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis AI semakin canggih dan adaptif, bagaimana nasib penulis kini dan nanti? | Ilustrasi oleh Canva via Euronews.com

Seiring meningkatnya penggunaan penulis AI, penting untuk mempertimbangkan peran penulis manusia di masa depan. Sementara penulis AI dapat menghasilkan konten dengan cepat dan efisien, mereka kekurangan kreativitas dan emosi. 

Penulis manusia memiliki kemampuan unik untuk menghidupkan kata-kata mereka dan menciptakan sesuatu yang beresonansi dengan pembaca pada tingkat emosional. 

Dengan demikian, kemungkinan besar penulis manusia akan tetap menjadi bagian penting dari proses penulisan di masa depan. Namun, penulis AI dapat memberikan bantuan yang tak ternilai dengan melakukan beberapa tugas biasa yang terkait dengan penulisan seperti meneliti topik atau menghasilkan ide. 

Ini dapat membantu membebaskan lebih banyak waktu bagi penulis manusia untuk fokus pada hal terbaik yang mereka lakukan: membuat cerita yang menarik dengan emosi dan hasrat.

Pernyataan bercetak miring di atas bukanlah tulisan saya, melainkan hasil kecerdasan buatan (AI) yang ditulis kurang dari sepuluh detik. Saya bersumpah tidak mengotak-atik tulisan tersebut dengan cara apa pun, kecuali saya memecahnya jadi empat paragraf.

Perasaan saya campur aduk. 

Di satu sisi, saya tak terkesan karena mesin itu hanya merangkai ulang bahan mentah yang tersebar di internet menjadi kalimat-kalimat baru. Jika saya diberi perintah dan ruang yang sama, saya akan mengajukan gagasan berbeda (meski lebih lambat).

Di sisi lain, saya takjub sampai-sampai saya menatap layar dengan telunjuk terlipat di antara bibir. Saya ingat patung-patung filsuf bergaya begitu. Yang paling memukau adalah, teksnya bisa dimengerti dan logikanya cukup koheren.

Kendati terkesan gado-gado sastrawi dan intelektual, memotong sana-sini dan menyatukannya jadi bentuk baru, bukankah kita juga melakukan itu saat menulis? Tanpa peringatan saya, mungkin Anda bakal mengira pernyataan tadi sebagai tulisan saya.

Apa yang tepatnya hendak saya tunjukkan di sini adalah bahwa kita sekarang tengah bergerak cepat menuju dunia di mana pembuatan karya tulis bisa dilakukan tanpa manusia.

Makalah ilmiah telah hadir dalam siaran pers yang dibuat secara otomatis oleh AI. Itu termasuk laporan hasil olahraga, laporan keuangan, bahkan pemilu. Kita mungkin agak bergidik kalau tahu AI juga telah menulis novel, naskah film dan acara TV (Tatalovic, 2018).

Bagi sejumlah penulis, kenyataan ini tampaknya memicu perasaan teror dan patah arang ketimbang minat dan kegembiraan. Mereka benci kala mengetahui, atau lebih tepatnya memprediksi, bahwa AI akan mengambil alih pekerjaan mereka dalam waktu dekat.

Dan memang ada harga yang harus dibayar untuk semua ini: penulis yang abai bakal terus tertinggal di belakang, sedang penulis yang memanfaatkannya tanpa reflektif akan mampu menghasilkan lebih banyak uang dengan tetap menjadi penulis (dan pemikir) pemula.

Lebih suramnya, kalaulah kita mau memegang perspektif ini, AI terkini hanyalah model "purba" dari suatu model yang lebih canggih. Dalam beberapa waktu mendatang, mungkin AI dapat menggantikan penulis manusia di semua genre dan format.

Tapi mari tahan dulu dugaan ini. Saya mengerti: pesimis kadang perlu untuk membuat diri waspada. Hanya saja, perspektif lain pun perlu ditimbang. Berikutnya saya akan menginterogasi diri saya sendiri terkait prospek penulis manusia di hadapan penulis AI.

Kiamat bagi penulis?

Jawaban singkat saya: belum. Kita bisa mengambil semacam pandangan apokaliptik, bahwa AI akan merenggut profesi penulis di masa depan, yang berarti semuanya segera berakhir dengan AI sebagai pemenang.

Atau, kita bisa memakai pendekatan setengah gelas, bahwa AI adalah alat luar biasa di masa nanti yang perlu dimanfaatkan sebaik mungkin, dan artinya penulis-penulis manusia masih akan serius membaca dan menulis.

Mengapa AI tak akan, atau belum akan, menggantikan peran penulis manusia, setidaknya dalam waktu dekat? Saya punya beberapa alasan subjektif.

Pertama, AI bukanlah mesin sadar, melainkan mesin statistik yang dirancang untuk memprediksi kata berikutnya. Apa yang dihasilkannya jelas mengesankan, tapi ia tak bisa memikirkan dirinya sendiri.

Seorang manusia bisa mengevaluasi diri dan tulisannya; AI bisa menambahkan alternatif tulisan berbeda tanpa tahu letak kesalahannya. Ini berarti, membuat sesuatu yang bermakna tetap membutuhkan unsur manusia, meski AI dapat memberi kita beberapa ide.

Jelasnya lagi, input manusia masih diperlukan untuk membuat mesin bekerja. Semisal, AI tak akan pernah bisa meliput atau mengulas hasil pertandingan futsal antara dua klub di daerah saya kalau tak seorang pun dari kami menginformasikannya di internet.

Dalam hal ini, semakin berkualitas input yang diterima mesin, semakin baik pula konten yang dibuat AI. Kebalikannya juga benar: ini mengingatkan kita bahwa, kendati input manusia tak akan pernah usang, input yang buruk juga membuat mesin dapat bekerja untuk kejahatan.

Di tengah sekaratnya media-media konvensional, serta meluasnya disinformasi dan spam, publikasi yang dibuat AI tanpa moderasi mungkin bakal menjadi sumber kebohongan di seluruh dunia, pemicu aneka kekacauan berskala besar.

Pikirkan, misalnya, mengenai politik global yang sarat akan propaganda, atau politik nasional yang tengah panas menjelang Pemilu 2024. Apa dampaknya jika berita-berita yang kita baca tentang itu merupakan hasil AI, dan dipublikasikan oleh orang egois dan serakah?

Jelas bahwa kita memerlukan moderasi konten, tapi persoalan ini pun menimbulkan dilema tersendiri yang menarik: Siapa yang harus memantau konten yang dihasilkan AI? Akankah ini mengganggu hak kebebasan berbicara?

Itu adalah pembicaraan besar. Paling tidak, poin saya cukup jelas: baik-buruknya tulisan AI tetap tak bisa terlepas dari unsur manusia.

Kedua, karena menulis adalah seni, dalam arti terdalamnya, maka ini masih akan menjadi pekerjaan manusia. Seni agaknya terlalu acak untuk dikerjakan oleh sebuah mesin (canggih) yang kerjanya didasarkan pada pola-pola.

Mungkin AI bisa mendekati keindahan, tapi saya pikir keindahan sejati tetap milik manusia. Mungkin AI bisa dikembangkan untuk mencapai tingkat penulisan Shakespeare modern, tapi kita tetap harus mengarahkannya ke arah yang hendak kita tulis.

Itu karena model bahasa yang dirangkai AI tak punya rasa dan intensionalitas. AI mungkin pandai untuk berimprovisasi, tapi AI tak punya agenda naratifnya sendiri, yang akhirnya memunculkan banyak klise dan kiasan umum.

Sebaliknya, seorang penulis terampil sering kali merasa geli terhadap kiasan-kiasan umum, dan begitu pula dengan pembaca. Dengan kata lain, mereka punya selera, kemampuan untuk memutuskan mengapa satu kalimat memikat sementara yang lain tidak.

Demikianlah, AI akan jarang, kalau memang mungkin, menghasilkan jenis tulisan yang membuat pembaca terhenti dan memerhatikan, mengernyitkan dahi untuk selintas bingung, memikirkan makna kalimat, lalu lanjut membaca dalam kelegaan yang nikmat.

Ketiga, AI tak akan pernah mengacaukan kaum penulis yang memandang aktivitas menulis sebagai ekspresi, dan kadang terapi, diri. Alasan ini sangat subjektif, tapi saya mengenal beberapa orang yang memiliki pandangan ini, dan saya bersama mereka.

Memang pada saat yang sama, ada pula penulis profesional yang melihat aktivitas menulis sebagai sumber pendapatan, seperti pengarang naskah film atau teater. Namun, saya yakin mereka pun memperoleh kepuasan tertentu dalam proses penciptaan.

Ini adalah aktivitas berselimutkan cinta, bukan kebencian. Jika saya melihat karya saya dan hanya membenci diri sendiri dari waktu ke waktu karenanya, serpihan-serpihan karya yang tengah saya garap sebaiknya dibuang saja. Semuanya selesai sampai di sini.

Dalam arti ini, tindakan menulis lebih dari sekadar menyelesaikan tugas. AI mungkin mampu menghasilkan seabrek tulisan bagus dan aktual dalam beberapa detik, tapi seorang penulis yang mencintai proses menulis itu sendiri tak akan bahagia dengan itu.

Menulis memang merupakan tugas yang sulit dan kadang menyakitkan. Ini merobek bahasa dari pikiran kita dengan cara yang kasar. Tapi ada nilai-nilai emosional yang tak bisa diganti oleh kerja mesin. Kesulitan inilah yang ujung-ujungnya memberi kebahagiaan.

Sebagai seseorang yang (katakanlah) egois, setiap kali saya membaca sebuah tulisan yang memukau, saya selalu berharap bahwa itu adalah buah pikiran saya. Dan tak ada cara lain untuk mewujudkan ini selain memulai karya saya sendiri, bukan mengklaim tulisan mesin.

Jika menulis tak lagi menjadi ekspresi diri, maka AI bukanlah asisten; kitalah asistennya.

Keempat, kita akan (selalu) lebih suka membaca apa yang ditulis orang sungguhan. Dalam kasus sebelumnya, sekalipun AI bisa mencapai atau bahkan melebihi tingkat penulisan Shakespeare, saya kira Shakespeare yang asli tetap akan lebih membekas dalam benak.

Saya membayangkan bahwa suatu waktu, entah bagaimana, seorang novelis dianugerahi hadiah Nobel. Namun sebelum dia menyampaikan pidatonya, seseorang berteriak dari bangku penonton: "Dia tak pernah menulis novel! AI yang melakukannya!"

Orang itu jelas harus diajari sopan santun, tapi di sisi lain kita ragu apakah penulis yang diteriakinya itu masih mampu menampilkan wajahnya di hadapan umum atau tidak. Ini pasti akan menjadi kisah sejarah yang menarik.

Berdamai dengan AI

Jadi, apakah AI akan menggantikan profesi menulis di masa depan? Atau, lebih ketatnya, siapa penulis yang benar-benar terancam oleh AI? Jika yang kita maksud adalah penulis caption di media sosial, email spam, dan deskripsi produk, maka prospek AI cerah.

Namun jika yang kita maksud adalah penulis terampil yang secara konsisten mengusung narasi utama, sub-plot, model dunia terpisah yang tersirat dari perilaku karakter-karakter rekaan mereka, dan bahwa cerita mereka bukanlah cerita sebenarnya melainkan suatu metafora rumit yang menyinggung kondisi politik, seperti halnya George Orwell, AI saat ini masih sangat gelap.

Ringkasnya, tulisan yang dihasilkan AI agaknya bakal mengambil alih tulisan berskala rendah. Jenis tulisan lainnya, yang menyematkan pemahaman kompleks, masih berada di luar jangkauan kemampuan AI mutakhir.

Kita memang tak tahu bagaimana jadinya masa depan manakala AI sudah mencapai tahap (nyaris) sempurna. Namun sekarang cukup jelas bagi kita bahwa AI akan memainkan peran besar dalam membuat dan mendistribusikan semua jenis konten (teks, audio, video).

Secara umum disepakati bahwa, alih-alih menolak dan melawan, AI paling berguna kalau melengkapi keahlian penulis itu sendiri. Seorang penulis bisa saja bersikeras untuk menyangkal keberadaan AI, tapi tidakkah sia-sia perjuangan itu?

AI akan terus ada dan berkembang, sehingga penulis lain yang memanfaatkannya mungkin akan senantiasa satu langkah lebih jauh daripada mereka yang tidak memanfaatkannya (Ippolito dkk., 2022)

Sekali lagi, AI harus jadi asisten, bukan malah kita yang melayaninya. Dunia yang diliputi kecanggihan AI barangkali adalah surga, tapi tak manusiawi; semacam surga yang diciptakan bukan untuk kita, manusia.

Harapan saya, kendati saya bukanlah pribadi yang suka berharap, AI akan menangani aneka pekerjaan "remeh" yang selama ini menguras umur kita.

Hasilnya, kita bisa bersua di kafe atau taman kota pada setiap sore yang berseri, bercakap-cakap tentang jati diri Sapiens di masa silam dan masa mendatang, tentang kemungkinan adanya kehidupan di luar Bumi, atau tentang Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten New World Selengkapnya
Lihat New World Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun