Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Cara Introspeksi Diri di Tahun Baru

28 Desember 2022   07:17 Diperbarui: 28 Desember 2022   07:17 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika kau tak lagi mampu meminum soda dari suguhan Nyonya Lili, cobalah jalan-jalan sore sambil memancing makna di kolam memori. Ingat, misalnya, pada malam Oktober ketika kau melihat pria patah hati yang melempar bunganya ke bak sampah.

Atau, misalnya, saat kau mendengar kata pertama dari keponakan perempuanmu. "Gliba," katanya, yang membuatmu kegirangan, mencium keningnya berkali-kali di depan kakakmu yang keheranan. "Gliba": mungkin itu sebuah kata dalam bahasa asing, yakinmu.

Teruslah berjalan. Langit dipenuhi awan yang terlipat-lipat. Seluruh aspal yang kaupijaki, dan semua kerikil yang menyakiti kakimu; resapilah pelan-pelan. Pun aroma yang sesekali membuat hidungmu geli. Kau ingat, puncak musim dingin beraroma seperti itu.

Sungguh, teruslah berjalan. Terlepas dari begitu penatnya rangka tubuhmu, laranya jiwamu, semakin menuanya usiamu, selalu ada momen untuk dirayakan tanpa nista. Kau belum tiba.

Kau melewati pohon-pohon rindang yang begitu asing, melangkah sambil memikirkan dirimu sendiri. Kau melirik ke sana-sini dan lalu mencermati hubungan antara yang ada dengan yang tiada. Kedua-duanya adalah "ada" juga, pikirmu sepintas.

Jauh di depan sana, kumpulan lelaki tua sedang berkumpul membicarakan sepak bola, uang, dan pajak. Berjalanlah sedikit lagi. Kini kau tiba di sebuah kebun indah tanpa bunga milik Paman Jem. Lahannya hijau kekuning-kuningan diterpa sinar sore, dan kupu-kupu di pucuknya.

Belum. Kau belum tiba lagi. Lintasilah jalan-jalan setengah sepi dan semu basah, di bawah bentangan langit kelabu yang terus meredup. Kau merayaplah hati-hati dari tiang ke tiang lampu kota yang begitu remang.

Berjalanlah terus hingga ke tikungan depan, sebab di sana jarang sekali deru mesin-mesin kendaraan. Duduk santailah di bangku karatan itu dan dengarkanlah bisikan hatimu sendiri, kau dan dirimu, yang terpisah sekaligus satu, yang menyatu sekaligus dua.

Jangan sesekali kau tiup debu-debu di bangku itu. Mereka hanya akan pergi sesuka mereka. Biarkan rambutmu acak-acakan tertiup angin. Jangan terlalu sempurna. Kau adalah sebentuk kesempurnaan yang pada detik terakhir jadi tak sempurna. Ah, bukankah itu indah?

Percayalah akan ada waktu untuk menjadikan keindahan makin tak sempurna, dan membuat ketidaksempurnaan jadi makin indah. Keduanya aneh. Dunia penuh keanehan. Justru, aneh kalau kau merasa aneh terhadap dunia.

Dan memang akan ada waktu bagimu untuk memahami apa-apa yang tak terpahami. Akan ada waktu, akan ada waktu mempersiapkan wajahmu untuk bertemu jawaban-jawaban yang tak diharapkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun